Bag 32. Marah

198 24 3
                                    

Setelah tragedi penghadangan oleh dua preman tadi. Disinilah aku sekarang, di depan supermarket sambil menggenggam sebotol air mineral. Fauzan di hadapanku melihatku dengan raut wajah khawatir.

Aku hanya menunduk menatap pembalut yang baru saja ku beli diatas meja. Rasa takutku masih belum hilang sepenuhnya. Aku takut orang orang jahat tadi datang tiba tiba dengan teman temannya.

"Anye udah mendingan?" tanya Fauzan. Dia menatapku serius. Aku mendongak lalu mengangguk perlahan.

Fauzan mengangguk lalu bangun dari duduknya. Dia berjalan ke samping meja ku lalu membelakangiku. Dia berjongkok sambil menoleh padaku. "Ayo pulang," ajaknya.

"Aku bi-bisa jalan kok ja jan," cicitku pelan. Tanganku masih gemetar sembari menggenggam air mineral.

Fauzan berdiri dari duduknya lalu mengambil botol mineral yang kugenggam lalu diletakkan ke dalam plastik. Bergabung dengan pembalut yang kubeli tadi. Dia melepaskan jaketnya lalu diserahkan padaku.

"Pake," katanya. Aku menatap jaketnya lalu menatap jaket yang aku gunakan. "Maksudnya pake di pinggangnya. Buat nutupin, soalnya celana kamu selain kotor emmm emmm merah. Kena darah haid," ucapnya terang terangan.

Aku langsung berdiri dan melihat celanaku. Ucapan Fauzan benar, bahkan darah haidnya merembes ke samping celana. Fauzan langsung menyerahkan jaketnya padaku.

Aku segera mengambilnya dan melilitkannya sesuai perintah Fauzan. "Ayo pulang," ajaknya lagi sambil berjongkok.

"Aku bisa jalan sendiri kok jan," cicitku.

Fauzan menoleh sambil mendongak. "Suaramu aja gemetaran apalagi kakimu. Buruan naik udah malam ini," katanya. Akhirnya aku naik ke punggungnya.

Begitu tanganku memeluk leher Fauzan. Dia langsung berdiri mengangkatku enteng sambil menggenggam kresek berisi pembalut dan air mineral. "Berat ya jan?" tanyaku.

"Nggak ini enteng banget. Kamu udah gak enak makan berapa hari?" tanyanya padaku. Fauzan selalu tahu apa yang terjadi padaku. Dia tahu hubunganku dan Mas Yudha yang renggang. Dia selalu tahu semua tentang aku.

Aku selalu menceritakan masalahku kepada Fauzan, karena dia satu satunya orang yang sudah aku anggap saudara berada di dekatku. Masalah keluargaku hanya Fauzan yang aku beri tahu. Aku tidak bercerita pada Ibu atau pada Daneen. Aku takut mereka khawatir ditambah mereka tidak bisa melihat keadaanku secara langsung.

"Emmm udah dari 6 bulan lalu aku selalu gak enak makan jan. Semenjak pisah ranjang sama Mas Yudha," jawabku.

"Makan Anyelir. Kamu harus tetap makan. Jangan khawatir sama ibu kamu. Gimana mau cepet cepet punya bayi kalo kamu makan aja susah," omelnya.

"Iya iya," kataku sambil mengeratkan pelukanku pada leher Fauzan. Dia langsung terdiam setelah aku mengiyakan omelannya.

Kami berdua sama sama diam menikmati udara malam. Hanya langkah kaki Fauzan yang terdengar karena suasana sangat sepi. Sudah tidak ada pengendara motor maupun mobil yang lewat di jalan raya.

"Jan," panggilku. Fauzan hanya menjawab dengan berdehem. "Makasih sudah nolong aku. Kalo saja kamu gak dateng tepat waktu. Aku gak tau apa yang bakal terjadi sama aku," lanjutku. Lagi lagi aku menangis mengingat kejadian tadi.

"Udah gak usah diingat ingat," ujar Fauzan. "Aku kan sudah bilang kalo aku bakal jagain kamu. Kalo Daneen ada disini juga, aku bakal jagain dia juga."

Aku mengangguk lalu meletakkan daguku di pindah Fauzan. Tidak terasa, Fauzan menggendongku hingga di depan rumah. Langkah kaki Fauzan terhenti ketika melihat seseorang di teras rumah. Mas Yudha duduk disana sambil menghembuskan rokoknya ke udara.

Bunga Anyelir [#2.SGS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang