Mozaik 2

1.2K 107 4
                                    

Sudah beberapa terakhir ini mimpiku janggal.

Mimpi sama yang kerap muncul.

Tentang gadis merah yang tak kuketahui identitasnya.

Tentang makhluk hitam yang membelenguku dalam dekapannya.

Makhluk yang selalu terbayang dan pada akhirnya membuatku berhalusinasi. Jika itu memang halusinasi.

Aku merasa seperti mendapat pertanda mengenai sesuatu. Mungkin aku harus melupakannya sehingga makhluk yang kadang muncul memperhatikanku itu lenyap.

Minggu ini adalah hari terpenting bagi kakakku. Ronny akan melamar kekasihnya. Tapi bagiku, hari ini pastilah akan sangat membosankan.

Setelah beres mandi pagi, aku turun ke lantai bawah dengan bertelanjang dada. Hanya mengenakan sehelai boxer tipis. Aku langsung sarapan semangkuk sereal sembari menonton televisi.

"Astaga, Danny, cepat siap-siap! Kau belum ganti baju? Cepat ganti sana!" perintah Ibu selagi menyisir rambutnya di cermin ruang depan.

"Iya, Bu, sebentar dulu," balasku malas.

Aku habiskan sarapanku lebih cepat dan menaruh mangkuk yang telah kosong di bak cuci piring.

Suara bel di depan pintu terdengar berbunyi saat aku hendak naik tangga. Segera, aku buka pintunya.

"Hai, Dane!" sapa Iza Zulistyav, anak dari teman ibuku.

Aku tak menyangka bukan hanya Iza dan kakak-kakaknya saja yang datang ke rumahku. Tetapi seluruh sepupuku bersama orangtua mereka datang. Keluargaku memang besar. Aku masih punya empat orang sepupu lain selain Ian dan adiknya—Siman. Mereka semua adalah anak dari adik maupun kakak ibuku.

"Siapa, Dane?" tanya Ibu. "Oh, kalian. Ayo masuk!"ajaknya. "Danny, cepatlah ganti baju! Lihatlah saudara-saudaramu! Mereka semua sudah siap berangkat!"

Aku heran, Ronny yang akan melamar kenapa mereka semua yang heboh?

"Ayo Dane, ganti bajumu. Kakakmu akan melamar seharusnya kau ikut meramaikannya," kata Siman mengalungkan sebelah lengannya di pundakku. Bersama, berjalan ke kamarku.

"Memangnya hari libur ini kau tidak ada acara? Bukankah biasanya kau selalu pergi dengan gengmu?" tanyaku sambil membuka lemari pakaian.

Siman sedang tiduran di kasurku. Memegang-megang hiasan perak yang dia ambil dari atas meja belajar.

"Tidak. Hari ini bukannya Ronny—"

"Yayaya aku tahu!"

Aku tidak tahu harus memakai baju apa. Di lemariku tidak ada kemeja. Seragam sekolah belum kering. Aku merasa tidak enak bila harus memakai kaus.

"Bagaimana sekolahmu? Kau masih ranking pertama?" tanyanya.

"Tentu," jawabku. "Aku heran kenapa kau tidak seperti kakakmu? Ketika dia sekolah di sekolahmu, dia adalah murid terpintar."

"Lalu, kenapa kau tidak sama seperti kakakmu?" dia balik tanya.

Aku bergeming.

Aku tahu dia tidak membandingkanku dengan Ronny dari segi kepintaran. Tapi, dia menyindir fisikku. Hal itu sedikit membuatku risih. Aku juga tidak begitu suka dengan fisikku yang sungguh 'bule' ini.

Aku menemukan kaus berwarna putih. Aku pakai saja itu ketimbang tak ada sama sekali. Aku lapisi kaus itu dengan baju hangat biru mudaku yang terbuat dari wol. Untuk bawahannya aku pakai jins hitam seperti Siman.

Aku sisir rapi rambutku di depan cermin. Tahun demi tahun warna rambutku semakin cerah. Dulu hitam, coklat tua, dan sekarang rambutku berwarna coklat terang seperti rambut jagung. Perubahan-perubahan yang mencolok pada tubuhku ini semakin membuatku tak nyaman. Aku benar-benar seperti orang asing yang dipungut oleh keluarga ini.

Kie Light #1: Sandekala (TAMAT)Where stories live. Discover now