Mozaik 34

417 37 1
                                    

Dia berdiri di hadapanku

Satu-satunya yang terakhir.

Perlahan aku berjalan mendekatinya dengan pedang yang masih utuh di lengan kananku.

Aku hendak memusnahkannya, tapi dia memberikanku pilihan-pilihan terbaik yang bisa aku ambil.

Dia ingin mengadakan transaksi denganku.

"Apa kau akan memusnahkanku?" tanyanya

Kami saling bertatapan.

"Tentu saja. Kalianlah yang menyuruhku melakukan ini. Nyaris semua saudara-saudaraku kini telah mati. Tak ada yang lebih baik selain memusnahkanmu demi kematian mereka dan demi jiwa anak-anak yang telah kau rebut!"

"Tapi, kau masih punya pilihan yang lebih baik daripada memusnahkanku di tempat ini," katanya.

"Pilihan? Pilihan apa?" tanyaku.

"Pernahkah kau memikirkan betapa sedihnya para orangtua mereka jika mengetahui anak-anaknya telah mati?" tanyanya.

"Apa maksudmu?"

"Aku bisa menghidupkan mereka kembali," katanya. Sesaat aku terdiam. Tapi aku tak heran dengan apa yang dikatakannya. "Atau .... kami berjanji tidak akan menculik anak-anak desa itu lagi."

"Lalu, apa yang kau inginkan dariku jika aku memilih salah satu pilihan tersebut? Jiwaku? Apa kau menginginkannya?"

"Ya. Tentu saja aku menginginkannya," jawabnya dengan nada yang tak sabar untuk segera melahapku.

"Bagaimana jika aku tidak mau? Bagaimana jika aku memusnahkanmu di sini?"

"Bukan hanya nyawa saudara-saudaramu yang tak bisa kembali, nyawa anak-anak juga akan semakin terancam karena meskipun kau memusnahkanku saat ini, kami akan bisa kembali ke dunia ini lagi suatu saat nanti," jawabnya.

"Tapi, jika aku memusnahkanmu. Kutukan ini akan hilang dari tubuhku. Itulah alasanku—alasan kami melawan kalian," kataku.

"Bukankah itu tindakan yang egois?" katanya. "Kau lebih memikirkan dirimu ketimbang nyawa saudara-saudaramu yang selalu setia kepadamu."

Seketika, buyar semua rencana-rencana yang tersusun rapi dan risiko-risiko yang telah diperhitungkan sebaik mungkin. Aku tidak sanggup. Perkataannya membuatku berpikir ulang apakah benar aku orang yang egois?

Semua keraguan yang telah hilang kini kembali bergumul di otakku. Menyesaki setiap sela-sela pikiranku.

Sesaat pandanganku tertuju pada bola batu hijau di pangkal pedangku.

Rembulan merangkak semakin tinggi dari timur menghiasai langit malam.

Senja akan berakhir beberapa menit lagi.

"Apa ada pilihan lain? Pilihan yang tak harus mengorbankan nyawaku?" tanyaku pelan.

"Tidak! Aku hanya memberimu dua pilihan. Dan apa pun yang kau pilih, kau harus memberikan nyawamu sebagai imbalannya."

"Bisakah aku memilih keduanya? Nyawa saudara-saudaraku dan anak-anak?"

"Kau harus memilih salah satu!" jawabnya lantang.

Hanya ada dua pilihan;

Satu, kukorbankan nyawaku demi menghidupkan kembali saudara-saudaraku yang telah mati.

Dua, kukorbankan nyawaku demi menyelamatkan nyawa anak-anak yang tak bersalah.

Dua pilihan yang sama-sama merugikanku. Tapi ... aku harus tetap memilih! Karena mungkin sudah takdirku untuk mati.

"Mana yang akan kau pilih?" tanyanya.

Dua pilihan itu begitu sulit karena pilihan-pilihan tersebut bukanlah tujuan dari semua ini melainkan kesempatan yang bisa aku ambil untuk membuat semua kembali seperti sediakala ataupun membuat sesuatu yang lebih baik untuk anak-anak. Meski aku harus mati, aku rela.

Aku jatuhkan pedangku.

Aku telah memilih.

Pilihan yang seharusnya tidak aku ambil.

Maaf anak-anak.

Kie Light #1: Sandekala (TAMAT)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt