12. Kalau Allah sudah berkehendak

1.8K 169 16
                                    

"Lo yakin?" Tanya Zhafran pada perempuan di sampingnya. Raut wajah kekhawatiran tidak bisa Zhafran sembunyikan walau sebentar

"InshaAllah. Jangan lebay deh. Gue itu lebih tua dari lo. Jadi nggak usah sebegitu khawatirnya lah." Jawab Dinda asal.

"Tumben sadar diri kalau tua." Cibir Zhafran. Sementara Dinda mendengus.

"Cuma beda setahun Zhafran. Plis deh jangan jadi nyebelin."

"Setahun juga umur Din. Tetep aja lebih tua." Ucap Zhafran tak mau kalah.

Tapi sayangnya Dinda sudah terlalu malas menanghapi Zhafran. Maka ia lebih memilih untuk segera pergi menuju ke halaman rumah sakit dan menghampiri ojek pesanannya. Dan Zhafran yang melihat Dinda pergi pun segera berlari menyusul Dinda dan buru-buru menghadangnya.

"Lo disini diem. Awas kalo sampai bergerak." Ancam Zhafran lalu segera berlari menghampiri ojek pesanan Dinda dan membayarnya.

"Eh.. gue kan belum ngojek. Kenapa di suruh pergi bapaknya?" Protes Dinda.

"Pokoknya gue yang nganter lo. Nggak boleh ojek-ojekan." Tegas Zhafran lalu menarik lengan baju Dinda dan membawanya menuju mobilnya.
***

"Gue nggak ngerti." Ucap Aurel setengah frustasi. Matanya menatap lurus ke arah langit yang mulai jingga, perlahan ia tau bahwa senja akan hadir sesaat lagi. Dan memang, ia sangat menyukai senja seperti mama dan papanya.

Sementara satu perempuan lagi menatapnya tak mengerti. Ia tidak pernah mengira bahwa Aurel akan sekeras kepala ini.

"Perasaan itu nggak bisa di paksa kak." Ucapnya mengingatkan Aurel. Bukannya ia ingin menggurui hanya saja ia juga tidak ingin di paksa.

"Jadi maksud lo, gue lagi maksa lo?" Tanya Aurel yang langsung mendapat gelengan kepala dari perempuan di sampingnya.

"Bukan gitu." Aurel mendesah. Ia tidak tau maksud dari perempuan di sampingnya. Bukan.. lebih tepatnya ia memang tidak ingin tau.

"Kita sama-sama perempuan kak. Aku harap kakak juga paham dengan apa yang aku maksud."

"Tapi.."

"Clarista minta kakak jangan terus berpura-pura. Karena berpura-pura bahagia itu lebih sakit." Aurel tergagap mendengar ucapan Clarista.

"Jangan munafik, jangan terus membohongi perasaan. Emangnya kakak nggak capek? Membohongi perasaan kakak sendiri?" Aurel masih terdiam mendengarkan kata demi kata yang di ucapkan Clarista. Ia benar-benar merasa telah ditampar dengan kata-kata itu. Sementara Clarista segera bernjak dari duduknya.

"Clarista pulang dulu kak. Rista harap kakak bisa pikirin. Bahwa perasaan itu datang dengan sendirinya, tanpa di minta tanpa di paksa. Dan perasaan itu juga tidak bisa di paksakan. Dia mengalir dengan sendirinya, karena dia punya jalan yang ia pilih." Ucap Clarista lalu segera pergi meninggalkan Aurel yang masih duduk termenung di bangku taman sembari menatap langit yang semakin jingga.

Ia juga tidak paham dengan dirinya sendiri. Mengapa ia jadi seperti ini. Bukankah masalah hati itu begitu rumit. Mengapa ia harus terjebak perasaan di antara sahabat dan sepupunya?

Jika bisa, mungkin Aurel sudah menghapus perasaannya kepada Rendra sejak lama. Tapi sayangnya rasa itu pun masih enggan beranjak dari hatinya.
Lalu apakah ia harus menyalahkan hatinya? Tidak. Hatinya tidak bisa di salahkan. Karena hatinya pun tidak pernah menginginkannya.
***

Zhafran menatap Dinda yang tertidur pulas di mobilnya, perjalanannya menuju kantor Abhi masih jauh. Mungkin masih sekitar satu jam lagi. Dan hal ini dikarenakan keadaan jalan yang begitu macet sehingga menghambat perjalan mereka yang seharusnya hanya menempuh perjalanan selama satu jam. Kini harus mereka habiskan selama lebih dari dua jam.

