bag 25. Omongan Orang

199 24 0
                                    

Mas Yudha meletakkan koper yang kami bawa kedalam bagasi mobil. Aku dan Mas Yudha baru saja turun dari bis yang membawa kami dari Surabaya menuju Jember. Begitu turun, kami langsung memesan taxi yang akan membawa kami menuju rumah.

Mobil langsung melaju begitu aku dan Mas Yudha masuk. Tidak perlu memakan waktu lama, mobil taxi sudah berhenti di depan rumahku.

Kulihat rumah Daneen nampak ramai sekali. Dia bilang bahwa acara tunangan akan diadakan hari ini. Tetapi aku tidak bilang pada Daneen jika hari ini aku datang ke Jember. Aku berniat untuk memberi kejutan padanya.

Mas Yudha menurunkan koper nya dan membawa menuju rumah. Ibu yang melihatku dari rumah Daneen langsung bergegas ke rumahnya. Dia tersenyum padaku lalu memelukku erat. Aku membalas pelukannya dengan canggung. Setelah itu dia menatap Mas Yudha dan memeluk Mas Yudha erat. Mas Yudha nampak tidak canggung sama sekali ketika memeluk Ibu. Dia bilang ibuku adalah ibunya juga.

"Kamu mau ke rumah Daneen dulu atau istirahat dulu?" tanyanya padaku setelah melepas pelukannya pada Mas Yudha. Aku menoleh ke arah rumah Daneen yang sangat ramai karena gelak tawa.

"Ke rumah Daneen aja bu," kataku. "Sekalian numpang makan," lanjutnya. Ibu tertawa mendengar candaanku. Seumur umur mungkin ini adalah pertama kalinya aku bercanda pada ibu.

Aku tersenyum lalu mengajak Mas Yudha untuk mampir ke rumah Daneen terlebih dahulu. Begitu sampai di ambang pintu, kulihat Daneen sedang duduk sambil menunduk. Dia duduk dengan sangat sopan.

"Tumben itu anak kelihatan kalem biasanya kurang ajar," kata Mas Yudha disampingku. Dia menatap Daneen sambil terkekeh pelan. Aku memukul bahunya pelan.

"Assalamualaikum," kataku karena Daneen tidak kunjung sadar dengan kehadiranku. Daneen mendongak lalu senyumnya terbit begitu melihatku. Dia langsung berdiri dan menghampiriku lalu memelukku erat sekali.

Aku menatap sekeliling mencari tunangan Daneen. Tidak perlu bertanya pada Daneen, aku sudah bisa menebak orang yang akan menjadi tunangan Daneen. Seorang pemuda dewasa dan tampan sedang menggunakan pakaian dengan corak yang sama seperti pakaian Daneen dengan Daneen.

Bisa bisanya Daneen sedih dengan pertunangannya. Padahal orang yang menjadi tunangannya benar benar berkharisma dan berwibawa. Terlihat seperti pangeran berwajah tegas dan dingin. Matanya benar benar tajam seperti Elang dan pesonanya sangat kuat. Siapapun yang akan ditatap tajam oleh mata elangnya mungkin akan ngompol di celana karena takut.

"Cie yang sudah tunangan, senyum dong jangan sedih," hiburku. Sedangkan Daneen berusaha untuk tersenyum. Senyuman yang terpaksa.

Aku berbincang bincang dengan Daneen mengenai dia yang tidak mau bertunangan. Tidak lama kemudian perbincangan kami dipotong oleh Ibu Daneen yang menanyai keadaanku. Sedangkan Mas Yudha sudah masuk ke dalam rumah Daneen untuk makan terlebih dahulu. Katanya dia sudah lapar sewaktu di Terminal pemberhentian.

"Kalian romantis sekali. Mama jadi iri sama anak mama yang satu ini. Nggak kaya anak mama yang ini," cibir Ibu Daneen sambil melirik Daneen. Sedangkan Daneen hanya memonyongkan bibirnya. "Masa manggil calon suaminya dengan sebutan Pak kan seharusnya mas atau sayang mungkin atau bebeb," lanjut Ibu Daneen.

Mendengar itu aku langsung tertawa terbahak bahak. Ternyata Daneen tetap tidak berubah. Dia tetap ngawur dari dulu. Daneen memajukan bibirnya lalu menatap ke arah lain. Mungkin dia malu karena ulahnya sendiri.

Setelah itu acara Daneen berlanjut dengan foto foto. Daneen dan tunangannya yang bernama Idris benar benar lucu. Mereka nampak menjaga jarak satu sama lain. Mas Yudha yang melihat kelakuan Daneen yang malu malu nampak puas sekali.

"Akhirnya tuh anak punya urat malu," kata Mas Yudha. Dia tersenyum sinis seperti punya dendam. Mungkin karena Daneen terkadang kurang ajar terhadap Mas Yudha, dia selalu mencibir setiap perlakuan manis Mas Yudha padaku.

"Anye kayaknya acara foto foto bakal lama nih. Mas pulang dulu aja ya mau istirahat soalnya capek banget. Kamu kalo masih mau bincang bincang sama Daneen gak masalah kok. Mas mau tidur dulu soalnya," katanya. Aku mengangguk lalu Mas Yudha pergi pulang menuju rumah.

Aku masih menatap Daneen dan tunangannya yang berfoto dengan canggung. Ketika tunangannya menarik pinggang Daneen untuk mendekat, sontak hal itu membuat dua keluarga bersorak kesenangan sambil tepuk tangan. Aku tertawa melihat 2 keluarga yang nampak riweh.

"Eh Anyelir," panggilan seseorang membuatku menoleh. Ternyata bu Soraya sudah berada di sampingku. Ibu ibu paling sibuk yang pernah kutemui. Maksudnya sibuk mengurusi urusan orang. Dia yang paling terang terangan jika mengurusi urusan orang daripada ibu ibu yang lain.

"Eh Bu Soraya. Sehat bu," kataku basa basi.

"Tentu saja sehat," ujarnya. Setelah itu kami berdua saling diam menyaksikan Daneen dan tunangannya. "Daneen sudah tunangan. Sebentar lagi dia nikah. Kamu...."

Aku menoleh padanya menunggu ucapan selanjutnya. "Kamu belum punya anak. Ini sudah 4 tahun berlalu dan kamu masih belum punya anak. Apa gak malu sama Daneen kalo suatu saat Daneen lebih dulu punya anak daripada kamu?"

Aku diam. Hatiku terasa sakit mendengar ucapannya. Benar saja apa yang aku takutkan kini terjadi di hadapanku.

"Jangan jangan kamu mandul," tuduhnya.

Kenapa orang orang begitu gampang menyinggung perasaanku?

|▪|▪|▪|▪|▪|

Sepulangnya dari rumah Daneen, aku menangis sejadi jadinya. Ibu dan Mas Yudha yang melihatku nampak kebingungan. "Anyelir kenapa?" tanya Mas Yudha khawatir. "Ditukarin Daneen?"

Aku menggeleng sambil mengusap air mataku. Ibu langsung memelukku erat berusaha menenangkanku terlebih dahulu. Sedangkan Mas Yudha mengelus kepalaku lembut.

Dirasa tenang aku langsung menceritakan apa yang sudah terjadi pada Ibu dan Mas Yudha. Aku bercerita mengenai Bu Soraya yang dari dulu suka menyindirku terang terangan.

Mendengar itu Ibu langsung menangis dan memelukku. "Maafin ibu," ujarnya masih dengan menangis. Aku mengusap air mataku sambil memeluk Ibu. Kulihat Mas Yudha diam menatap kami berdua. Dia sepertinya bingung harus berbuat apa melihat 2 wanita di hadapannya menangis.

Ibu melepas pelukannya lalu menatapku. "Maafin ibu karena selama ini membuat kamu menderita. Maafin ibu karena dulu berniat buat gugurkan kamu. Maaf karena kamu harus hidup tanpa seorang ayah. Maaf karena kamu tidak pernah melihat wajah ayahmu selama kamu hidup. Maaf karena kesalahan ibu kamu harus di cibir banyak orang. Ibu tidak tahu lagi harus meminta maaf bagaimana lagi sama kamu."

"Disini ibu yang paling salah. Ibu yang paling bikin kamu menderita. Disaat orang lain bisa bermanja manja dengan ayahnya, kamu tidak. Ibu minta maaf nak.... Ibu minta maaf....," kata Ibu. Kedua tangan ibu menyatu di depan wajahnya meminta maaf.

Ini pertama kalinya ibu meminta maaf terang terangan seperti ini. Aku menggeleng pelan sambil melepaskan kedua tangan Ibu. Lalu aku memeluk Ibu kembali.

"Maafkan Anye ibu karena terkadang membuat ibu kesal. Ibu gak salah, orang orang saja yang memandang Ibu rendah."

Lalu kami berdua kembali menangis lagi.

|▪|▪|▪|▪|▪|

Salam,

Elga senjaya

25 Maret 2021

Bunga Anyelir [#2.SGS]Where stories live. Discover now