7. Hujan

2K 169 11
                                    

Seharusnya pagi ini cerah. Dan matahari bersinar dengan gagahnya. Namun sayang seolah saat ini matahari lebih mengalah pada hujan. Ternyata ia memilih agar hujan menggantikan dirinya sehingga manusia bisa melihat bahwa langit pun bisa menangis. Huh betapa melankolisnya langit itu.

Aurel masih berdiri di ambang pintu, ia sudah rapi dengan seragam sekolahnya. Hanya saja jika boleh memilih. Ia ingin kembali tidur dari pada harus bersekolah. Bukan karena ia malas. Tapi karena  dingin yang di timbulkan hujan begitu menusuk kulit hingga menembus ke dalam tulangnya. Membuat ia menggigil.

Namun tiba-tiba sebuah tangan kekar sudah memeluknya dari belakang, menyampirkan jaket ke pundaknya.

"Pakai jaketnya nanti kamu sakit." Aurel mendengus kemudian tersenyum. Tangan kekar itu adalah tangan papanya. Pantas saja mamanya tergila-gila dengan papanya. Lah ternyata papanya seromantis ini. Dan hal itu membuat Aurel kadang berpikir. Kelak ia ingin mempunyai suami yang seperti papanya, baik, romantis, tampan, dan perfect.

"Papa dulu berapa lama pacaran sama mama?" Tanya Aurel tiba-tiba membuat papanya mengernyitkan dahi.

"Papa nggak pacaran sama mama." Jawabnya.

"Aurel nggak percaya."

"Kenapa tiba-tiba tanya begitu? Mama sama papa emang nggak pernah pacaran kok." Sahut mamanya yang tengah berjalan menghampirinya.

"Yaa.. kan Aurel penasaran aja. Ma." Ucapnya disertai sebuah cengiran.

"Udah.. buruan berangkat. Sekolah dulu yang bener. Jangan mikir pacar-pacaran." Pesan mamanya-Vania.

"Kayak dulu mama nggak pacaran aja." Sahut Dava yang tidak lain adalah papa Aurel.

"Ya kan beda.. pokoknya Aurel belajar dulu ya. Pacaran itu nanti ada masanya." Ucap Vania pada putrinya.

"Pacaran itu kalau ada pacarnya, mama.." jawab Aurel yang langsung membuat papanya tertawa sementara mamanya mendelik tajam.

"Aurel bercanda kok." Ucapnya lalu mencium pipi mamanya.

"Aurel sama papa berangkat ya ma. Assalamu'alaikum." Pamitnya lalu menuju mobil papanya. Sementara papanya? Masih sibuk menjalankan ritualnya sebelum meninggalkan rumah. Apa lagi? Selain mencium kening mamanya dan berganti mamanya mencium tangan papanya. Aurel akui. Mama dan papanya itu sangat romantis.
***

Dinda turun dari mobil Ayahnya sembari mengeratkan jaketnya. Tangan kirinya sibuk memegangi payung.

"Yah.. Dinda sekolah dulu yaa. Assalamu'alaikum." Pamitnya setelah mencium tangan Ayahnya. Sementara Abhi mengamati putrinya itu hingga benar-benar masuk ke dalam sekolah. Hari ini, Abhi memang tidak mengizinkan Dinda untuk berangkat bersama Zhafran. Bukan karena Abhi tidak lagi mempercayai Zhafran. Hanya saja hujan yang begitu deras membuatnya was-was jika Zhafran harus berangkat bersama Dinda. Bahkan Abhi pun meminta Syam agar tidak membiarkan Zhafran membawa mobil sendiri. Setidaknya untuk hari ini. Entah Abhi yang terlalu lebay dalam menyikapi sesuatu ataupun sebagainya. Yang jelas. Ini adalah firasat seorang Ayah. Ia hanya ingin putrinya selamat. Sudah.. begitu saja.

"Baru dateng?" Dinda hampir saja membuang payungnya akibat terkejut.

Ia benar-benar kaget melihat kedatangan Zhafran yang secara tiba-tiba.

"Lo sendiri?" Tanya balik Dinda.

"Udah dari tadi sih."

"Di anter om Syam??"

"Iya."

"Lo kenapa?" Tanya Dinda yang melihat Zhafran begitu lesu.

"Gue nggak papa."

Hexagon LoveWhere stories live. Discover now