Andai lo tau kalo gue sayang banget sama lo

Batin Zhafran sembari melirik Adinda yang masih tertidur. Tapi ia tau bahwa Adinda tidak akan pernah tau bahwa rasa sayangnya sudah melebihi rasa sayang seorang sahabat. Karena ia pun tidak akan membiarkan Adinda tau. Sebab ia begitu takut jika Adinda tau akan perasaannya malah membuat persahabatan mereka hancur.

"Ngapain lo lihatin gue?" Ucap Dinda secara tiba-tiba dengan mata masih terpejam membuat Zhafran langsung mengalihkan pandangannya.

"Baru nyadar kalo gue cantik?" Tanya Dinda sembari membenarkan duduknya, lalu mengedarkan pandangannya menatap sudah sampai mana perjalanan mereka.

"Pengen banget ya di bilang cantik?" Cibir Zhafran. Padahal dalam hatinya tentu saja ia mengakui bahwa Dinda cantik.

Dinda menoleh sekilas pada Zhafran yang masih menatap jalanan macet.
"Enggak sih. Gue sadar diri aja, kan di mata lo yang paling cantik itu Clarista." Ucapnya. Sementara Zhafran mengeluh dalam hati. Selalu ia merasa bersalah setiap kali Dinda menyebut nama Clarista sebagai perempuan yang ia suka.

"Semerdeka lo aja." Dan nyatanya ia pun masih tetap memilih berbohong dan tidak mau mengakui perasaannya yang sebenarnya.

Sementara langit pun semakin jingga, mungkin sebentar lagi jingga itu akan berubah menjadi gelap. Namun dua anak manusia yang masih terjebak dalam kemacetan itu pun masih terdiam, bergelut dengan pikiran masing-masing.
Dan hal itu benar-benar membuat aura canggung begitu terasa. Dan baik Zhafran maupun Dinda sangat membenci kecanggungan.

"Din.."

"Ran.."

Keduanya tertawa saat tanpa sadar saling memanggil secara bersamaan.

"Lo dulu." Ucap Dinda.

"Ladies first." Ucap Zhafran dan Dinda pun berdecak.

"Cowok itu martabatnya jadi imam, dia yang di depan. Bukan cewe. Jadi lo sebagai calon imam harus bicara duluan. Gue mah cewe, nanti jadi makmum. Kan di belakang." Rancau Dinda. Sementara Zhafran malah terpaku mendengar ucapan Dinda. Ia benar-benar merasa seperti ABG labil yang suka baper hanya dengan kalimat sederhana dan tidak bermakna. Karena ia pun tau bahwa apa yang di katakan Dinda itu hanya rancauan tidak jelasnya.

"Gue tau, cowo itu martabatnya jadi imam. Karna gue imam yang baik, maka gue persilahkan lo ngomong duluan."

"Eh.." kini malah giliran Dinda yang terkejut.

"Imam yang baik??" Tanyanya lagi. Lalu tak lama kemudian tawa Dinda pecah di dalam mobil. Ia benar-benar tidak bisa menahan tawanya.

"Kesannya lo itu suami dan gue istri deh. Ada imam-imam segala pula." Ucap Dinda di sela-sela tawanya. Sementara berbeda dengan apa yang di rasakan Zhafran. Ia justru merasa deg-degan yang luar biasa.

"Kan lo yang mulai. Jangan-jangan lo emang pengen jadi istri gue ya?" Tuduh Zhafran asal.

Sementara Dinda malah semakin tertawa. Dan setelah ia selesai dengan tawanya. Ia berdeham sebelum menjawab pertanyaan Zhafran.

"Yaa.. kalo Allah sudah berkehendak mah gue bisa apa? Jadi istri lo juga bukan masalah." Ucapnya lalu kembali tertawa sedangkan Zhafran benar-benar bungkam. Merasakan degub jantungnya yang kian berpacu kuat. Ah.. mengapa malah situasinya menjadi seperti ini. Zhafran benar-benar takut bahwa Adinda melihat keanehannya.
****

See you next chapter.
Aku update lagi habis UN yaa.
Jangan bosen nungguin yaa wkwk
Assalamu'alaikum
Hks💕💕

Hexagon LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang