Mozaik 30

381 43 0
                                    

Kami berdua duduk di bangku bambu. Memandang tepat ke hamparan hutan hitam yang hijau di bawah sana.

Kami tak tahu apa yang harus kami lakukan.

"Shan, kenapa kita masih di sini?" tanyaku.

"Aku juga tidak tahu. Lalu, apa yang harus kita perbuat? Tak ada rencana lain selain rencana yang sering kita bicarakan. Besok sore, di sana, kita akan bertarung. Itulah yang kita rencanakan selama ini."

Kami masih terpatung kaku di tempat ini.

Teriknya mentari tak mampu mengalahkan hijaunya hutan di kala siang.

Riak air dari anak sungai terdengar mengalir di sela-sela bebatuan. Memberikan sensasi ketenangan dan keindahan ketika sinar matahari menyinarinya dan membuatnya berkilauan bak berlian.

Sering, aku memikirkan kemungkinan-kemungkinan tentang hal buruk yang akan terjadi ataupun memikirkan sesuatu yang belum pasti. Tapi, sering juga, dia mengatakan padaku tentang keteguhan hati dan tetap konsisten pada setiap keputusan yang telah aku ambil dan pertimbangkan sebaik mungkin.

Dia selalu menenangkanku di saat aku mulai ragu dan gelisah.

Dia selalu mengatakan padaku bahwa dirinya tak akan pernah meninggalkanku sendirian.

Ke mana pun aku pergi, dia akan ikut denganku. Tapi, aku ragu aku bisa seperti dirinya.

Saat aku melihat jam tanganku, waktu sudah menunjukkan pukul 16.30.

Senja telah dimulai tapi kami tak beranjak dari tempat ini.

Kami dengar para orang tua sudah meneriakkan sebuah nama yang membuat anak-anak bergidik ketakutan dan terbirit-birit masuk ke dalam rumah mereka masing-masing.

Sesuatu terlihat oleh kami.

Jauh di kaki gunung Transfranssischo.

Hitam mulai merayap di antara pepohonan.

Menjadikan hutan itu sekelam namanya.

"Danny! Shanty!" panggil Sindia.

"Ada apa, Nek?" tanya Shanty.

"Pergilah malam ini!" katanya. "Kalian tidak akan punya waktu lagi."

"Meskipun Nenek bilang begitu, kita memang tidak akan punya waktu lagi mencapai hulu sungai bila kita tetap ingin melakukan strategi itu," kataku.

"Aku sudah perhitungkan waktunya baik-baik. Jika kalian pergi malam ini, kalian bisa tiba di sana saat senja esok hari," ujarnya. "Ambil jalan hutan barat! Itu bisa mempercepat waktu kalian menuju hulu sungai."

"Tapi ..."

"Apa lagi yang kalian tunggu?! Cepat panggil semua saudaramu kemari dan pergilah saat senja hari ini berakhir!"

Sesaat aku terdiam.

Perkataannya memang benar. Rencana ini mungkin bisa memberi kami keuntungan. Tanpa berlama-lama lagi kami segera balik ke Albian. Bukan cuma untuk menjemput mereka. Tapi juga untuk mengambil CLAS-ku yang kusimpan di rumah.

"Ian!" panggilku mencarinya tapi dia tidak ada di rumah. Mungkin dia sudah berangkat ke pesta.

"Kak, sudah siap? Pergilah kalian berdua duluan ke desa!" kataku saat menelepon Ronny.

Aku lihat jam tanganku. Waktu menunjukkan pukul 18.30. Senja hari ini sudah berakhir.

Di hadapan cermin kamar, aku kenakan pakaian terbaikku. Singlet merah transparan berlapis jaket modis, hadiah ulang tahunku dari Shanty.

Kie Light #1: Sandekala (TAMAT)Where stories live. Discover now