Mozaik 32

394 46 1
                                    

Teringat satu kalimat yang membuat semangatku meluap dan berani melawan mereka.

'Bo I Hora' bagiku kalimat itu terdengar seperti 'Be A Hero'. Ibu, jika memang benar apa yang pernah hendak kau lakukan padaku demi kepentingan orang banyak, aku rela meskipun harus mati di tangan mereka. Tapi, jika itu salah dan kau merasa bersalah, tolonglah aku, bantu aku melawan mereka, dan lindungilah aku sampai senja ini berakhir.

Para Sandekala berdiri di setiap sudut, mengerumuni kami dengan laga tenang yang tak berniat untuk menyerang.

Aku terheran-heran. Tak satu pun dari mereka membawa sabit yang menjadi senjata mereka. Itu seharusnya memberi kemudahan bagi kami.

"Kami tidak ingin menyerang kalian, kami hanya ingin membawa anak itu!" kata sesosok Sandekala menunjukku.

"Tak akan kubiarkan kalian membawanya!" sergah Shanty.

"Kalahkan kami dulu jika kalian bisa!" gusar Ian.

"Kami akan memusnahkan kalian semua!" seru Ronny.

"Jika kalian menginginkan aku, lawanlah kami dulu!" kataku.

Para Sandekala akhirnya diam. Perlahan mereka mulai bergerak mendekati kami.

"SERRRAAANGGG!!!"

Dengan cepat kami mulai menyerang mereka sepenuh hati.

Kami empaskan senjata kami masing-masing. Bukanlah hal sulit melakukan itu. Hanya butuh tenaga sedikit saja untuk menggoyangkan pedang kami dan mereka pun musnah seketika. Bahkan semua saudaraku hanya butuh kilatan cahaya dari Kinzoku Light mereka saja untuk memusnahkan Sandekala-Sandekala itu.

Rhinna dengan kedua BENA-nya berlari lurus menuju keluar sambil dia sabetkan senjatanya itu ke tubuh iblis-iblis tersebut.

Sementara Winny dan Iza menari di antara mereka. Setiap kali berputar, lebih dari 10 Sandekala musnah di sekitar mereka.

Tanpa henti kami semua terus menyerang para Sandekala. Menembus barisan yang mereka buat untuk memblokir gua ini.

Ian lalu menceburkan dirinya ke dalam aliran sungai yang berada di tengah-tengah gua. Aliran air yang sangat deras menyeretnya dengan cepat menuju mulut gua selagi dia rentangkan kedua lengannya dengan masing-masing memegang salah satu sisi Ancient Souls-nya. Secara beruntun pedangnya pun mengenai ratusan kaki-kaki Sandekala yang tak pernah aku lihat dan dengan seketika pula mereka semua musnah.

Abu hitam bertebaran di mana-mana, mengotori gua ini, sungai, senjata kami, dan tubuh kami masing-masing. Abu dari mereka semua menjadi cairan yang sangat kental, lengket, dan bau amis saat bercampur dengan keringat kami sendiri.

Cahaya senja terlihat amat jelas dari mulut gua. Kami berlari secepat yang kami bisa, menyusul Ian yang tak bisa menghentikan dirinya dari derasnya aliran sungai. Untunglah dia berhasil keluar dari sungai saat dia menancapkan senjatanya ke tepian daratan di sampingnya.

Cahaya mentari sore yang indah menerangi tempat ini. Terkadang aku merasa aneh dan heran, kenapa mereka menampakkan diri mereka di saat senja bukannya malam hari?

Bahkan saat ini aku merasa tidak seperti senja kala. Ini seperti siang menjelang sore hari tapi waktu sudah menunjukkan pukul 17.30.

"Hei, katanya mereka muncul setiap senja tapi kenapa mereka tidak ada di tempat ini? Apa sekarang belum waktunya?" tanya Rhinna.

"Aku tidak tahu," kata Shanty.

Tak lama setelah kami keluar dari dalam gua, terdengar sesuatu. Suara gesekan alat musik biola.

"Khyatie," ucap Shanty.

Suaranya tidak terdengar samar melainkan sangat jelas di telinga kami. Suara biola itu begitu merdu. Mengalun berirama menggema ke seantero hutan. Mengiringi suasana tegang yang mulai menyeruak sedikit demi sedikit. Suara biola yang tadinya pelan perlahan mulai mengencang dan iramanya semakin memburu.

Kie Light #1: Sandekala (TAMAT)Where stories live. Discover now