25. Belajar

1.2K 105 3
                                    

"Harusnya lo bisa belajar," Rama meletakkan botol air mineral ke hadapan Aurel. Belum banyak yang datang ke sekolah karena saat ini masih terhitung sangat pagi.

Aurel meminum air yang telah diberikan Rama sebelum ia berucap, "iya gue tau."

"Cinta tapi tak berbalas atau cinta bertepuk sebelah tangan itu hal yang lumrah. Dan merasa patah saat mengetahui fakta yang ada juga bukan lagi hal baru." Rama menggeser tubuhnya agar bisa berhadapan dengan Aurel. Ia menghela nafasnya, andai saja Aurel tau seperti apa perasaannya. Sudah pasti Aurel paham bahwa ia pun merasakan hal yang sama seperti yang Aurel alami.

"Umur kita masih terlalu muda rel, waktu lo akan terbuang sia-sia jika lo hanya memikirkan patah hati yang lo rasakan." Rama menatap Aurel, namun saat tak mendapat jawaban dari Aurel, Rama memilih untuk melanjutkan ucapannya.

"Disini nggak cuma lo yang merasa patah hati. Masih banyak di luar sana yang juga merasakan patah hati seperti lo. Dan sekarang lo tinggal pilih. Masih mau larut dalam patah hati yang sama sekali nggak ada faedahnya atau lo belajar dari patah hati yang lo rasakan?. Mungkin dari sini Allah mau nunjukkin bahwa saat ini masalah seperti itu bukanlah prioritas kita. Tapi prioritas kita saat ini adalah belajar, mengembangkan potensi diri dan mencari kebahagiaan  lain. Karena sumber kebahagiaan itu ada banyak. Kalo lo sedih karna satu hal. Masih banyak hal yang akan membuat lo bahagia dan lupa dengan kesedihan lo."

"Contohnya?" Kini Aurel bertanya sembari menatap Rama.

"Simpelnya ya. Lo punya hobi baca novel, terus saat lo baca novel lo ngerasa bahagia nggak?."

"Bahagia."

"Lagi, lo suka main di perusahaan papa lo dan belajar banyak hal disana. Dan saat lo melakukan hal itu lo merasa bahagia nggak?" Aurel mengangguk.

"Apa yang bikin lo bahagia dari kedua hal itu?"

"Ya gue merasa terhibur dan memiliki kepuasan tersendiri saat gue baca novel. Terus gue emang suka main ke kantor papa, selain gue dapat banyak ilmu. Gue juga bisa menghabiskan banyak waktu sama papa yaa meskipun sekedar tanya-tanya masalah kantor."

Rama tersenyum. " itu poinnya. Sekarang kenapa lo masih sedih? Banyak kebahagiaan yang menanti lo. Mulailah kerjakan apapun yang membuat lo bahagia selagi tidak berdampak buruk dan merugikan diri lo dan orang lain."

"Tapi Ram," Aurel mengeratkan pegangannya pada botol air mineral di tangannya. Sesuatu masih mengganjal perasaannya.

Rama menatap Aurel yang menunduk, mengambil jeda sebelum ia mengungkapkan sesuatu.

"Gue sekarang udah nggak sakit hati karna rasa gue nggak berbalas. Karna sedari awal juga gue udah sadar akan hal itu. Tapi yang gue takuti adalah... apakah gue bisa bersikap baik-baik aja dihadapan Rendra? Apakah gue bisa bersikap seperti biasanya? Dan apakah Rendra juga bisa bersikap seperti biasanya ke gue setelah dia tau gimana perasaan gue." Aurel menghelan nafasnya. Ia menanti jawaban dari Rama, sebenarnya hal ini lah yang beberapa hari ini mengganggu pikirannya. Hal inilah yang membuat hatinya sedih.

Rama terdiam sejenak, inilah yang juga Rama takutkan apabila Aurel mengetahui perasaannya. Ia memejamkan matanya, mencoba mencari jawaban yang terbaik dan yang mungkin juga akan ia lakukan saat ia berada di posisi Aurel maupun Rendra saat ini.

