Mozaik 7

759 77 9
                                    

Nyawaku telah berada di ujung leher. Mungkin akan terlepas bila tak ada yang menolongku.

Tiba-tiba kurasakan sesuatu di leherku.

Basah.

Tajam.

Ada yang menggigit leherku.

Bukan makhluk itu.

Rasanya sakit sekali.

Aku tercekik.

Leherku panas.

Bila begini aku bisa benar-benar mati.

"Berisik sekali! Ada apa—hei, Kak, apa yang sedang kau lakukan?!" terdengar suara Siman.

Ian tidak menjawabnya.

Ini seperti tempo lalu.

Aku terapung di antara dua dunia.

Dunia mimpiku tak mau melepaskanku tapi dunia nyata bisa aku rasakan dengan jelas.

Aku merasakan Ian menggenggam erat kedua lenganku, dadanya bertumpu di dadaku, sebelah kakinya menahan kakiku yang meronta-ronta, dan mulutnya menempel di leherku. Menggigitku seperti drakula. Sesaat aliran darah yang menuju ke kepalaku terhenti. Tapi tak berapa lama kemudian aku tersadar. Mataku terbelalak karena syok. Aku langsung bangkit dengan napas yang terengah-engah.

"Siman! Ambilkan handuk dan air minum!" perintah Ian.

Keringat membasahi tubuh kami.

"Danny! Lihat aku! Lihat aku! Apa kau tidak apa-apa?"

Aku menelan ludah masih dengan napas tersengal.

Aku pandang kedua bola matanya.

Berusaha fokus.

Semuanya tampak buram.

Berbayang.

Kabur.

"Ini!" kata Siman memberikan handuk dan segelas air.

Ian mengelap wajah dan tubuhku yang basah oleh keringat.

"Minumlah ini, Dane!"

Ian memberikan segelas air itu padaku.

Aku rasakan seluruh tubuhku sakit. Aku raba leherku. Ada bekas gigitan di situ.

"Maafkan aku, Danny! Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Tadi kau kejang-kejang. Aku sudah coba membangunkanmu tapi kau tidak terbangun juga. Aku lihat kau mencakar dan mencekik lehermu sendiri. Tidak tahu kenapa dengan spontan aku ingin menggigit lehermu dan berharap kau sadar. Sekali lagi aku minta maaf, Dane!" ujar Ian.

"Tidak apa-apa. Justru aku berterima kasih. Kalau tadi aku tidak bangun, aku bisa mati," kataku.

"Mati?" heran Ian.

Aku mengangguk. "Aku mimpi Sandekala itu mencekikku. Rasanya begitu nyata. Aku tidak bisa bernapas. Aku dengar suaramu dan Siman tapi aku tidak bisa bangun."

"Mati dalam mimpi?" tanya Siman keheranan yang sedari tadi berdiri di sampingku.

Aku tidak meresponnya. Hanya menatapnya sebentar lalu pandanganku teralih pada kedua telapak tanganku. Memandang kosong garis-garis tangan.

"Apa kau sakit?" tanya Ian. "Sebaiknya kita ke rumah sakit saja."

"Aku baik-baik saja. Aku sudah sering bermimpi buruk. Tapi, baru kali ini mimpi burukku terasa senyata ini."

Aku menggigil dan tanganku gemetaran.

"Apa kau mau pulang?" tanya Ian. "Biar aku antar kau pulang."

Kie Light #1: Sandekala (TAMAT)Kde žijí příběhy. Začni objevovat