19. Diam diam

1.6K 144 13
                                    

"Jadi remaja sih harus yang berguna kalo menurut gue. Sering-seringin ikut kegiatan positif kembangin potensi yang kita miliki. Kalo remaja macem kita aja udah bertindak negatif, gimana nanti adek-adek kita yang masih kecil? Mereka kan mencontoh dari orangtua dan kakak-kakaknya."

"Tapi kak. Nggak semua remaja sadar akan potensi yang mereka miliki, nggak semua remaja juga mau berpikir dan bertindak positif. Kebanyakan dari mereka hanya mengutamakan kesenangan sesaat dengan hal-hal yang kadang nggak cuma merugikan diri mereka sendiri tapi juga merugikan orang lain."

"Misalnya?" Zhafran yang sedari tadi hanya diam mendengarkan argumen Rama dan Clarista kini bersuara.

"Ya contohnya sih banyak, misalnya Malas belajar, Tawuran, melanggar aturan sekolah dan yang paling meanstrem ya pacaran. Pokoknya contohnya banyak deh. Susah kalau disebutin satu-satu."

"Tapi kan pacaran itu sebagai sarana pengekspresikan rasa terhadap seseorang yang kita sayang, kalau gue sih nggak terlalu bermasalah sama yang namanya pacaran selagi pacarannya yang positif dan nggak macem-macem." Dan Rendra yang sedadi tadi sibuk dengan ponselnya pun ternyata diam-diam mengikuti diskusi mereka dan kini ia menyuarakan apa yang ada di pikirannya.

"Oke siapa dulu nih yang mau berpendapat?" Tanya Rama menengahi. Sore ini mereka tengah berada di rumah Adinda, awalnya sih hanya ada Dinda dan Clarista. Namun Rendra yang tengah bersama Rama memilih menyusul, tentu saja dengan modus Rendra yang ingin bertemu Clarista. Tapi sebelum mereka datang, Rendra dan Rama menyempatkan untuk menjemput Aurel. Dan Zhafran yang datang paling akhir karena Dinda menelfonnya.

Sedangkan diskusi ini entah mulai dari mana, awalnya mereka hanya berbincang masalah biasa lalu berujung pada hal ini.

"Oke biar gue dulu." Ucap Dinda yang baru datang dengan beberapa minuman dan makanan ringan. Kemudian ia memilih duduk diantara Clarista dan Aurel.

"Gue sih sebagai manusia biasa nggak bisa memungkiri kalau gue pun punya rasa suka sama yang namanya lawan jenis. Terutama di usia kayak kita ini. Tapi meski begitu, gue sih akan berusaha untuk nggak pacaran karena selain nggak boleh sama ayah dan umi, menurut gue pacaran itu nggak berfaedah."

"Gue setuju." Sahut Aurel

"Mungkin iya pacaran itu sebagai sarana mengekspresikan rasa suka kita terhadap lawan jenis seperti yang Rendra bilang, tapi tetep aja yang namanya pacaran itu belum halal. Ibaratnya makanan nih, kalau yang nggak jelas kehalalannya aja nggak boleh dimakan. Nah pacaran juga yang udah pasti enggak halal, jadi harusnya tidak dilakukan. Lagi pula kalau pacaran pasti ujungnya galau. Pacarnya gini dikit galau, salah dikit galau, nggak di chat galau. Ribet dah."

"Alah elo aja yang jomblo suka galau gitu, Rel." Aurel mendengus mendengar cibiran Rendra. Pria itu memang selalu saja berisik.

"Ya galaunya gue beda kali sama galaunya orang pacaran. Kalau jomblo itu kesadarannya lebih tinggi. Mereka dari awal udah sadar kalau dia tidak memiliki. Lah kalo pacaran? Bukan haknya tapi sok-sok ngatur dan sok memiliki."

"Gini nih." Sela Rama.

"Jadi pada dasarnya kita itu boleh jatuh cinta. Tapi yang namanya jatuh, pasti merasakan sakit. Jadi tinggal gimana kitanya aja memenage hati dan perasaan kita. Ini juga penting untuk kita sebagai remaja. Rasa cinta yang kita miliki itu apa sih? Masih ngambang kan? Belum ada kepastian yang jelas. Jadi ya kita harus jaga hati dan jaga perasaan. Gimana supaya rasa cinta kita itu terkendali. Tidak diumbar sana sini. Daan.. sebenarnya cinta yang paling baik itu kan cinta kepada Allah. Dan ini yang sering kita lupain. Kita seolah-olah mengagungkan cinta kita kepada sesama manusia. Kepada sama-sama makhluk ciptaan Allah. Sementara cinta kepada Allah sendiri, cinta kepada Dzat Pemilik Cinta kita lupakan. Itu yang seharusnya kita garis bawahi."

