Mozaik 28

407 40 0
                                    

Dua orang itu sedang mendaki.

"Apa kita harus melakukan ini?" tanya wanita itu.

"Kita sudah bicarakan hal ini. Cuma ini jalan satu-satunya," jawab si pria.

"Mungkin masih ada cara lain. Kita tak perlu mengorbankan anak kita!" kata wanita Belanda itu.

"Tidak. Ini yang terakhir. Kita telah melakukan perjanjian dengan mereka!" sanggah si pria Jepang.

"Tapi, dia anak kita!" sergah Joanna.

"Yang kita lakukan ini tidak akan sia-sia! Anak kita akan menyelamatkan ribuan nyawa anak-anak yang tak bersalah di seluruh dunia!" balas Nikkiemura.

Sembari membaringkan anaknya di atas selembar kain putih bergambarkan bintang dalam matahari, dia membaca mantra yang tertulis dalam secarik kertas.

Tulisan itu, aku pernah melihatnya. Tulisannya sama seperti yang terdapat dalam surat peninggalan ibuku maupun dalam websitenya.

Sambil berjalan kembali ke kemah, aku terus berpikir tentang mimpi singkatku tadi.

Aku jadi berpikir sebenarnya apa alasan kedua orangtuaku mengorbankanku, memberikan jiwaku pada para Sandekala.

Bak ribuan kembang api yang meledak di angkasa, berwarna-warni, cahaya itu menerangi langit pagi yang baru terbangun dari tidurnya.

"Teruslah coba! Kalian pasti bisa! Munculkan Kinzoku Light!" sahut Sindia meneriaki mereka.

Semua orang di sana bisa mengeluarkan cahaya itu kecuali kami bertiga.

"Pikirkanlah pertarungan kemarin, emosi kalian, dan transferkanlah kekuatan kalian ke dalam senjata kalian!" sahutnya menyemangati semuanya.

Putih, ungu, perak, coklat, emas, hijau, oranye, kuning, dan merah. Warna-warna indah menghiasi langit biru pagi itu.

Aku memperhatikan Iza. Tampak bahwa dia menahan rasa sakit untuk menjaga cahayanya telah menyala.

Sindia mengatakan untuk dapat mengeluarkan cahaya itu tanpa rasa sakit, kami harus dapat mengatur emosi kami. Mengatur kekuatan kami agar terkendali dengan baik.

Pertarunganku akan segera dimulai.

Sebelum aku bertarung dengan Rhinna, kakakku sempat mendekatiku, menepuk bahuku dan mengangguk pasti padaku seakan dia sadar bahwa memang ini yang harus aku lakukan.

Sementara yang lain terus berusaha menahan rasa sakit itu, aku dan Rhinna mulai bertarung di tempat ini.

Tanpa kata, tanpa isyarat, kami berdua saling menghantamkan senjata kami masing-masing.

Baik aku maupun dia ingin segera dapat mengeluarkan cahaya itu sebelum hari penyerangan yang hanya tinggal menghitung hari.

Setiap serangan yang dilancarkannya aku tangkis dengan baik.

Aku serang balik gadis itu tanpa ragu sedikit pun.

Aku tidak mengerti ada apa denganku?

Adakah yang salah denganku?

Ataukah senjataku ini yang salah?

Aku tidak bisa mengeluarkan cahaya itu sedikit pun.

Aku menang melawan Rhinna tapi aku tak berhasil memunculkan cahaya itu.

Sedangkan Rhinna yang sedari tadi berusaha bertahan dari seranganku malah berhasil mengeluarkannya.

Ini seperti pertarungan Shanty dan Rhinna kemarin. Tapi, cahaya yang dikeluarkan senjata Rhinna bukanlah Kinzoku Light sebagai cahaya penerang, melainkan sebagai penyerang, sama seperti yang lainnya.

Kie Light #1: Sandekala (TAMAT)Where stories live. Discover now