Mozaik 33

431 42 1
                                    

Kala senja ini aku berpikir, andaikan aku adalah seekor kucing yang memiliki sembilan nyawa, aku pasti akan rela memberikan salah satu nyawaku pada mereka agar peperangan ini segera berakhir tanpa harus ada pertumpahan darah.

Tapi, aku adalah manusia. Yang harus mempertahankan satu-satunya nyawa yang kumiliki. Tak mungkin aku memberikan nyawaku begitu saja tanpa ada alasan-alasan yang mengharuskanku melakukan hal itu.

Berkali-kali aku bertanya dan mengira-ngira apa alasan kedua orangtuaku hendak mengorbankanku?

Apakah itu ada hubungannya dengan desa Nekala?

Keselamatan anak-anak?

Atau tentang transaksi yang pernah dilakukan Parmoun dengan mengorbankan anaknya sendiri?

Aku bukanlah seorang peramal yang dapat memprediksi apa yang akan terjadi. Aku hanyalah orang biasa yang selalu berpikir tentang segala kemungkinan-kemungkinan yang belum tentu pasti terjadi. Tapi, kali ini dan di tempat ini, aku tahu apa yang akan terjadi pada kami. Kami akan mati. Kecil kemungkinan kami akan hidup dan berhasil melewati senja ini dengan selamat.

Mereka muncul kembali.

Mereka datang dari kedalaman sungai yang kelam.

Dengan cepatnya meraih kakiku.

Menceburkanku.

Menenggelamkan diriku ke dalam sungai yang kembali tak berdasar.

Aku ditariknya.

Terus dan terus ke dalam gelapnya sungai.

Aku dengar samar-samar suara Shanty, Ian, Ronny terus memanggilku di kala aku mulai tak sanggup lagi untuk menahan napas.

"Danny!!!" terdengar suara seseorang menceburkan dirinya untuk menolongku.

Ian menyelam meraih lenganku. Dengan Ancient Souls-nya, dia menebas makhluk itu.

"Kau tidak apa-apa?!" tanya Shanty khawatir saat aku berhasil ke permukaan. Dengan napas yang tersengal aku mencoba berdiri tegak.

Setiap pohon yang kami pandang, setiap semak yang kami lirik, setiap sudut hutan yang kami amati, mereka ada di sana, mengamati tingkah laku kami yang waspada. Ribuan mata biru mereka terus menatap kami tajam.

Ada apa ini?

Kenapa mereka tidak ada habis-habisnya?

Perlahan satu per satu mereka menampakkan diri. Kali ini mereka membawa sabit yang menjadi senjata mereka. Yang semula aku kira sabit itu adalah dedaunan. Sabit besar berwarna hitam dengan garis-garis merah dan panjangnya kira-kira 2 meter itu mereka genggam erat.

Aku bukan hanya ragu, tapi juga merasa takut. Lenganku gemetar sampai-sampai pedangku terjatuh dan kakiku terasa kaku untuk melangkah.

Aku terpaku. Sama seperti waktu itu, ketika pertama kali aku melihatnya.

Aku tak mampu berdiri tegak.

Aku mulai goyah.

Rasanya tubuhku memberat.

Kakiku tak sanggup lagi untuk menopang tubuhku sendiri.

Aku tumbang.

Terkulai lemas.

Aku tergeletak di tengah-tengah kepungan ribuan mata biru yang menatap ke arahku.

"Danny!" panggil Shanty menggoyangkan tubuhku.

Aku ingin memejamkan mata dan berharap kalau ini hanyalah mimpi. Mimpi yang sering mengancamku.

Berkali-kali aku coba pejamkan mataku tapi tak bisa. Aku tahu ini bukanlah mimpi. Tapi, aku tak mau menerima kenyataan tentang apa yang aku lihat ini. Ancaman itu selalu datang menghantui mimpi-mimpiku dan kali ini aku dapat melihat dengan nyata bahwa ini bukanlah sekadar ancaman. Kematian telah datang menghampiriku. Menghampiri kami semua.

Kie Light #1: Sandekala (TAMAT)Where stories live. Discover now