"Gue sih setuju banget sama kak Rama." Clarista melirik Zhafran yang mulai bersuara.

"Jadi kesimpulannya. Kita harus menata hati kita, mengatur perasaan kita agar tidak menjadi hal yang salah, simpan rasa kita sampai pada waktu yang tepat, kalau udah jatahnya jodoh juga bakalan bersatu. Nggak harus pacaran nggak harus diumbar-umbar."

"Jadi cinta dalam diam gitu ya Ran?" Tanya Aurel.

"Yap.. tepat banget."

"Yaudah sih. Diminun dulu minumannya, jangan lupa camilannya dimakan juga." Ucap Adinda yang langsung membuat semuanya tertawa namun tak urung mereka mengambil minuman masing-masing.

Satu hal yang Dinda Syukuri karena mengenal orang-orang di hadapannya yaitu banyaknya pelajaran dan kebaikan yang ia dapat saat bersama mereka.

Hari pun semakin larut, matahari sudah mulai tenggelam maka baik Rama, Clarista dan juga Aurel memilih untuk berpamitan pulang, sedangkan Zhafran dan Rendra masih menetap di rumah Dinda.

"Kalian nggak pulang?" Tanya Dinda sembari membereskan buku-buku sisa belajar dirinya dengan Clatista.

"Ini mau pulang, gue tunggu di perempatan ya Ran. Jalan kaki aja lah. Deket juga masjidnya." Ucap Rendra sembari beranjak dari duduknya. Sedangkan Zhafran hanya menganggukkan kepala.

"Oiya Din." Panggil Rendra yang membuat Dinda menoleh.

"Nggak papa sih gue cuma manggil. Haha. Assalamu'alaikum."
***

Aurel dan Clarista yang kebetulan ikut pulang dengan menumpang di mobil Rama pun harus pulang terlambat karena kemacetan yang menghambat jalan mereka. Wajar saja, saat ini adalah jam pulang kerja jadi tidak aneh jika jalan menjadi macet.

Clarista yang duduk sendiri di jok belakang pun memilih memasang earphone nya  karena ia tidak ingin menguping ataupun mengganggu percakapan antara Aurel dan Rama.

"Jadi lo juga pernah gitu suka sama seseorang?" Tanya Aurel tak percaya. Bagaimana tidak, Rama yang selalu tertutup masalah perempuan pun pernah jatuh cinta.

"Gue normal kali Rel." Ah iya, Aurel lupa. Rama juga manusia seperti dirinya jadi tentu saja Rama pernah suka dengan seseorang. Tapi tetap saja ini sangat mengejutkan bagi dirinya.

"Terus-terus." Kejarnya.

"Terus apanya?"

"Ya gimana perasaan lo? Terus cewek itu gimana? Suka juga nggak sama lo?"

"Lo lama-lama kayak wartawan ya." Ucap Rama sembari tertawa. Padahal hatinya sudah berlari-lari sejak tadi. Bagaimana tidak, ia diwawancarai langsung oleh orang yang ia suka.

"Ya perasaan gue itu apa sih? Masih ngambang juga kan? Jadi ya gue cuma bisa diem. Diem-diem mencintai. Diem-diem doain dia, diem-diem bicarain dia sama Allah. Apalagi?."

"Uuhh so sweet yaa cara lo mencintai. Ada nggak ya yang diem-diem doain gue gitu kayak elo."

Ada Rel, Guee!!

"Terus ceweknya itu gimana? Boleh dong kasih tau gue. Gue penasaran tau Ram." Tanya Aurel lagi.

"Apaan sih Rel, dia tuh suka sama orang lain deh kayaknya. Udah ah.. malu gue." Pungkas Rama yang membuat Aurel sedikit kecewa.

"Bodoh tuh cewek. Nggak lihat apa? Temen gue cakep gini. Sholeh pula. Malah suka cowok lain." Gerutu Aurel yang membuat Rama tersenyum miris.

"Udah deh. Jangan suka ngatain orang." Karena yang lagi lo katain bodoh itu lo sendiri. Lanjut Rama dalam hati.
***

-hks

Hexagon LoveWhere stories live. Discover now