Mozaik 4

885 98 11
                                    

Gadis itu terus mengejarku.

Berusaha meraihku.

Berpeluh keringat.

Bersimbah Darah.

Dia tidak memedulikan hal itu.

Yang dia inginkan hanya aku.

Ingin memelukku dan melepaskan jeratan makhluk hitam terkutuk itu dari tubuhku.

Siapa dia?

Aku tidak bisa melihat wajahnya. Seolah ada yang sengaja memburamkan dari ingatanku.

Pakaiannya sedikit rumit untuk digambarkan tapi rok mini berenda yang dipakainya berkobar-kobar di gelapnya malam yang mulai merangkak melahap langit senja.

Dia terjatuh ke dalam jurang.

Semuanya kembali gelap.

Mimpi yang sama.

"Danny ... bangun, Danny," suara seorang pria mengusik tidurku.

Kubuka mataku pelan-pelan. Kulihat sosok bak malaikat. Wajahnya berseri, kulitnya putih kecoklatan. Putih yang pas untuk orang Indo, rambutnya bergaya Spiky, dan dia tidak pernah sekalipun tidak tersenyum saat menatapku sedekat ini. Endycian memang tampan. Tapi tak menghilangkan wajah khas Indo-nya. Aku heran kenapa sampai detik ini tidak ada satu gadis pun yang menarik perhatiannya.

Aku juga tampan aku akui itu. Tapi, di negara ini aku merasa seperti mayat yang terlapisi krim pemutih tebal.

"Mau sekolah, tidak? Kita berangkat sekarang!"

"Ya ... Ya ...," jawabku masih terkantuk.

Aku melirik jam dinding. Pukul 04.00.

"Ini kan masih terlalu pagi. Dan ... tak biasanya kau menjemputku sepagi ini?" heranku sembari meregangkan badan.

"Kita akan pergi ke suatu tempat dulu," katanya. "Sekarang cepat pergi mandi dan pakai seragammu! Aku tunggu kau di bawah."

Aku manggut-manggut dengan mata yang kembali terpejam. Dengan sedikit malas kulucuti pakaianku. Membiarkan siraman air hangat membasuh sekujur tubuhku pagi ini.

Saat aku melihat ke cermin, ada sesuatu yang berubah lagi pada wajahku. Alisku kini coklat seperti rambutku. Dan mataku terlihat aneh. Aku lihat itu bukan seperti mataku. Mata itu seperti bukan mata manusia. Aku tak berani memandangnya lebih lama. Segera aku pakai seragam dan tas sekolahku.

Rambutku sampai lupa aku sisir karena terburu-buru ingin segera keluar dari kamar. Aku benar-benar takut jika makhluk itu sampai muncul. Karena tak hati-hati, aku terjatuh saat menuruni tangga. Untung saja Ian berada di bawah tangga sehingga berhasil menahan tubuhku yang berat dengan kedua lengan berototnya.

"Trims."

"Makanya hati-hati, Dane."

Aku dengar suara ibu di dapur sedang sedang mengiris sesuatu. Mempersiapkan sarapan untukku.

"Ada apa, Dane?" tanya Ian khawatir melihatku aneh. "Kau mimpi makhluk itu lagi?"

"Bukan hanya itu," jawabku. "Lihatlah mataku!"

Ian memandang mata biruku lekat-lekat.

Lebih dekat.

Lebih dekat lagi.

Lalu dia terkesiap mundur.

"Ada apa dengan pupilmu, Dane? Pupilmu membesar dan mengecil pipih seperti mata kucing," katanya.

"Itulah masalahnya. Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku? Semua perubahan fisik yang mendadak pada wajahku ini terjadi semenjak hari ulang tahunku. Aku takut, bagaimana seandainya bila seluruh tubuhku ini berubah? Berubah menjadi sesuatu yang lain yang tidak aku kenal."

Kie Light #1: Sandekala (TAMAT)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt