Mozaik 29

382 38 8
                                    

Pertengahan Juli.

"Shanty, kau sudah siap?" sahutku sedari tadi menunggunya di atas motor yang akan aku jalankan.

"Tunggu sebentar, Dane!" balasnya.

Dia keluar dengan memakai seragam sekolah yang pas di tubuhnya. Terlihat cantik tentu saja. Apalagi dengan rambut yang hitam lurus panjang itu.

Hari ini adalah hari pertamanya sekolah. Kami segera berangkat sebelum kesiangan.

Setelah aku memakirkan motor, kami segera masuk ke kelas kami masing-masing.

Aku masih sekelas dengan Flo dan Nora. Mereka sangat senang saat mengetahui kami berada di kelas yang sama. Tapi bukan hanya Flo dan Nora, Shen juga sekelas dengan kami. Lelaki yang merebut peringkat kesatu dariku itu selalu bersikap baik padaku sejak tragedi di toilet sekolah beberapa bulan lalu.

"Danny, siapa yang bersamamu tadi?" tanya Nora.

"Dia ... saudaraku," kataku.

"Saudara? Kenapa kau tidak mengenalkannya pada kami?" tanya Flo.

Sebelum sempat aku menjawabnya, Bu Reini masuk ke kelas kami.

***

Kami nongkrong di tempat biasa saat waktu istirahat tiba. Sembari menunggu gadis itu keluar, kami semua saling membicarakan tentang segala hal. Tapi yang terlintas di pikiranku hanyalah tentang itu.

Sandekala.

Gadis itu bagai bidadari. Auranya memancar dan melemahkan semua orang yang melihatnya. Kerap aku melihatnya tapi tak pernah bosan aku melihat wajahnya yang semakin cantik itu.

"Hai, Dane!" sapanya.

Aku hanya tersenyum tipis.

"Jadi ini, ya, saudaramu yang cantik itu?" tanya Shen memastikan. "Kenalkan namaku Shen Alvaconi."

"Aku Nora dan Flo. Salam kenal!" sapa Nora.

"Senang berkenalan dengan kalian. Namaku Shanty Andrean."

"Jadi, apa benar kau saudaranya?" tanya Shen pada Shanty.

Shanty sempat memandangku aneh sebelum menjawab pertanyaannya. Mungkin dia pikir lebih dari sebatas saudara tapi entahlah.

"Bagaimana? Kau sudah punya teman di kelasmu?" tanyaku saat kami pulang.

"Tentu saja," jawabnya pasti.

Malam ini, entah kenapa aku ingin membaca surat itu. Aku buka kembali kotak itu. Tapi berapa kali pun aku jungkir balik membaca tulisan-tulisan itu, aku tetap tidak mengerti apa isinya. Begitu pun tulisan yang ada di website ibuku. Tak ada petunjuk sama sekali mengenainya.

***

Minggu demi minggu, kami melatih teknik itu. Tapi hanya aku yang tak bisa melakukannya. Aku bahkan membawa CLAS-ku pulang. Setiap hari aku berlatih hanya agar aku dapat memunculkan Kinzoku Light. Tapi seberapa pun kerasnya aku mencoba, aku tetap tidak bisa melakukannya.

"Dane, sudah. Kau tidak perlu memaksakan dirimu," kata Ian padaku yang sedari tadi melihatku menebas-nebaskan pedangku pada pohon palm yang berada di belakang rumah.

Keringat bercucuran membasahi rumput kering di sekitarku.

Dia mendekatiku dan menyuruhku untuk duduk.

"Dane, kau tak perlu melakukannya," kata Ian. "Tanpa itu pun kau sudah lebih kuat dari kami."

"Kenapa aku tidak bisa sedangkan kalian bisa?" tanyaku.

Kie Light #1: Sandekala (TAMAT)Where stories live. Discover now