Mozaik 3

968 102 4
                                    

"Danny? Apa kau baik-baik saja?"

Samar-samar aku lihat wajah seorang gadis.

Rambut pirang bergelombang sebahu.

Apa ini mimpi?

Atau nyata?

Aku tidak bisa membedakannya.

Jelas-jelas itu adalah Iza. Tapi, otakku tidak mau bangun sehingga aku seperti terdampar di antara dua dimensi. Yang satu menarikku ke dunia nyata dan satu lagi menyuruhku untuk tetap menjelajah di alam bawah sadarku.

"Hei, Ganteng! Kau tidak apa-apa?" tanya Ian berbisik ke telingaku.

Kucoba membuka mataku lebih lebar. Berusaha untuk bangun dari fantasiku.

Kuamati semua saudaraku berada dalam kamar.

Winny Dzatso dan Iza berada di samping kiri tempat tidurku. Dia memegang setoples kue.

Ian berbaring menyamping di samping kananku. Telapak tangannya terus menerus menyentuh dahiku. Mungkin memastikan aku tidak sakit.

Siman dan kakaknya Winny—Sudra Dzatso—duduk di sudut kamar sedang mengobrol.

Sementara di depan tempat tidurku ada Ricky Rhamdan yang terus menerus membuat kakaknya—Khyun Yunishi—kesal.

Tak lama kemudian ibuku bersama Ronny dan Rhinna Angeran—kakak Iza—masuk ke kamarku.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Ibu.

"Baik, Bu," jawabku pelan.

Aku langsung bangkit dan menegakkan badanku yang terasa lemas.

"Baiklah. Kalau begitu akan Ibu buatkan teh hangat untukmu. Ron, bantu adikmu. Mungkin dia ingin ganti pakaian," kata Ibu seraya keluar dari kamar.

"Apa kalian tidak sekolah?" tanyaku.

"Kami sudah pulang," jawab Siman.

"Kakak tidak berangkat kerja?" mataku teralih ke Ronny yang berdiri dekat pintu.

"Sebulan ini aku ijin kerja setengah hari. Dua minggu lagi aku kan mau menikah."

"Anak-anak ayo keluar! Beri waktu Danny sendirian. Kalian tidak berpikir untuk melihatnya telanjang, 'kan?" gurau Siman sembari menggiring paksa saudara-saudara kami yang lain keluar kamar.

Dia memang selalu ceria dan penuh dengan canda tawa.

"Tunggu! Kalian ... terima kasih karena telah datang menjengukku. Maaf bila aku merepotkan kalian dan membuat kalian khawatir," kataku.

"Tidak apa-apa, Dane. Kita ini keluarga. Sudah seharusnya saling peduli," ucap Rhinna.

"Danny, ini untukmu."

Iza memberikan toples berisi kue itu padaku.

"Terima kasih, Za. Taruh saja di meja."

"Dane, kami tunggu kau di bawah," sahut Siman di ambang pintu.

Aku hanya mengangguk.

"Ron, biar aku saja yang membantu Danny," kata Ian.

"Baiklah. Kau tidak apa-apa kan, Dane?" tanya Ronny. Mungkin sedikit menghawatirkanku.

"Iya. Biar Ian saja. Kau pergi saja," aku lebih nyaman dekat Ian ketimbang kakakku sendiri. Ian pun selalu terlihat lebih peduli padaku ketimbang pada adiknya.

"Baiklah kalau begitu," ucapnya seraya keluar kamar.

"Sekarang kau mau apa dulu? Mandi dulu? Atau cuci muka saja? Biar aku bantu," kata Ian.

Kie Light #1: Sandekala (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang