Mozaik 23

2.3K 117 1
                                    

12 Mei.

Aku akan membawa Shanty pergi jalan-jalan. Sejak kemarin dia terus saja mengomel karena kami melupakan hari ulang tahunnya.

Aku masih ingat apa yang dikatakannya kemarin malam.

"Danny, apa kau melupakan sesuatu?" tanyanya memandangku aneh.

"Mmm, tidak. Memangnya ada yang aku lupakan?" tanyaku balik.

Dia malah melengos menonton TV di ruang depan seharian sampai Ian pulang.

"Eh! Kak Ian sudah pulang," sapanya manis.

Aku malam itu tidak tahu ada apa dengannya.

"Shan, aku mau langsung tidur. Aku kelelahan. Sebaiknya kau juga cepat tidur," kata Ian meninggalkannya.

"Oke! Kalian benar-benar lupa, ya? Atau pura-pura lupa?" tanyanya dengan nada menyindir.

"Lupa? Lupa apa?" tanya Ian.

"Ini hari ulang tahunku. Masa kalian lupa?" katanya kecewa.

Raut mukanya tampak konyol.

Mungkin marah.

Aku tidak bisa membedakan antara melucu dan sedang marah.

Sepanjang malam dia terus mengomel. Mengomentari kami dengan tingkah lakunya yang membuat kami tertawa.

Kami tidak tahu kalau dia sedang serius malam itu.

"Iya. Iya. Maafkan kami Shan. Sekarang apa maumu?" tanya Ian.

"Besok, kau, Danny! Harus mengajakku jalan-jalan seharian dan memberikan hadiah padaku. Dan Kak Ian harus memberikan hadiah yang kau janjikan tempo lalu," sergah Shanty.

***

"Hei! Kenapa kau senyum-senyum?" tanya Shanty mengagetkanku yang sedang memikirkan kejadian semalam.

"Ti-tidak, Shan."

"Ayo kita berangkat!" sergahnya.

"Baik! Baik!"

Aku menghidupkan motor.

"Kau mau jalan-jalan ke mana?" tanyaku.

"Coba aku lihat di daftarku, ya."

Dia membuka buku kecil yang dibawanya.

"Kegiatan pertama yang ingin aku lakukan adalah bermain di DREAMLAND!" serunya.

"Memangnya ada berapa kegiatan yang ingin kau lakukan?" tanyaku.

"Banyak sekali!"

"Apa?!"

"Sudahlah, jangan mengeluh! Perhatikan saja jalanmu!"

Dreamland, satu-satunya tempat yang tidak aku sukai di kota ini. Mungkin karena aku punya kenangan buruk akan tempat ini. Ketika aku masih kecil, aku dan ibuku menaiki kereta gantung. Dan terjadi masalah dengan wahananya. Kabelnya hampir putus, kami tertahan di tengah-tengah selama 5 jam.

"Dane, ayo kita naik itu!" sahutnya menunjuk roller coaster yang sangat mengerikan saat pertama kali aku melihatnya.

"Shan, sebaiknya kita main yang lain saja, ya?" usulku.

"Ayolah, Dane! Kau harus naik itu bersamaku!"

Dia menarik lenganku dan mengajakku menaiki permainan yang entah siapa yang pertama kali membuatnya pastilah cukup gila untuk membuat permainan seperti itu.

Shanty berteriak girang saat kami berputar-putar dalam rel. Tapi yang bisa aku lakukan hanya memejamkan mata karena ketakutan.

"Dane, apa kau tidak apa-apa?" tanyanya melihatku muntah karena pusing.

"Aku—"

"Sepertinya kau baik-baik saja! Sekarang kita coba permainan lainnya!" selanya menepuk pundakku dengan keras dan menarik lenganku. Menyeret tubuhku yang belum sepenuhnya sembuh dari rasa mual.

"Apa kau punya cukup keberanian, Dane?" tanyanya saat kami berada di depan rumah hantu. "Ayo kita masuk!"

