Mozaik 20

1.5K 91 13
                                    

Sudah tiga bulan kami latihan. Strategi dirancang sedemikian rupa agar kami tidak melakukan kesalahan yang sama seperti generasi sebelumnya yang berjuang tapi malah berakhir dengan kematian.

Sindia adalah pahlawan masa lalu. Pahlawan yang kalah di medan perang. Sebagai orang yang melatih kami, dia tidak mau kalau kejadian yang pernah dialaminya dulu terulang pada kami. Saat kami semua mati, dan transaksi jadi satu-satunya pilihan terakhir kami untuk hidup kembali.

Dia pernah bercerita pada kami bahwa dihidupkan kembali oleh sosok yang telah membunuhnya tidaklah menyenangkan. Bak mendapat durian runtuh yang sengaja dilemparkan ke kepalanya.

Di hari minggu 27 Desember ini adalah tepat lima hari sebelum tahun baru tiba. Rencananya malam tahun baru nanti Ian akan mengajakku ke pantai WHISPER—salah satu pantai terindah di Claiyraira utara, kota bagian utara Vanjava.

Usai latihan kami hari ini, aku dan Ian berbincang-bincang dengan Shanty di rumahnya.

"Shanty, aku ingin bertanya padamu. Apa kau sekolah?" tanya Ian padanya.

"Ehm ... tidak. Selain tidak punya biaya, sekolah SMA sangat jauh dari sini," jawab Shanty.

"Bagaimana keseharianmu. Apa yang biasa kau lakukan?" tanyanya lagi.

"Aku kadang-kadang membantu pengurus desa membuat dokumen-dokumen. Aku juga sering belajar komputer dan internet di sana," jawab Shanty. "Memangnya kenapa kau menanyakan hal itu?"

"Shanty, maukah kau ikut bersama kami? Ke kota?" tanya Ian.

Aku memandangnya heran.

"Maksud Kak Ian?"

"Maksudku, kau sudah tahu kan kalau kami hanya tinggal berdua."

"Ya, lalu?"

"Tahun depan bosku menggangkatku menjadi manajer di salah satu bagian perusahaan itu. Dan dia mengharuskanku bekerja sampai sore. Kalau kau mau tinggal bersama kami mungkin kau bisa membantu."

"Membantu apa?" tanya Shanty.

"Mengurus rumah dan ... menemani Danny," kata Ian. "Tapi aku tidak akan memaksamu kalau kau tidak mau. Bagaimana, Shan?"

Shanty menatapku dengan pandangan aneh. Seperti tatapan menuduh bahwa aku yang menyuruh Ian berkata begitu.

"Ian, Aku tidak perlu ditemani. Lagi pula aku juga bisa mengurus rumah. Kau tak perlu meminta Shanty. Dia pasti sedang sibuk," kataku menyanggah. "Benar kan, Shanty?"

"Tidak! Sebenarnya aku mau saja ikut dengan kalian. Tapi nenekku sendirian. Tidak ada yang menemaninya," katanya.

"Sejak kapan kau peduli padaku. Bukankah setiap hari kau jarang di rumah. Lebih baik kau ikut saja dengan mereka!" sindir Sindia dengan nada mengusir.

"Yah, Nenek! Aku kan tidak begitu!" balas Shanty.

"Bagaimana Shan?" tanya Ian.

"Baiklah!" jawabnya setelah beberapa detik berpikir. "Kapan? Sekarang?"

"Tidak! Tidak! Minggu depan saja," jawab Ian.

"Oh! Oke!"

***

"Kak!" panggilku sedikit berteriak di tengah perjalanan pulang.

"Aku tahu apa yang akan kau tanyakan. Tak apa Dane, tak ada ruginya k dia tinggal dengan kita. Aku tahu kau menyukainya, kan?" godanya menyela perkataanku sambil tersenyum.

"Siapa? Aku? Oh tidak! Tidak! Aku menganggapnya sebagai teman biasa saja!"

Dia malah tertawa kecil mendengar perkataanku yang gelagapan dan melajukan motornya lebih cepat lagi.

Kie Light #1: Sandekala (TAMAT)Where stories live. Discover now