22. Maaf

1.6K 129 19
                                    

"Lo kenapa bang?." Tanya Zhafran yang melihat Rendra begitu lesu. Tidak seperti biasanya pria petakilan itu kini tengah bermuramdurja.

"Tadi gue abis jalan sama Clarista." Jawabnya sembari membenarkan peci yang ia kenakan. Ia dan Zhafran tengah berjalan menuju masjid untuk menantikan azan magrib dan setelah itu dilanjutkan dengan sholat berjamaah dan tadarusan hingga isya'.

"Ya bagus dong. Terus kenapa malah kusut gitu."

Rendra menghela nafas beratnya.
"Pas jalan sama gue, kelihatan banget kalo Clarista nggak nyaman. Ya dia sih nggak bilang apa-apa. Tapi tetep kelihatan gitu lah dari mimik wajahnya. Perasaan kalo dia jalan sama lo, dia anteng-anteng aja. Happy-happy aja."

"Yaa iya lah. Secara gue gitu." Ucap Zhafran yang langsung mendapat jitakan dikepalanya. Rendra mencibir kelakuan Zhafran yang sangat narsis. Biar bagaimanapun ia dan Zhafran tetap tampan dirinya meskipun itu mamanya yang mengatakan.

"Sirik aja sih." Dengus Zhafran sembari membenarkan pecinya yang miring akibat ulah Rendra.

"Nih ya bang, daripada lo mikirin perasaan lo yang tak berbalas itu. Mending lo mikirin kematian deh. Perasaan gue juga nggak berbalas tapi gue santai aja.."

"Eh serius?? Emang lo suka sama siapa sampai nggak berbalas gitu?." Zhafran merutuki ucapannya. Mengapa ia harus keceplosan di depan Rendra begitu sih? Bisa bahaya kan kalau Rendra sampai tau jika ia menyukai Dinda.

"Ealah. Buruan deh bang jalannya. Udan mau adzan nih." Ucap Zhafran lalu berjalan mendahului Rendra. Untung saja pria itu tidak lagi membahas apa yang mereka bahas sebelumnya dan memilih untuk melanjutkan langkah sehingga membuat Zhafran bisa bernafas lega.
***

Zhafran mendengus saat lagi-lagi ia menatap kemacetan yang ada di hadapannya. Dalam hati ia bertanya, mau berapa jam lagi ia sampai rumah? Padahal saat ini ia sudah satu jam lebih berada di jalan. Tapi ini belum juga menempuh separuh perjalanan menuju rumahnya.

Memang sejak adanya pembangunan proyek jalan tol imbasnya adalah jalanan menjadi macet. Disaat seperti ini ingin rasanya Zhafran memiliki sayap atau apapun yang membuat ia segera sampai di rumah.

Ditengah-tengah kejenuhannya Zhafran melirik Dinda yang telah tertidur pulas di sampingnya. Sudah setengah jam lalu Dinda tidur karena kelelahan menunggu macet.

"Ah elo Din, tidur mulu. Temenin gue ngobrol kek." Gumam Zhafran. Tapi tentu saja tak ada respon dari Dinda.

Dan hal itu membuat Zhafran menghela nafas panjangnya.

"Gue itu sayang banget sama elo Din..." gumam Zhafran lagi.

"Mungkin lebih dari sahabat. Ataupun sebagai adik." Lanjutnya.

"Tapi gue nggak mungkin kan jujur sama lo? Bisa-bisa lo malah menghindar dari gue." Lanjut Zhafran  lagi.

Setelah itu Zhafran kembali melirik Dinda. Memastikan bahwa Dinda tidur dan tidak mendengar ucapannya.
***

Malam semakin larut, hawa dingin semakin terasa menyentuh kulit. Dan Dinda masih termenung di balkon kamarnya sembari mengingat kejadian tadi sore.

Tanpa Zhafran ketahui, Dinda sebenarnya mendengar semua yang dikatakan Zhafran. Karena sejujurnya saat Zhafran mengatakan semuanya, ia sudah bangun, ia sudah sadar hanya saja ia memilih untuk tetap menutup matanya.

'Gue itu sayang banget sama lo, mungkin lebih dari sahabat'

Kata-kata Zhafran terus saja berputar di kepala Dinda. Ia tak pernah menyangka bahwa Zhafran memiliki perasaan ssmacam itu padanya. Padahal ia hanya menganggap Zhafran sebagai sahabat sekaligus adiknya, tidak lebih. Tapi Zhafran...

Hexagon LoveWhere stories live. Discover now