Mozaik 9

757 80 3
                                    

Rumah warga berada di dataran yang lebih tinggi dari hutan yang menghampar hijau di depannya. Sehingga dari desa tersebut, terlihat jelas betapa luasnya hutan yang datar dengan dihiasi bermacam-macam pepohonan rimbun.

Warga desa tampak ramah. Setiap penghuni rumah saling menyapa kami. Kami melihat ada beberapa anak kecil yang sedang bermain permainan tradisional. Seorang anak kecil seumuran Fanze mendekatinya.

"Hei! Main, yuk!" ajak anak itu riang.

"Boleh tidak, kak Iza?" tanya Fanze berkata dengan hati-hati karena takut diomelinya lagi.

Iza menatapku seakan meminta pendapatku dengan menggunakan bahasa isyarat.

"Tidak apa-apa, Dane, Za. Semua anak-anak di sini baik," kata Shanty meyakinkan.

"Tapi jangan jauh-jauh, ya! Nanti ibumu marahi aku lagi!" kata Iza pada keponakannya.

Fanze mengangguk dan pergi bermain bersama anak-anak desa lainnya.

Kami tiba di rumah Shanty.

"Shanty, mana orangtuamu?" tanyaku spontan saat kami masuk ke dalam rumahnya.

Dia terdiam sejenak sebelum berkata, "Mereka sudah meninggal."

"Oh! Maafkan aku Shan. Aku tidak bermaksud ...," kataku menyesal.

"Tidak apa-apa. Kedua orangtuaku sudah lama meninggal. Saat aku berumur lima tahun," katanya tersenyum.

"Kau di sini tinggal dengan siapa?" tanya Siman.

"Nenekku," jawabnya. "Duduklah. Aku akan memanggil Nenek dulu!" sahutnya.

Kami bertiga duduk di kursi kayu panjang yang berada dalam rumah panggung sederhana itu.

Rumahnya tidak besar. Hanya memiliki sebuah kamar, di sudut sebelah sana terdapat ranjang tempat tidur yang menyatu dengan ruang tamu, dan terdapat sebuah pintu yang menuju ke belakang rumah. Kelihatannya ada sebuah dapur di sana.

"Sepertinya nenekku sedang keluar. Kalian tunggu dulu di sini. Aku akan mencarinya."

Shanty keluar dari rumah dan mencari neneknya ke arah rumpunan bambu di belakang rumah yang sempat kulihat tadi.

Tak lama kemudian, seorang nenek masuk ke dalam rumah. Nenek itu membawa sebuah tongkat kayu dengan ukiran yang sangat indah. Pegangannya berbentuk aneh, berwarna emas—dan sepertinya itu memang emas—dengan dihiasi permata merah, ungu, dan hijau. Pakaian yang dikenakannya tampak aneh, berlapis-lapis. Dari gaun hitam, selendang putih, sorban kotak-kotak, kain batik. Semuanya dibelitkan di tubuh dan lehernya sehingga nenek dengan tubuh pendek itu terlihat sangat gemuk. Rambutnya yang putih tergelung rapi.

"Siapa kalian?" tanyanya terkejut melihat kami.

"Kami teman-teman Shanty," jawab Siman.

"Sekarang di mana dia?"

"Tadi aku lihat Shanty ke belakang rumah. Katanya mau cari Nenek," kataku.

Nenek itu langsung berjalan menuju dapur. Dia berteriak-teriak memanggil Shanty dari sana.

"Nek, biar aku panggil Shanty," kataku padanya.

"Oh ya, tolong ya."

"Kalian tunggu di sini," perintahku pada Siman dan Iza.

Aku berjalan ke belakang rumah. Kulihat di sana banyak sekali batang-batang pohon pisang yang ditancapkan pada bambu runcing yang terpancang di tanah.

"Shanty!"

Aku berjalan ke dalam rumpunan bambu. Tiba-tiba terdengar suara kersakan dari balik pepohonan itu. Suara itu semakin terdengar dari berbagai arah. Membuatku merinding.

Kie Light #1: Sandekala (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang