10. Kecelakaan

2K 168 21
                                    

Yang namanya jatuh cinta itu memang aneh. Kadang ia bahagia kadang ia berduka. Kadang pula bahagia dan duka itu dirasakan bersama-sama. Seperti apakah itu rasanya? Tentu saja memilukan. Maka begitu pula yang Aurel rasakan. Entah sudah berapa lama ia duduk di antara dua orang yang membuatnya merasa bahagia dan sakit di saat bersamaan.

"Jangan bengong. Nanti kesambet!" Aurel mendengus saat orang di sampingnya mulai bersuara. Bagaimana ia bisa tidak melamun. Jika sedari tadi ia di diamkan.

"Gimana nggak bengong coba? Orang dadi tadi di anggurin." Gerutunya. Sementara orang yang mengajaknya bicara malah tertawa.

"Cemburu?"

Bodoh!! Aurel mengumpat dalam hati. Ia ingin menjawab iya. Tapi ia juga tidak ingin mengakuinya.

"Loh. Kak Aurel sama bang Rendra udah jadian?" Tanya satu orang lagi di samping Aurel yang membuat Aurel dan Rendra saling menatap?

"Jadian??" Tanya Rendra.

"Ya kali Ris. Enggak lah. Siapa juga yang mau jadian sama dia" Jawab Aurel yang seratus persen berbanding terbalik dengan hatinya.

"Gue juga mikir-mikir kali kalo mau jadian sama lo." Ucap Rendra membalas perkataan Aurel. Aurel tau. Rendra hanya bercanda. Tapi mengapa terasa begitu menyakitkan di hatinya.

"Oh gitu? Yaudah lah gue pergi aja." Ucap Aurel lalu beranjak. Clarista yang semula ingin menahan Aurel pun di cegah oleh Rendra.

"Udah biarin aja. Kakak lo mah emang sensi an. Bentar lagi juga balik ke sini." Ucap Rendra. Dan Clarista pun duduk kembali meskipun pikirannya melayang memikirkan Aurel.
***

Sementara Aurel yang merasa dadanya begitu sesak berniat untuk menuju toko buku yang terletak tak jauh dari kafe tempat ia bersama Rendra dan Clarista tadi. Tapi saat hidungnya mencium aroma es krim. Ia pun memilih memutar tubuhnya menuju kedai es krim. Mungkin dinginnya es krim bisa sedikit mendinginkan pikirannya. Begitu pikirnya. Maka dengan mantap Aurel melangkahkan kakinya menuju kedai es krim itu dan segera memesan es krim vanila kesukaannya.

Aurel menatap kursi-kursi penuh yang ada di kedai itu. Hanya ada sebuah kursi yang kosong. Itu pun harus berbagi meja dengan seorang pria yang duduk di sana.

"Permisi.. gue boleh..."

"Kak Aurel??"

"Zhafran??" Aurel terkejut mendapati pria itu adalah Zhafran. Maka tanpa menunggu persetujuan ia segera mendudukkan badannya.

"Ah.. ternyata elo. Gue duduk di sini ya.. boleh kan?" Tanyanya.

"Mau di larang juga lo udah duduk duluan kak." Cibir Zhafran yang membuat Aurel tertawa.

"Lo sendirian aja?" Tanyanya sembari menyendok es krimnya.

"Sama Dinda sih. Tapi dia masih di toko buku. Tau sendiri lah. Kalo dia udah di toko buku kayak gimana?" Lagi-lagi Aurel tertawa.

"Malah ketawa."

"Gue tau penderitaan lo yang di campakkan Dinda demi buku-buku itu." Ucap Aurel setelah menghentikan tawanya.

Kemudian mereka terdiam. Tidak tau lagi apa yang ingin mereka bicarakan. Hanya ada suara alunan musik yang sengaja di putar oleh pemilih kedai itu.

"Lo sendiri, sendirian aja kak?" Tanya Zhafran memecah keheningan di antara mereka.

"Hmm??" Aurel mendongak dengan tangan yang masih menyendokkan es krim ke mulutnya.

"Gue sama Rendra sama Clarista juga." Jawab Aurel.

"Clarista? Tumben."

Aurel tak menjawab ia hanya mengendikkan bahunya.

Sedangkan Zhafran malah berdecak sembari menyodorkan tissu kepada Aurel.
"Bersihin mulut lo kak. Kotor semua. Kayak anak kecil aja." Ucapnya. Dan tanpa menunggu lama. Aurel pun segera mengambil tissu yang di berikan Zhafran. Dalam hati ia sedikit mengeluh. Mengapa situasi ini harus mengingatkan dirinya pada Rendra.

"Es krim lo nggak di makan? Keburu cair tuh." Ucap Aurel yang melihat es krim Zhafran yang mulai mencair.

"Gue sebenernya nggak terlalu suka sama es krim." Jawabnya yang membuat mata Aurel terbelalak.

"Lahh... kalo nggak suka. Terus ngapain di beli." Ucapnya sembari menggeleng dramatis.

