Mozaik 31

374 39 0
                                    

Dengan tanpa berkonsentrasi penuh, kini beberapa dari mereka dapat mengeluarkan cahaya itu dengan mudahnya.

Kami mulai melangkahkan kaki menuju hutan hitam.

Kinzoku Light itu begitu terang. Menerangi sejauh 15 meter di sekitar kami.

Selangkah demi selangkah kami berjalan lurus menembus hutan hitam. Sungai kami seberangi dan semak belukar kami lewati untuk menuju satu titik nun jauh di sana.

Rasa kantuk mulai menghantui kami di tengah waktu yang semakin larut.

Cahaya yang tadinya benderang kini mulai meredup.

Suara-suara yang entah dari mana berasal mulai membuat kami merinding.

Tak jauh dari tempat kami berdiri, terdengar suara mirip pita kaset yang berputar diikuti jerit tangis canda tawa, dan samar-samar suara orang bicara di antara pepohonan.

Shanty pernah menceritakan tentang fenomena ini padaku. Tentang beberapa pohon di hutan ini yang dapat merekam suara.

Waktu menunjukkan pukul 03.00.

Kami nyaris setengah perjalanan.

Di hadapan kami, ada anak sungai yang dikatakan Shanty bahwa itu adalah anak sungai ketiga. Bentuknya tak cocok untuk disebut sebagai anak sungai. Bebatuan mulai dari sebesar bola mata sampai sebesar lemari pakaian bergelimpangan di sini. Berdiri memenuhi aliran air kecil yang disebut penduduk desa sebagai anak sungai.

Aku ingat apa yang pernah dikatakan Shanty tentang tempat ini.

"Aneh, kenapa suara langkah kaki mereka tidak terdengar?" tanyaku pada Shanty yang berada di sampingku saat kami menyeberangi anak sungai itu.

Langkah kami pun terhenti dan menoleh ke belakang.

Kami lihat wajah-wajah mereka tampak waspada. Mereka genggam erat-erat pedang yang menyala terang itu dengan posisi siap menyerang.

"Sedang apa kalian?" tanyaku.

"Cepatlah! Apa yang kalian tunggu?!" sahut Shanty.

"Apa kalian tidak melihatnya?" tanya Siman.

"Lihat sekelilingmu!" sahut Khyun.

Kami perhatikan baik-baik tempat yang penuh dengan bebatuan ini. Tampak samar-samar aku melihat sesosok bayangan putih transparan seperti kabut. Bukan! Bukan hanya satu, tapi ada banyak bayangan putih di sini. Di setiap mataku tertuju di situlah mereka berada. Aku ngeri melihat wajah-wajah mereka. Wajah dengan mata kuning berdarah-darah.

"Kalian tak perlu takut, mereka takkan bisa melukai kita. Sekarang, ayo pergi!" kata Shanty berjalan menerobos bayangan itu tanpa rasa takut. Seketika bayangan itu pun sirna.

Kami semua berlari mengejarnya yang sudah semakin jauh.

"Baiklah, kita istirahat dulu 15 menit!" seru Shanty.

Kalau aku perhatikan baik-baik, hutan ini tampak begitu berbeda. Hanya ada pepohonan pinus memenuhi area ini. Menjulang tinggi mencakar langit yang masih gelap.

Sebelumnya, kami juga melewati hutan oak dan hutan hujan yang dipenuhi jenis pohon yang beragam. Kami seakan-akan melewati 3 jenis hutan dari belahan dunia. Hutan hujan tropis, hutan gugur temperata, dan hutan konifer yang suhunya begitu dingin menggigit kulit.

Bagai menembus sebuah lorong waktu. Waktu tak terasa sudah beranjak sore saat kami tiba di kaki gunung Transfranssischo. Hanya tinggal beberapa kilometer lagi untuk mencapai hulu sungai.

Di hadapan kami, air terjun setinggi 6 meter terus menghunjam sebuah batu datar di dasarnya. Seperti mengapung di air, batu tersebut berada di atas permukaan sungai Kalem yang tak berdasar.

Kie Light #1: Sandekala (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang