Mozaik 11

595 77 3
                                    

Aku belum melihat adanya Sandekala di sekitarku. Aku dan Iza menyusuri tepian sungai.

"Fanze! Fanze!" teriak Iza memanggilnya.

Dia begitu khawatir.

"Walaupun aku sering memarahi dan membuat Fanze menangis, tapi aku sangat menyayanginya. Bagaimana pun juga dia tetaplah keponakanku."

Air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya tumpah membanjiri pipinya.

"Kita pasti akan menemukan Fanze! Kau jangan berpikiran negatif! Dia pasti akan baik-baik saja. Ayo kita cari dia lagi!"

Kami semakin bergerak ke hulu. Tiba-tiba, dari arah hulu sungai, kami mendengar sesuatu.

Suara tetabuhan gendang.

Makin lama makin jelas.

Di kejauhan, sesuatu terlihat di sungai.

Segerombolan anak remaja di atas rakit.

Tabuhan gendang bertalu-talu makin kentara.

Mereka bergerak menuju ke arah kami.

"Iza! Cepat kita sembunyi!" kataku menarik lengannya.

Kami berdua sembunyi di balik batu.

Gendang itu membuatku merinding. Suaranya seperti pertunjukan musik tradisional yang kental akan aura mistis.

Aku mendekap Iza. Menutup mulutnya dengan tanganku agar dia tidak bersuara.

Perlahan kami intip mereka dari balik batu. Rakit yang mereka tumpangi bergerak mengikuti arus.

Aku lihat baik-baik wajah mereka semua.

Autis.

Mata hitam legam serupa iblis.

Ada sesuatu di tengah-tengah enam orang anak-anak sungai itu. Tiga orang anak kecil dan salah satunya adalah Fanze.

"Fanze!" pekik Iza.

Dia berontak dari dekapanku, berdiri, berlari, dan menceburkan diri ke sungai untuk menyelamatkan Fanze.

"Za! Jangan!" teriakku.

Aku tidak tahu harus melakukan apa. Rasa takut ini masih membelengguku. Aku lihat Iza seperti kesulitan untuk berenang seakan-akan sungai itu sangatlah dalam. Padahal setahuku, dalamnya tak lebih dari sebatas lutut.

Di saat rasa takutku sulit untuk aku singkirkan, Iza di sana berjuang menyelamatkan keponakannya sendiri. Dia tak peduli dengan segala ketakutannya. Dia berhasil meraih rakit itu. Tapi, seorang anak menceburkan diri ke sungai dan menarik kaki Iza. Berusaha menenggelamkannya.

"Arggghhh! Tolong!" teriaknya berusaha naik ke permukaan sungai. "Dane!"

Aku mengejar mereka. Dalam ketakutanku, tanpa berpikir lagi, aku langsung melompat ke sungai.

Sebuah keanehan yang tak dapat aku percaya.

Sungai ini tidaklah dangkal.

Aku tak bisa melihat dasarnya.

Semuanya gelap gulita.

Seakan-akan tak memiliki dasar sama sekali.

Untuk sesaat aku benar-benar terkesima melihatnya.

Kulihat dari dalam sungai, anak itu terus menarik kaki Iza ke kedalaman. Segera saja aku berenang dan berusaha menolongnya. Menarik Iza dari cengkeramannya.

Aku berusaha melepaskan tangan yang menggenggam erat kaki Iza. Berkali-kali aku meninju wajah anak itu dan akhirnya dia mau melepaskannya.

Anak itu tenggelam ke dasar sungai yang tak terlihat.

Kie Light #1: Sandekala (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang