bag 21. Bersama Yudha

188 26 1
                                    

Sudah 3 bulan berlalu semenjak kepergian bapak Daneen. Sudah 1 bulan juga Daneen mengurung dirinya di kamar. Dia bahkan tidak mempedulikan masa depannya yang ingin menjadi seorang tentara. Dia terlalu depresi sampai melupakan hal hal lain.

Aku dan Fauzan bahkan sudah menyerah untuk memberinya semangat. Terkadang kata kata motivasi tidak mempan untuk orang yang sedang depresi. Dia mungkin butuh waktu untuk mengikhlaskan kepergian orang yang dia cinta.

Aku menatap rumah Daneen yang sangat sepi. Tidak ada satupun keluarganya yang keluar. Bahkan kucing peliharaannya pun tidak keluar rumah. Hari ini, aku ataupun Fauzan tidak mendatangi rumah Daneen.

Karena Fauzan lagi lagi pergi ke Surabaya untuk tes Tamtama TNI AD. Sedangkan aku sudah berjanji pada Mas Yudha untuk jalan jalan bersamanya. Dia baru saja pulang dari tugasnya di Banyuwangi.

Fauzan benar benar memperjuangkan dirinya untuk bisa menjadi bagian dari tentara. Sedangkan aku harus pasrah menunggu satu tahun lagi untuk mendaftar kuliah. Tahun ini aku harus gapyear dan mencari kerja kesana kemari untuk mengisi waktu luang dan mendapatkan uang. Jika uang sudah terkumpul baru bisa berangkat ke Natuna mencari kerja disana.

"Dek," panggil Mas Yudha di depan gerbang rumahku. Aku tersadar dari lamunanku lalu berjalan menuju gerbang untuk membuka gerbang.

Orang orang nampak ingin tahu dengan kehadiran Mas Yudha ke rumahku. Tetapi Mas Yudha nampak tidak peduli dengan orang orang sekitar. Seperti itulah jika ada laki laki yang datang ke rumahku. Fauzan juga pernah menjadi pusat perhatian mereka.

Dulu saat Fauzan datang ke rumahku untuk mengembalikan buku, orang orang nampak ingin tahu hubunganku dengan Fauzan. Mereka bahkan berbisik bisik sangat keras seolah olah aku juga harus mendengar bisikannya. Aku sangat ingat bisikan mereka pada anaknya sampai sekarang.

"Tuh liat Anye. Orang kaya gitu aja bisa dapet cowok ganteng masa kamu ndak nak."

Kaya gitu?

Aku tidak mengerti lagi kenapa mereka berkata seperti itu. Mereka seperti meremehkan aku. Setelah Fauzan memberikan bukunya, dia menyapa Daneen yang baru keluar dari rumahnya.

Setelah itu orang orang berbisik lagi. Bisikannya justru lebih parah dari sebelumnya.

"Oh teman toh. Takira pacar. Lagian mana mungkin orang kaya Anye dapet cowok modelan ganteng kaya gitu. Paling bagus palingan dapet suami orang kaya ibunya."

"Kamu ngelamunin apa?"

Aku mendongak menatap Mas Yudha yang berniat masuk ke rumahku. Aku buru buru menggeleng agar dia tidak bertanya lebih jauh lagi. "Bukan apa apa kok". Mas Yudha mengangkat bahunya pelan lalu masuk untuk menemui ibu. Dia ingin meminta ijin terlebih dahulu pada ibu.

"Ibu saya minta ijin buat ajak Anye jalan jalan ya," pintanya.

Ibu mengangguk. " Iya asal jangan pulang kemalaman," katanya. Mas Yudha tersenyum sambil mengangguk. Lalu tangannya kembali menyalami ibu.

Setelah itu kami berdua berangkat menuju tempat yang tidak aku ketahui. Entah Mas Yudha akan membawaku kemana, aku tidak tahu. Aku menurut saja dengan rencananya.

|▪|▪|▪|▪|▪|

Mas Yudha menghentikan motornya di lampu merah. Dia menepuk kedua pahaku, membuat aku memajukan kepalaku hingga menyandar di bahunya. "Kenapa?" tanyaku pelan.

"Liat tangannya," ujarnya. Aku mengerutkan alisnya tapi tak urung juga aku menunjukkan tangan kiriku.

Mas Yudha menarik tanganku untuk memeluk pinggangnya. "Satunya," perintahnya.

Bunga Anyelir [#2.SGS]Where stories live. Discover now