Mozaik 5

832 81 2
                                    

Hansel dan Gretel seharusnya dapat kembali pulang ke rumah mereka meskipun remah roti yang mereka sebar di sepanjang perjalanan telah tandas dilahap burung-burung. Karena sebenarnya, walaupun petunjuk itu telah hilang, terdapat petunjuk baru yang bisa dijadikan acuan arah pulang. Yaitu jejak burung itu sendiri. Jejak kaki-kaki kecil di tanah dan bulu burung yang berserakan di antara ranting dan belukar. Bila mereka menyadari hal itu, tentunya mereka pasti dapat pulang tanpa harus berhadapan dengan sang penyihir.

Aku harap, semoga ini adalah awal yang baik. Aku harap jejak burung ini terlihat jelas sehingga aku dapat menemukan apa yang kucari dan apa yang harus aku lakukan untuk menghentikan kegelisahan hatiku akan mimpi-mimpi aneh dan penampakan yang kerap kutemui.

Aku dan Ian duduk di kamar. Membicarakan petunjuk-petunjuk yang mulai aku temukan.

"Jadi, apa yang akan kau bicarakan, Dane?" tanya Ian.

Aku mengambil buku tulis dalam tas dan kuperlihatkan alamat-alamat desa Nekala yang berhasil kucari.

"Kenapa kau yakin desa dalam mimpimu itu bernama Nekala?" tanyanya.

"Selain karena hatiku merasa demikian, di desa yang bernama Nekala inilah para Sandekala paling sering muncul."

"Para?" heran Ian.

"Dalam situs yang aku baca di internet, Sandekala itu bukan cuma satu tapi ada banyak bahkan sampai ribuan."

"Oke ... alamat desa Nekala ini cukup banyak. Jadi ... kita akan jelajahi satu per satu?" tanya Ian.

"Tentu," jawabku. "Di salah satu desa ini pasti ada gadis dalam mimpiku. Aku akan mencarinya," ucapku yakin. "Mau kan bantu aku menjelajahi satu per satu desa ini?"

"Tentu, Dane. Aku pasti akan membantumu."

Dia tersenyum begitu tulus.

Begitu manis.

Senyuman yang kerap membuatku canggung.

"Tapi, jangan bilang-bilang masalah ini pada yang lain dulu. Aku tidak ingin semuanya tahu."

Ian mengangguk. "Kapan kita mulai mendatangi desa-desa itu?"

"Minggu depan. Aku libur sekolah selama seminggu lebih. Jadi kita bisa mencarinya dengan leluasa."

"Baiklah. Kalau begitu aku pulang dulu ya, Dane. Sore ini aku janji mau memperbaiki motor Siman yang rusak."

Aku hanya mengangguk saat Ian pergi meninggalkan rumah.

***

Tak terasa hari demi hari silih berganti. Aku tidak menyangka penampakan itu berimbas pada yang lain. Selain Nora dan Flo, tujuh orang teman kelasku lainnya pernah melihatnya, termasuk Shen. Dia sampai terkencing-kencing di celana waktu melihat makhluk itu menggantung di langit-langit toilet.

Hari ini hari Sabtu. Kami tidak belajar. Kepala sekolah mengumpulkan kami di lapangan upacara dan mengumumkan liburan akhir musim panas telah tiba. Semua antusias mendengarnya. Seluruh siswa pun dibubarkan setelah pengumuman berakhir. Ini masih pagi dan Ian belum pulang kerja, tepaksa aku pulang naik bus lagi.

"Danny ...," seembus suara berbisik padaku bagai angin.

Kali ini aku tidak akan terkejut dan takut bila melihatnya di sini—di jalan lengang perumahan yang menuju rumahku. Aku ingat perkataan Teny, makhluk itu tak akan bisa melukaiku. Mereka makhluk halus, tak akan bisa melukai fisikku yang keras. Kuyakinkan itu berkali-kali dalam hati.

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling.

Tak ada apa pun.

Apa dia menyerah?

Kie Light #1: Sandekala (TAMAT)Where stories live. Discover now