18. hati yang terluka

1.6K 141 6
                                    

Clarista terkejut saat tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang dingin dipipinya. Ia menoleh dan mendapati Zhafran tengah tersenyum sembari menempelkan satu botol air mineral dingin ke pipi Clarista yang membuat gadis itu buru-buru mengambil botol itu. Clarista mendengus.

"Ngagetin tau." Kesalnya. Sementara Zhafran malah terkekeh lalu mendudukkan tubuhnya di samping Clarista. Matanya menatap lurus pada gadis yang kini tengah mengomel pada Rendra. Sementara Rendra hanya bisa memutar matanya sebal.

"Kenapa sih?" Tanya Zhafran pada Clarista yang masih sibuk meminum minumannya. Kemudian Clarista segera menutup botol minumnya.

"Biasalah. Bang Rendra kan usil." Jawabnya santai.

"Lo kenapa nggak suka sama bang Rendra, Ris? Dia kan ganteng." Clarista menoleh saat mendengar Zhafran berbicara. Namun ia segera mengalihkan pandangannya lagi saat matanya tanpa sengaja bertemu dengan mata Zhafran yang tengah menatapnya. Clarista terdiam. Enggan menjawab pertanyaan Zhafran. Sementara Zhafran terus saja menanti jawaban dari Clarista.

"Karna dia usil ya? Atau nyebelin?" Tanya Zhafran lagi yang membuat Clarista menghela nafas panjangnya.

"Gue suka sama bang Rendra. Dia udah kayak kakak gue sendiri." Jawab Clarista.

"Tapi bukan itu yang.."

"Ran.." ucap Clarista memotong perkataan Zhafran.

"Lo pikir dalam menyukai seseorang bisa semudah itu? Asal dia ganteng atau cantik terus lo bisa suka? Enggak kan. Karena hati dan perasaan itu nggak bisa dipaksa. Seperti halnya lo. Kenapa lo suka sama Dinda? Kenapa bukan kak Aurel aja yang lo suka?" Atau gue-- lanjut Clarista dalam hati.

"Ris, lo marah ya? Gue nggak bermaksud..."

"Gue nggak marah kok. Santai aja." Ucap Clarista lalu kembali meneguk air mineralnya.

"Terus, kalo kadang ada orang yang menikah bukan karena cinta itu gimana? Misalnya dijodohkan? Bukankah hati dan perasaan tidak bisa dipaksakan? Tapi buktinya mereka yang menikah tanpa cinta pun menjadi saling mencintai." Tanya Zhafran lagi. Dan lagi-lagi Clarista menghela nafas panjangnya.

"Zhafran. Gue itu bukan pakarnya cinta. Kenapa sih setiap lo sama gue, lo selalu menanyakan hal yang berbau cinta sama gue?"

"Karena gue yakin lo bisa jawab. Kalo enggak, ngapain gue nanya, ya kan?"

"Oke gue nggak bisa jawab."

"Gue yakin lo bisa. Jadi kenapa?"

"Dasar nyebelin." Ucap Clarista lalu pergi meninggalkan Zhafran. Namun Zhafran tak tinggal diam. Ia berdiri lalu menyusul Clarista meminta jawaban hingga akhirnya gadis itu pun menyerah dan memilih untuk mendudukkan badannya pada bangku yang ada di dekat taman sekolah.

"Lo tau istilah jawa wit ing tresna jalaran sangka kulina yang artinya cinta itu bermula karena terbiasa?" Tanya Clarista dan Zhafran menganggukkan kepalanya.

"Jadi dalam pernikahan itu cinta adalah sebuah keharusan. Mungkin awalnya tidak ada cinta. Tapi cinta itu bisa dibentuk melalui kebersamaan mereka. Melalui keterbiasaan dengan adanya pasangan mereka. Jadi menurut gue. Cinta dalam sebuah pernikahan memang di haruskan ada. Tapi kalo masih kayak kita gini. Masih labil. Bicara cinta sepertinya memang belum saatnya. Lagian kenapa sih lo tanya-tanya soal nikah? Lo mau nikah muda ya?" Tanya Clarista sembari menatap Zhafran penuh selidik. Sementara Zhafran yang di tatap seperti itu malah mengerlingkan matanya yang membuat Clarista mendelik sebal.

"Kan abis lulus gue mau nikahin lo." Ucap Zhafran lalu berlari sebelum ia mendapatkan teriakan dari Clarista karena berhasil menggoda gadis itu.

Clarista mengerjabkan matanya berulang kali. Jantungnya tiba-tiba berdetak tak karuan karena ucapan Zhafran. Ah lagi-lagi sindrom degdegan kembali menghampirinya.
***

"Kenapa sih semuanya jadi anteng kalem gini kalo sama Rama? Kalo sama gue aja galaknya minta ampun. Apa salah hamba ya Allah." Keluh Rendra saat melihat Aurel maupun Dinda tengah duduk kalem sembari menikmati makanannya. Jauh berbeda sebelum Rama datang, kedua gadis itu terus saja mengoceh mengomeli dirinya. Inilah.. itulah.. semua yang ia lakukan seolah tidak ada yang benar.

"Elo sih nyebelin." Ucap Aurel dan langsung didukung dengan anggukan kepala dari Dinda.

"Kayaknya lo cocok deh Ram kalo punya istri banyak. Semuanya akan damai. Lah kalau gue? Bisa pada perang tuh istri gue nanti gara-gara rebutin gue." Ucap Rendra asal.

"Bang Rendra apaan sih. Sekolah aja belum lulus. Udah ngomongin istri. Istri satu aja belum punya. Malah ngomongin istri banyak." Omel Dinda yang membuat Rama terkekeh.

"Eh anak kecil? Kenapa sih sewot mulu? Lo mau daftar jadi istri gue? Ngomong dong. Jangan ngomel mulu bisanya." Dinda mendengus mendengar perkataan Rendra. Memang benar-benar menyebalkan satu mahluk ini.

"Yakali gue mau jadi istri abang."

"Hati-hati loh Din. Masa depan nggak ada yang tau." Ucap Rama yang membuat Dinda menampilkan cengirannya.

Aurel yang duduk diantara Dinda dan Rama hanya terdiam menikmati makanannya. Ia terlalu malas mengomentari ocehan manusia yang ada di hadapannya. Terkadang ia juga bingung. Mengapa ia bisa jatuh cinta kepada mahluk seperti Rendra yang sudah jelas selalu membuat rusuh dan sangat menyebalkan. Bukankah ini aneh?.

"Tumben tuan putri diem. Biasanya cerewet." Ucap Rendra yang sedari tadi melihat Aurel hanya terdiam.

"Tuan putrinya lagi males ngomong sama lo kali." Jawab Rama mewakili Aurel. Sedangkan Rendra mendengus.

"Yaudah yuk balik. Udah bel nih. Dan lo anak kecil. Sono balik ke kelas lo. Belajar yang bener." Adinda mendengus mendengar ucapan Rendra. Sekali menyebalkan tetap saja menyebalkan.
***

Rendra mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Ia mengacak rambutnya. Sesuatu telah mengusiknya.

"Salah nggak sih kalau gue minta tolong Aurel buat deketin gue sama Clarista?"

Rama yang tengah sibuk dengan novelnya pun mendongak menatap Rendra yang tengah duduk di atas sofa ruang keluarga rumahnya.

"Salah." Jawab Rama lalu kembali melanjutkan membacanya.

Rendra semakin gusar. Ia kadang bingung dengan perasaannya sendiri. Ia sangat suka dengan Clarista tapi disisi lain hatinya juga mengingatkan bahwa ini belum waktunya. Tapi tetap saja, yang namanya masa remaja memang tak pernah lepas dari rasa suka terhadap lawan jenisnya bukan? Dan Rendra juga yakin bahwa setiap remaja seusianya pasti pernah merasakannya.

"Terus gue harus gimana?" Tanya Rendra sembari menatap Rama yang masih asik membaca. Tak ada jawaban yang Rendra dapatkan selain Rama yang mengendikkan bahunya. Dan hal itu tentu saja membuat Rendra semakin kesal.

"Elo mah selalu tanpa solusi kalo sama gue." Dengus Rendra. Dan kali ini Rama menurunkan bukunya. Ia menghela nafas panjangnya sebelum berkata-kata.

"Setiap tindakan yang lo buat. Lo harusnya berpikir bagaimana kedepannya. Dan lo juga harus tengok ke sekeliling lo. Karena kadang tanpa lo sadari, ada hati yang terluka karna tindakan lo. Jadi menurut gue sih. Lo harus banyak berpikir lagi deh soal perasaan lo itu. Dan.. menurut gue sih untuk saat ini yang jauh lebih penting adalah ujian yang bentar lagi datang." Rama berucap panjang lebar kemudian kembali lagi pada aktivitasnya. Sementara Rendra menghempaskan tubuhnya kembali di sofa.

"Bisa nggak sih ujiannya di skip aja?"

"Menghadapi ujian sekolah aja udah ngeluh. Gimana menghadapi ujian hidup." Cibir Rama di sela-sela membacanya.

"Pinter lo Ram."
***
-hks

Hexagon LoveWhere stories live. Discover now