"Gini.. gue tau ini berat, terlebih lo sama Rendra juga dekat kan. Tapi sekarang lo coba untuk berpikir dewasa, mungkin bakalan sulit untuk bersikap seperti sebelumnya. Tapi selagi lo bisa usaha kenapa enggak? Belum tentu juga kan Rendra akan mendiamkan lo. Ya kalau memang hal itu terjadi, cobalah lo yang membuka diri. Lo ajak Rendra bicara. Bersikap seperti biasa. Anggap nggak ada apapun yang terjadi diantara kalian. Ya mungkin emang susah, tapi selagi lo bisa usaha kenapa enggak? Syukur-syukur Rendra tetep bersikap seperti biasa."

Lagi-lagi Aurel menghela nafasnya. Susah. Satu hal yang melintas di benak Aurel. Bisakah dirinya bersikap biasa saja?. Aurel memejamkan matanya.

"Ya, gue bakalan usaha." Menatap Aurel yang berbicara demikian, Rama pun tersenyum.
***

Rendra tersenyum ke arah dua orang yang kini tengah asik berbicara. Ia menghela nafasnya sebelum ia bersiap untuk menyapa kedua orang itu. Setidaknya meski tak lagi seperti dulu, ia akan berusaha bersikap seperti biasanya.

"Widihh... pagi-pagi udah ngegosip aja. Ngomongin apa nih?" Rendra meletakkan tasnya tepat di kursi samping Rama. Ia melirik Aurel yang hanya tersenyum kepadanya. Ia tau, pasti Aurel masih memikirkan kejadian beberapa hari lalu. Dan jujur saja, Rendra tidak ingin melihat Aurel yang seperti ini. Ia lebih suka Aurel yang cerewet seperti dulu.

Sedangkan Rama yang melihat kecanggungan diantara kedua sahabatnya itu turut menghela nafas.
"Lo kira kita doyan gosip." Pada akhirnya Rama lah yang menjawab karena sedari tadi Aurel hanya terdiam.

Sedangkan Rendra tidak terlalu menggubris jawaban Rama, toh sebenarnya ia tau bahwa Rama dan Aurel tidak sedang menggosip.

"Etdah. Lo masih marah sama gue ya rel? Dari tadi betah amat diem." Rendra kembali bersuara, mencoba seperti biasa seolah-olah tak terjadi apapun antara dirinya dan Aurel. Karena ia yakin jika ia juga diam seperti Aurel maka yang ada hanya persahabatan antara dirinya dan Aurel semakin pudar.

Aurel menghela nafas, ia sudah membicarakan hal ini dengan Rama, meskipun terasa canggung ia harus tetap bersikap seperti biasa seolah-olah tidak ada sesuatu yang terjadi seperti apa yang tengah dilakukan Rendra pagi ini.

"Marah apaan sih? Lo tuh brisik. Baru juga dateng. Yang anteng kek."

Rendra tersenyum merasa bahagia karena Aurel tetap bersikap seperti biasanya walaupun raut wajahnya tak menampakkan yang demikian.

"Kalo gue anteng nanti semua orang pada kaget. Bener nggak Ram?"

Rama hanya tersenyum sesekali melirik Aurel yang ia yakin sedang berusaha bersikap normal seperti biasa.

"Ya malah senyum doang, mentang-mentang senyumnya manis apa ya.. eh kalian udah pada ngerjain tugas fisika kan?"

"Kenapa? Mau nyontek?" Tanya Aurel yang membuat Rendra mengelus dadanya.

"Astsgfirullah Rel, omongan lo emang suka bener deh. Tapi santai. Kali ini Rendra udah selesai kok. Udah dikerjain." Jawab Rendra sembari mengeluarkan buku fisikanya dan menunjukkan pada Aurel dan Rama.

Rama berkomentar, "tumben udah ngerjain."

"Iya dong. Kan udah mau lulus, masa iya gue malas terus." Jawab Rendra tanpa sadar membuat Aurel dan Rama tertawa.

"Akhirnya sadar juga." Ucap Rama bangga.
***

Seeyou next chapter💕

Hexagon LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang