Mozaik 27

397 44 1
                                    

Pagi ini, Sindia memberikan kami waktu bersantai selama beberapa jam sebelum pertarungan babak berikutnya dimulai. Kami gunakan kesempatan itu untuk membersihkan diri kami yang sejak dari kemarin belum mandi.

Shanty mengajakku, Ian, dan Siman ke anak sungai pertama dari sungai Kalem yang berada di sebelah timur gunung Transfranssischo. Sementara yang lainnya memutuskan untuk mandi di sebuah mata air di dekat kemah. Jarak anak sungai itu cukup jauh dari Cliffe.

"Shanty?" panggilku.

"Ya?"

"Sebenarnya di mana induk dari anak sungai Kalem yang kau sebut-sebut itu?" tanyaku.

"Berada di tengah-tengah hutan ini. Melintang dari gunung Transfranssischo sampai ke selatan. Sungai Kalem membelah hutan hitam bagian barat dan hutan hitam bagian timur," jawabnya.

"Kenapa namanya Kalem? Beda sekali dengan nama gunung yang modern itu," tanya Siman.

"Karena, itu adalah sungai yang tenang dan sungai itu tak memiliki dasar."

"Wow! Sungai tak berdasar? Dari mana kau tahu itu?" tanya Siman tak percaya.

"Beberapa tahun lalu penduduk desa mencoba mengukur kedalaman sungai dengan mengikat sebuah batu seberat 10 kg pada tali sepanjang 100 meter. Saat mereka menceburkan batu itu ke dalam sungai, tali sepanjang itu terus tertarik dan tenggelam bersama batu tersebut. Entah berapa kedalamannya tapi yang pasti lebih dari 100 meter. Tapi kami menganggap sungai itu tidak berdasar karena tidak ada orang di desa kami yang bisa mengukur kedalaman sungai itu secara pasti," ujar Shanty.

"Apa sungai itu berbahaya?" tanya Ian.

"Sejauh yang aku tahu, belum pernah ada orang yang mati karena dimakan buaya ataupun dililit boa di sungai itu. Toh induk sungai itu sendiri lebarnya tak lebih dari 3 meter. Satu-satunya yang berbahaya hanyalah kedalamannya saja," jawab Shanty pasti. "Tapi yang perlu dikhawatirkan adalah anak-anak sungainya itu sendiri."

"Anak-anak sungai? Apa lebih berbahaya?" tanyaku.

"Di hutan hitam ini, terdapat tujuh anak sungai dari sungai Kalem. 4 anak sungai bergerak ke arah timur dan 3 anak sungai lagi bergerak ke arah barat. Dan hanya ada 3 anak sungailah yang aman. Anak sungai yang pertama, keempat dan yang mengalir ke desa Nekala, anak sungai ketujuh."

"Memang ada apa dengan anak sungai yang lainnya?" tanya Ian.

"Biar aku jelaskan!" kata Shanty. "Anak sungai pertama berada di timur kaki gunung Transfranssischo. 50 meter lagi di depan kita. Anak sungai yang pertama lebarnya hanya 3 meter dan dalamnya kira-kira 1 meter. Airnya sangat jernih dan aman. Tak pernah aku mendengar ada orang meninggal di anak sungai itu. Lalu anak sungai yang kedua jaraknya ratusan meter dari yang pertama.

"Anak sungai yang kedua itu sebenarnya tidak cocok disebut sebagai sungai karena bentuknya seperti rawa. Dalamnya hanya selutut tapi di sana banyak sekali binatang buas seperti buaya dan ular rawa. 3 tahun lalu ada kasus seorang penduduk desa mati karena diserang seekor buaya di rawa itu.

"Anak sungai yang ketiga berada di bagian barat hutan ini. Sebenarnya anak sungai itu tidak berbahaya karena berupa aliran air selebar 50 meter yang dalamnya hanya semata kaki dan dipenuhi batu-batu besar. Tapi penduduk desa percaya bahwa anak sungai itu sangat angker. Banyak terjadi penampakkan di sana.

"Anak sungai keempat letaknya tak jauh dari yang ketiga. Keadaannya sama seperti anak sungai yang pertama tapi sedikit lebih dalam. Sedangkan anak sungai kelima berada di bagian timur tepat di sebelah anak sungai keempat. Anak sungai kelima tidaklah besar. Hanya selebar selokan, tapi dalamnya sama dengan induk sungai. Beberapa penduduk desa meninggal di anak sungai itu karena terperosok dan tidak bisa keluar karena sempit dan licinnya dinding anak sungai kelima itu.

"Anak sungai keenam adalah anak sungai yang paling berbahaya dari semua anak sungai karena anak sungai itu paling banyak memakan korban. Dalamnya sama dengan anak sungai ketujuh. Hanya sebatas lutut. Tapi lebarnya tak lebih besar dari anak sungai ketujuh dan anak sungai itu tersembunyi di antara semak belukar. Penduduk desa percaya ada semacam makhluk yang muncul dari lubang-lubang di pinggiran sungai. Entah wujudnya ular ataupun ikan yang jelas kata orang-orang yang pernah melihatnya, makhluk itu bisa mengembang dan mengempis. Ukurannya bisa selebar tikar ataupun sekecil pergelangan tangan. Orang-orang yang masuk ke anak sungai itu akan terpeleset seakan-akan menginjak sesuatu yang licin. Dan pada saat itulah makhluk itu membunuhnya—menggulung seperti tikar. Entah hilang, dimakan ataupun dibunuh kemudian jasadnya hanyut terbawa sungai. Tapi orang-orang yang mencarinya hanya menemukan pakaian mereka di antara alang-alang.

"Seperti yang telah kita ketahui anak sungai ketujuh adalah anak sungai paling aman karena anak sungai itu sering kami pakai untuk mandi maupun mencuci pakaian," jelas Shanty panjang lebar.

"Shanty, apa anak sungai itu dalamnya selutut dari hulunya?" tanyaku.

"Tentu saja. Kita semua tahu kan dalamnya? Setiap minggu kita selalu melewatinya untuk latihan," jawab Shanty.

"Tapi ...," gumamku.

Aku ingat kejadian waktu itu.

Aku bahkan tak dapat menyentuh dasarnya ketika aku dan Iza berusaha menyelamatkan Fanze dari Anak-Anak Sungai yang membawanya.

Setelah berjalan cukup lama kami pun tiba di sana. Pemandangannya begitu indah. Cahaya mentari pagi menyinari embun-embun di ujung rerumputan hijau di sepanjang tepi anak sungai tersebut.

Tanpa pikir panjang lagi, Shanty menceburkan diri ke dalamnya.

"Ha .... segarnya!" ucapnya dengan perasaan lega seakan-akan gundah gelisah dan rasa penat telah lenyap seketika. "Kenapa kalian diam saja? Cepat ke sini!"

Setelah melepas sepatu dan bajunya, Siman langsung ambur menyusul Shanty.

"Segar, kan?" tanya Shanty.

"Ya, rasanya aku telah hidup lagi!" sahut Siman.

"Kak Ian! Dane! Apa yang kalian tunggu?" sahut Shanty.

Aku melirik mata Ian. Dia tersenyum manis padaku. Tapi senyumannya penuh dengan misteri, seakan ada sebuah rencana yang akan dijalankan lelaki ini. Aku balas senyuman manisnya itu dengan senyuman sinis yang aku punya.

Dia langsung menarik lenganku. Bersamaku, Ian menceburkan diri ke tengah-tengah mereka berdua tanpa sempat melepas baju dan sepatu kami.

Air menciprati mereka berdua.

Saat kami saling memandang satu sama lain, gelak tawa pun menyeruak.

Kami saling menciprat-cipratkan air ke wajah kami masing-masing seperti anak kecil.

"Tujuh jiwa," ucap Shanty sembari terlentang di permukaan air.

"Apa?" kataku.

"Musisi itu pernah mengatakan bahwa anak-anak sungai ini merupakan tujuh jiwa sungai Kalem. Mungkin karena keindahan dan keburukannya. Dan sungai Kalem merupakan urat nadi yang menghubungkan antara gunung Transfranssischo sebagai jantungnya dan hutan hitam sebagai paru-parunya," kata Shanty.

Kami semua berjemur di atas sebuah batu. Sinar mentari pagi, menghangatkan tubuh kami yang menggigil.

"Danny, lepas bajumu!" kata Ian yang melepaskan pakaian basah dari tubuhnya.

"Apa?" kataku meliriknya.

"Kau ingin sakit? Sebaiknya lepas baju basahmu itu!"

Sembari melepaskan bajuku aku melirik Shanty yang sedang tiduran di sebelahku.

"Apa?!" tanyanya sinis. Spontan aku langsung palingkan wajahku ke hal lain. "Rrrr ... Aku kedinginan!" katanya menyembunyikan lututnya dalam dekapannya.

"Lepas saja bajumu!" sahut Siman.

"Apa kau gila?!"

Sembari menunggu pakaian kami kering, kami menghangatkan tubuh kami. Rasa hangat ini membuat aku mengantuk dan aku pejamkan mataku.

Kie Light #1: Sandekala (TAMAT)Where stories live. Discover now