"Pengen aja."
***
Dinda masih sibuk meneliti satu-persatu judul novel beserta sinopsisnya. Huh.. ia kadang juga bungung sendiri. Padahal ia sudsh terbiasa ke toko buku dan membeli buku. Ralat. Lebih tepatnya membeli novel. Tapi saat lagi-lagi ia kembali ke toko buku. Ka selalu saja di hadapkan dengan kebingungan ingin memilih novel yang seperti apa. Andai saja uangnya cukup. Mungkin semua novel sudah ia beli. Sayangnya uang di dompetnya hanya mampu untuk membeli maksimal empat novel. Jadi ia harus pandai-pandai memilih.

"Rindu nya-Tere Liye itu bagus." Dinda tersentak saat mendengar sebuah suara menginterupsinya. Cepat-cepat ia membalik badan. Dan matanya langsung terbelalak saat mendapati Rama berdiri di hadapannya.

"Kak Rama?"  Rama hanya tersenyum mendapati keterkejutan Dinda.

"Itu novelnya bagus." Ucap Rama sembari menunjuk novel Rindu karya Tere liye. Dinda pun mengambilnya.

"Kakak udah pernah baca?" Tanya Dinda. Dan Rama pun mengangguk.

"Kakak suka baca novel juga?" Lagi-lagi tingkat ke kepoan Dinda meningkat.

Rama menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Enggak terlalu juga sih. Mungkin hanya beberapa gendre aja. Enggak banyak kok." Dinda pun mengangguk mendengar jawaban Rama.

"Sendiri aja?"

"Ya?" Dinda mendongakkan wajahnya mencoba menanyakan lagi apa yang Rama tanyakan.

"Lo kesini sedirian?" Tanya Rama.

"Oh.. enggak kok. Gue ke sini sama Zhafran kak. Tapi nggak tau deh kemana tuh orang. Mungkin lagi keluar bentar." Dan kini giliran Rama yang menganggukkan kepalanya.
***

Kini Rendra dan Clarista sama-sama di landa keresahan karena Aurel tak kunjung kembali dan ponsel serta tas Aurel tertinggal.

"Elo sih bang.. sekarang dimana coba kak Aurelnya?" Mendengar ucapan Clarista membuat Rendra merutuki dirinya. Seharusnya tadi ia mengejar Aurel bukan malah dudum berdiam saja.

"Yaudah bang. Rista cari aja deh kak Aurelnya." Ucap Clarista lalu beranjak. Namun tangan Rendra dengan cekatan menahannya.

"Lo tunggu sini. Biar abang yang cari."

"Gue ikut." Rendra menggeleng.

"Lo tunggu sini. Jagain barang-barang. Biar gue yang cari." Ucap Rendra lalu beranjak meninggalkan Clarista.

Rendra berjalan keluar kafe mencoba mencari sosok Aurel. Tujuan utamanya adalah toko buku yang tak jauh dari tempatnya berdiri.

Namun saat Rendra baru saja sampai di depan pintu toko buku itu. Ponselnya berdering.

Zhafran : Ren, gue Aurel. tolong lo ajak pulang Dinda. Dia sekarang lagi di toko buku. Papa Dinda dan papa Zhafran kecelakaan. Gue lagi di rumah sakit nemenin Zhafran.

Mata Rendra terbelalak saat membaca pesan dari Aurel yang menggunakan nomor ponsel Zhafran. Ia segera melesat masuk kedalam toko buku. Mencari sosok Dinda. Dan saat ia menemukan Dinda ia segera menariknya keluar.

"Bang!! Lo apa-apaan sih main tarik aja!!" Gerutu Dinda. Tapi ia tidak peduli.

"Lo jangan banyak bicara. Kita ke rumah sakit sekarang. Ayah lo kecelakaan."

"Apa??" Dinda tampak terkejut. Tapi Rendra tidak peduli. Ia segera menarik Dinda yang mematung untuk di ajak ke rumah sakit.

Saat sampai di mobilnya. Rendra teringat sesuatu. Ia bingung harus bagaimana. Lalu ingatannya tertuju pada saat ia menarik Dinda. Ia juga melihat Rama berdiri di sana. Lalu dengan segera ia mengambil ponselnya.

"Halo Ram.. lo dengerin gue. Tolong lo anter Clarista pulang. Dia ada di kafe deket toko buku. Ini urgent gue nggak bisa balik jemput dia. Besok gue jelasin semuanya." Ucapnya lalu segera menutup ponselnya.

Lalu ia masuk ke dalam mobil dan mendapati Dinda yang tengah terisak.
"Lo tenangin diri lo. Om Abhi pasti nggak apa-apa." Ucapnya lalu segera menacap mobil menuju rumah sakit.
****

Alhamdulillah. Akhirnya bisa update. Senengnya. Wkwk.
Maaf ya kalo feelnya nggak dapet.
-hks-

Hexagon LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang