bag 26. Fauzan

190 23 3
                                    

Hari ini lagi lagi Mas Yudha di tugaskan keluar kota. Mau tak mau aku harus tinggal seorang diri di asrama. Biasanya setiap para tentara bertugas diluar kota, maka para pendamping akan menemaninya sebelum keberangkatan di lapangan utama.

Aku menggunakan pakaian persitku yang berwarna hijau. Kutatap diriku di cermin lamat lamat. Tak lama kemudian Mas Yudha memasuki kamar sudah dengan seragam lorengnya. Dia mengambil ransel besar yang sudah dia persiapkan dari kemarin malam.

Mas Yudha tersenyum padaku. Aku dapat melihatnya dari pantulan kaca. Wajahnya nampak lelah tetapi dia tidak pernah mengatakan lelah terang terangan padaku. Dia tidak pernah mengeluh. Mas Yudha mendekatiku lalu memelukku dari belakang.

Dia meletakkan wajahnya pada ceruk leherku. "Mas bakal kembali 1 bulan ya....," ujarnya lirih. Dia memelukku erat nampak tidak mau lepas. Sudah 4 tahun hubungan pernikahan kami tetapi hubungan kami masih tetap seperti baru menikah.

"Iya Mas," jawabku sambil mengelus elus rambutnya. "Anye akan selalu kangen kok."

"Mas juga kangen," ucapnya manja. Setelah itu dia melepas pelukannya dariku. Mas Yudha membalikku agar berhadapan dengannya.

Dia mengelus elus pipiku lembut. Lalu dia mendekatkan wajahnya padaku. Ketika hidungku dan hidungnya bersentuhan, aku spontan menutup mata. Mas Yudha menghapus jarak diantara kita.

Setelah 2 menit berlalu, Mas Yudha melepasku. Aku membuka mata dan menatap Mas Yudha. Aku tertawa melihat wajahnya. "Kenapa tertawa?" tanyanya bingung. Wajahnya mengerut karena penasaran.

Aku masih tertawa sambil menggeleng pelan. Tanganku bergerak mengusap bibir Mas Yudha yang terkena lipstikku. "Lipstiknya nempel," kataku. Mas Yudha memegang tanganku dan menatap wajahnya.

Benar saja, terdapat lipstik di bibirnya. "Jangan dihapus," ucapnya sambil menahan tanganku.

"Kenapa?"

"Buat di pamerin ke temen temen," ujar dia jahil. Aku melepaskan tanganku dari tangannya lalu memukul lengannya pelan. Setelah itu kembali melakukan aktivitasku yang sempat tertunda tadi yaitu menghapus lipstik yang menempel di bibir Mas Yudha.

Setelah bersih, aku melihat wajahku sendiri. Takut lipstik yang aku gunakan belepotan seperti bibir Mas Yudha. Ternyata belepotan sedikit, segera aku merapihkannya.

Dirasa siap, aku langsung mengangguk pada Mas Yudha. Kami keluar bersamaan menuju lapangan utama. Aku dan Mas Yudha berpapasan dengan tetangga sebelahku. Suaminya juga sama seperti Mas Yudha, ditugaskan diluar kota.

"Anyelir," panggil Risa begitu melihatku. Dia mendekat lalu memelukku sebentar. Risa adalah salah satu orang yang akrab denganku ketika di asrama.

Kami berdua sama sama berasal dari Jawa. Bedanya aku Jawa Timur dan dia Jawa Tengah. Tutur katanya lemah lembut dan sifatnya selalu ceria. Jika bersamanya terkadang aku jadi teringat Daneen karena mereka sama sama memiliki sifat ceria. Bedanya suara Daneen lantang dan tidak ada lembut lembutnya. Aku jadi kangen dengan Daneen.

"Sudah peluk pelukannya?" tanya Satria setelah melihat kami selesai berpelukannya. "Tiap hari ketemu selalu saja pelukan kaya gak pernah ketemu berbulan bulan."

Risa tersenyum melihat suaminya lalu dia memeluk suaminya sebentar. "Bang Sat iri ya?" tanyaku. Namanya Satria tetapi aku sering memanggilnya dengan sebutan Bang Sat. Umurnya 2 tahun lebih tua dari Mas Yudha tetapi pangkatnya sudah Prajurit Kepala. Kata Mas Yudha, Bang Satria adalah orang yang berprestasi makanya dia cepat naik pangkat.

"Kamu bisa gak manggil saya tanpa embel embel bang?"

Aku menggeleng. "Harus sopan sama yang lebih tua," balasku. Dia mendengus keras lalu menggenggam tangan istrinya.

Kami berempat segera berjalan menuju lapangan utama karena sebentar lagi akan diadakan upacara keberangkatan. Terlambat bukanlah hal yang wajar di kesatuan mereka.

Sesampainya di lapangan utama, Risa melepas tangannya lalu memeluk lenganku. Sedangkan Mas Yudha dan Bang Satria sedang berbincang bincang bersama rekannya. "Kamu mau tau sesuatu ?" tanya Risa padaku sambil berbisik.

"Apa?" tanyaku ikut ikutan berbisik juga.

"Hari ini selain upacara keberangkatan suami kita untuk tugas ada upacara kedatangan prajurit baru loh.... tau gak apa yang lebih wow lagi?"

"Apa?" tanyaku semangat nampak ingin tahu.

"Banyak bujang tampan," katanya sambil tertawa kecil. Aku meremas tangannya karena ucapannya. Dia masih tertawa sambil menggeleng pelan. "Lumayan bisa cuci mata," lanjutnya.

"Insaf," kataku.

"Khilaf," balasnya.

"Apa yang khilaf?" tanya Mas Yudha yang datang tiba tiba. Kami berdua hanya menggeleng. Mana mungkin berucap jujur mengenai omongan Risa.

Tidak lama kemudian upacara akhirnya dibuka. Benar saja apa yang diucapkan Risa, Upacara ini bukan hanya untuk melepas keberangkatan prajurit yang akan bertugas. Upacara ini juga berlangsung sebagai upacara penyambutan prajurit baru.

Selesai upacara, aku langsung mencari Mas Yudha untuk menyalaminya sebelum berangkat tugas. Mas Yudha yang melihatku langsung memelukku tiba tiba. Cukup lama dia memelukku, aku membalas pelukannya sambil mengelus punggungnya.

"Mas bakalan kangen dan kamu tahukan gimana rasanya menahan kangen, jangan nakal ya," katanya sambil menoel hidungku. Aku mengangguk sambil tersenyum. Lalu tangannya menggenggam tangannya dan salim padanya.

Mas Yudha memegang kedua pipiku lalu bibirnya mendekat untuk mencium keningku. Cukup lama dia mencium keningku. Dia baru melepasnya setelah salah satu rekannnya menepuk lengan Mas Yudha menyuruhnya untuk naik ke dalam truk.

"Lihat langit kalo kangen Mas," ujarnya sambil menunjuk langit. Dia lalu mengambil tas dan melambai lambaikan tangannya padaku sambil menaiki truk. Aku membalas lambaian tangannya.

Bukan hanya aku saja, ibu persit yang lain juga melambai lambaikan tangannya saat truk mulai berangkat melepas kepergian suaminya. Bahkan ada beberapa yang menangis saat truk mulai melaju pergi. Karena tidak ada yang tahu jika mereka semua pulang dan mendapat kabar bahwa suami hanya tinggal nama.

Risa disebelahku masih menangis tersedu sedu. Dia memeluk lenganku sambil menyandarkan kepalanya pada bahuku. "Kamu kok gak nangis nye?" tanyanya.

Aku menoleh padanya sebentar lalu kembali menatap kedepan. Kami berjalan untuk pergi dari lapangan utama, berniat untuk pulang ke asrama. "Aku selalu berdoa ris.... semoga Mas Yudha baik baik saja disana. Semoga dia bisa kembali dengan selamat. Aku selalu berdoa seperti itu setiap hari."

"Aku memang gak menangis tapi hatiku terasa sesak saat melihat kepergiannya. Aku juga takut seperti kamu kok. Seperti ibu ibu lain juga. Takut mendapat kabar buruk tentang suami kita masing masing. Hanya saja aku tidak menampakkan itu di hadapan Mas Yudha. Aku tidak mau di setiap langkahnya, dia menyesal karena harus meninggalkanku untuk bangsa negara ini."

"Aku tidak mau pikirannya terpecah belah saat melaksanakan tugasnya. Melihat istrinya yang sedih atau melakukan tugasnya dengan serius."

Risa melepas pelukannya dari lenganku. Dia menoleh padaku sambil mengusap air matanya. "Kamu kok bijak banget sih nye."

"Bukan bijak lebih tepatnya tau kondisi," jelas aku. Risa mengangguk lalu mengusap air matanya hingga kering.

"Anyelir," panggilan seseorang sontak membuat aku dan Risa berbalik. Senyumku mengembang melihat seseorang dihadapanku. Orang yang baru saja memanggilku tersenyum.

Dia Fauzan. Prajurit Satu Fauzan Einar Wijaya.

|▪|▪|▪|▪|▪|

Orang ketiga dateng😊

Terima kasih yang sudah membaca. Jangan lupa vote dan comment

Salam,

Elga senjaya

26 Maret 2021

Bunga Anyelir [#2.SGS]Where stories live. Discover now