Kami menaiki sebuah kereta mini. Kereta itu berjalan perlahan menyusuri lorong-lorong gelap dalam ruangan. Berbagai jenis hantu ada di sana. Menakuti setiap pengunjung yang masuk ke dalamnya. Itu tidak membuat kami ketakutan sampai beberapa meter dari pintu keluar, ada sosok yang membuatku merinding. Dan sosok bertudung hitam itu menjadi penutup dari perjalanan rumah hantu ini.

"Oke, sudah cukup di Dreamland. Sekarang kau mau pergi ke mana lagi?" tanyaku.

"Belanja sepertinya menyenangkan!"

Kami berkeliling di mall paling besar di kota ini. Entah apa yang sedang dicarinya. Dia berlari ke sana kemari, melihat barang-barang unik dari lantai ke lantai. Tak sengaja aku melihat sebuah toko pakaian. Ada sebuah rompi yang menarik perhatianku. Panjangnya hanya sedada. Bentuknya sama seperti yang pernah diberikan Shanty padaku tapi yang ini untuk wanita dengan kerah tebal krem dan berwarna coklat muda.

Aku beli pakaian itu sebagai hadiah ulang tahun Shanty.

Setelah dari sana, kami pergi ke berbagai tempat ramai lainnya. Dan ketika hari menjelang malam dia mengajakku makan Black forest di tempat biasa.

"Apa kau puas?" tanyaku dengan nada menyindir.

"Belum, ada satu kegiatan lagi yang ingin aku lakukan," jawabnya.

"Apa?!" alisku bertaut mengeluh.

ALBIAN CINEMA. Papan nama bioskop itu terpampang jelas dari jalanan.

"Nonton film?"

"Iya. Beberapa hari yang lalu aku lihat trailernya di TV. Itu film bagus."

Kami duduk di kursi paling belakang. Menonton film romantis yang menurutku membosankan sambil memakan popcorn yang sudah kami beli sebelumnya.

"Danny, kenapa laki-laki itu meninggalkan pacarnya?" tanya Shanty menonton film itu sambil memakan popcornnya.

"Ada kalanya, kau harus memilih. Antara kehidupan pribadimu atau kehidupan orang banyak."

"Kalau aku harus memilih di antara kedua pilihan itu, aku akan memilih kehidupan orang banyak. Tapi juga tidak perlu sampai mengorbankan kepentingan pribadimu demi kepentingan orang lain," ujarnya.

Dia menyandarkan kepalanya di bahuku.

"Danny, apa di sekolahmu ada seseorang yang kau sukai?" tanyanya.

"Apa maksudmu sebagai teman?" tanyaku balik.

Dia tertawa kecil mendengar pertanyaanku. "Apa kau tidak mengerti? Atau pura-pura tidak mengerti?"

Aku tahu, Shan.

Aku tahu apa yang kau maksud.

Dan satu-satunya orang yang aku sukai hanya kau. Apa kau tahu itu?

Aku memang tak punya keberanian untuk mengungkapkan isi hatiku padamu. Mungkin lebih baik untuk saat ini kita seperti ini. Bebas, tanpa ada rasa cemburu, khawatir, dan sakit hati.

Aku tahu kau adalah gadis kuat yang tidak memerlukan perlindungan laki-laki.

Malam semakin larut. Dia masih tertidur lelap di punggungku saat kami tiba di rumah. Aku menggendongnya ke kamarnya.

"Bagaimana jalan-jalannya? Menyenangkan?" tanya Ian.

"Melelahkan! Kami mendatangi hampir seluruh tempat hiburan di Albian."

"Oh begitu, ya! Untung saja dia tidak mengajakku."

"Kaubelum tidur?" tanyaku.

"Aku menunggu kalian pulang," jawabnya. "Oh ya, Dane! Taruh ini di sampingnya!" dia memberikanku sebuah kotak berbungkus kertas kado.

Sebelum kami tidur, aku taruh hadiah dari Ian dan dariku di samping tempat tidurnya.

"Semoga kau senang dengan hadiah dari kami," ucapku pelan padanya yang sudah tertidur pulas. "Selamat tidur, putri pemberani!"

Kie Light #1: Sandekala (TAMAT)Where stories live. Discover now