bab 14. Dia Kembali

191 24 2
                                    

Bulan sedari awal menangis keras sekali bahkan hingga pemakaman selesai, Bulan masih menangis dengan suara yang sangat keras. Daneen memeluk Bulan sembari mengelus punggungnya. Sedangkan Fauzan hanya diam menatap gundukan tanah yang sudah ditaburi oleh kelopak bunga mawar.

Aku mengusap pipiku yang masih basah karena tangisanku sedari tadi terus terusan mengalir. Masih tidak menyangka Ervan pergi secepat itu. Padahal dia sudah berjanji akan ke Ranu Kumbolo lagi bersama kami suatu saat nanti.

"Kalo saja waktu itu bakal jadi begini, lebih baik aku pukul saja Ervan sampai minta ampun dan janji gak bakal bolos," kata Fauzan pelan. Aku menoleh padanya. Matanya memang tidak mengeluarkan air mata sama sekali tetapi aku yakin hatinya terasa sangat sesak sekali.

Aku menepuk pelan bahu Fauzan membuat sang empu menoleh sebentar lalu kembali menatap nisan bertuliskan nama Ervan beserta tangga lahir dan tanggal wafat. "Ervan katanya mau ke Ranu Kumbolo lagi," racau Bulan sembari menangis.

Fauzan yang melihat Bulan yang masih menangis tidak karuan, dia mendekati Bulan dan Daneen. Tangannya bergerak memeluk Bulan dan Daneen. Fauzan menoleh padaku lalu merentangkan tangan kirinya.

Aku mengusap air mataku lalu mendekati mereka. Tanganku bergerak ikut ikutan memeluk mereka. Kami menangis bersama sama. Ternyata rasanya lebih menyakitkan ditinggal Ervan daripada ditinggal Mas Yudha.

Mengenai Mas Yudha, aku memutuskan kontak dengan Mas Yudha. Dia bertanya tanya dengan sikapku. Aku bilang bahwa aku menghormati kekasihnya dan akhirnya kami tidak pernah berhubungan kembali.

Selesai menghadiri pemakaman, kami semua memutuskan pulang. Kami pulang bersama menggunakan mobil Fauzan. Bulan kini sudah tertidur di bahu Daneen di kursi belakang. Begitu juga dengan Daneen yang kini tertidur pulas. Mereka kelelahan sehabis menangis tadi.

Aku duduk disamping Fauzan yang sedang fokus menyetir. Daripada mengganggu fokusnya, aku lebih baik menatap jendela yang menampilkan pepohonan dan gedung gedung. Aku jadi teringat pesan Ervan sewaktu di Ranu Kumbolo.

"Nye," panggil Ervan ketika aku duduk didepan tenda magrib magrib. Fauzan, Daneen dan Bulan sedang melaksanakan sholat magrib di tenda masing masing. Aku menjawab panggilan Ervan dengan berdehem.

"Setelah lulus kuliah mau kemana nye?" tanyanya.

Aku menoleh padanya. "Kenapa?

"Gapapa cuma pingin tau aja."

"Pingin ke Natuna terus kerja disana," jawabku.

Dia mengangguk angguk. "Enak ya kamu masih punya tujuan."

"Emang kamu gak punya?"

Ervan menggeleng. "Gak ada sama sekali. Aku merasa kehadiranku ini cuma beban. Orang tua gak ada. Tinggal sama nenek doang yang sudah sakit sakitan. Tapi kenapa nenek masih berusaha buat nyekolahin aku walaupun kondisi nya udah kaya gitu. Lebih baik aku gak ada aja kan lebih baik."

Aku hanya diam saja ketika Ervan berucap seperti itu. Dia menanggung hal seperti itu seorang diri. Ketika dia mencoba untuk bercerita padaku, aku hanya diam tidak memberinya semangat.

Seharusnya aku memberinya semangat untuk tetap mempunyai tujuan hidup. Dia tidak tahu betapa kehilangannya nenek Ervan begitu Ervan pergi. Ervan mungkin menganggap dirinya beban keluarga tetapi keluarganya pasti selalu menganggap Ervan adalah manusia yang berharga.

"Makasih ya jan," kataku didepan rumah Daneen. Fauzan mengangguk lalu menepuk nepuk Daneen menyuruhnya untuk bangun.

Karena Daneen masih tertidur pulas nampak tidak terganggu sama sekali, akhirnya aku turun tangan. Aku menarik hidungnya udah terbangun. "Apa apa?" katanya kaget.

"Udah nyampek rumah," balasku. Daneen melihat rumahnya lalu mengangguk. Dia mengambil tasnya dan membuka pintu. Tapi sebelum itu, dia menarik tangan Fauzan dan salim padanya lalu salim padaku juga. Sepertinya dia belum sadar sepenuhnya.

Setelah itu dia pergi keluar menutup pintu dan mengucap salam lalu masuk ke rumahnya. "Itu anak ngira kita orang tuanya kali ya nye,"ujar Fauzan.

Aku tertawa kecil. "Kurang aja Daneen. Disaat berduka gini dia malah bikin ulah," balasku pelan.

"Maklum nyawanya belum kekumpul semua. Ntar kalo udah tau yang disalimi kita palingan juga malu," kata Fauzan.

Aku menatap Fauzan setelah menatap pintu rumah Daneen yang sudah tertutup. Daneen sepertinya betul betul belum sadar sepenuhnya. Buktinya dia tidak menawari kami untuk mampir hanya sekedar basa basi. "Makasih ya jan. Hati hati di jalan,"kataku pelan.

Dia mengangguk. Aku keluar dari mobilnya dan menunggu Fauzan melajukan mobilnya lalu menghilang di belokan. Langkahku berjalan menuju rumahku yang ada disebelah Daneen.

Begitu aku membuka pintu pagar, seseorang memanggilku."Anyelir," panggilnya begitu aku memasuki halaman rumahku. Aku berbalik untuk melihat seseorang yang memanggilku.

Mas Yudha disana. Duduk di atas motornya yang terparkir didepan pagar rumahku.

|▪|▪|▪|▪|▪|

Ibu meletakkan secangkir teh di meja lalu duduk disampingku. Dia cukup kaget dengan kedatangan Mas Yudha yang tiba tiba ikut masuk kedalam halaman rumahku. Dalam hatinya pasti dia bertanya tanya siapa orang dihadapannnya ini. Terlihat dari wajahnya yang mulai mengerut kebingungan.

Aku juga bertanya tanya. Untuk apa Mas Yudha tiba tiba datang kesini. Dia juga tidak mengabariku sama sekali.

"Perkenalkan bu nama saya Yudha. Umur saya 21 tahun, saya bekerja sebagai tentara di Brigif," ucapnya memperkenalkan diri pada ibu.

"Ada apa ya nak Yudha berkenan kesini?" tanya Ibu bingung. Mas Yudha menunjukkan senyumnya. Sialnya senyuman itu masih terlihat tampan di mataku.

"Saya kesini untuk meminta ijin ibu agar bisa mengenal Anyelir lebih dekat bukan hanya sekedar teman tapi lebih dekat dari itu," ujarnya.

Ibu mengerutkan alisnya. "Eh." Hanya kata itu yang bisa ibu ucapkan. Dia pasti sangat kaget dengan ucapan mengejutkan seperti itu. Apalagi aku, orang yang dia sebutkan. "Boleh kok nak, tapi itu semua tergantung dari Anyelir," kata ibu lagi.

"Kak bisa gak kita ngomong empat mata?" tanyaku. Ibu menoleh sebentar, aku tidak peduli dengan keingintahuannya.

"Emmm kalo begitu ibu masuk dulu," kata Ibu lalu masuk kedalam. Dia sepertinya masuk ke kamar karena aku masih dapat mendengar suara pintu kamar ditutup.

"Kamu gak akrab sama ibu kamu ya," ujar Mas Yudha sembari melihat kedalam rumahku. Dia menatapku yang masih diam dan nampak enggan menjawab pertanyaan itu.

"Maksud Mas Yudha apa berucap seperti itu?" tanyaku tanpa basa basi. Walaupun aku menyukainya tapi aku tidak boleh kegeeran lagi. Dia sudah punya pacar, aku tidak mau mengganggu hubungannya.

"Kenapa? Saya memang pingin mengenal kamu lebih dekat lebih tepatnya lebih dari sekedar teman," jelasnya.

"Bagaimana dengan pacar Mas Yudha? Aku gak mau kedekatan kita membuat orang orang berspekulasi buruk ke aku."

"Aku sama dia sudah putus. Kami tidak satu frekuensi," jelasnya.

Aku diam.

Mas Yudha menyesap teh yang ibu buat. Lalu dia menatapku sembari meletakkan cangkir berisi teh itu. "Ayo kita pacaran," ujarnya sangat gampang.

Bodohnya kepalaku mengangguk. Aku menerima permintaannya.

|▪|▪|▪|▪|▪|

Seperti biasa untuk vote dan commentnya huehuehue. Follow juga ya biar tau cerita terbaruku.

Cerita ini bakal aku upload tiap hari ya. Biar cepet cepet upload cerita Bulan. Soalnya waktunya berbeda makanya aku upload ini dulu.

Salam,

Elga senjaya

17 Maret 2021

Bunga Anyelir [#2.SGS]Where stories live. Discover now