-santai, part ini tidak akan menyulut emosi-
H A P P Y R E A D I N G
"Gue khawatir banget sama Tata," celetuk Kila.
"Emang dia kenapa?" tanya Sandy. Menyuapkan bakso ukuran besar ke dalam mulut, dia menatap Kila bingung.
"Udah dua hari dia nggak sekolah," jawabnya.
"Sakit mungkin," sahut Bima.
"Tapi..." Kila menggigit kuku-kuku jarinya, "duh," kesalnya.
"Lo kenapa dah?" Didi bingung melihat sikap aneh Kila.
"Dua hari yang lalu gue kasih tau dia tentang postingan si Temaram temaram itu," katanya.
"Temaram siapa?" tanya Nino.
"Temaram, itu loh temennya si Alan. Punya nama susah amat!" ujar Kila. Dia bersungut kesal, lupa sendiri dengan nama gadis yang berhasil membuatnya emosi.
"Tamara," koreksi Maman.
"Ah elah, postingan doang," tutur Didi.
"Masalahnya dia posting foto bareng Alan, terus captionya official," sela Kila cepat.
"Serius?" kelima lelaki itu memasang ekspresi terkejut.
"Official itu artinya jadian 'kan?" Uma ikut nimbrung dengan wajah polos.
Tanpa sadar Bima mengangguk membuat gadis berjilbab itu memekik, "tuh kan bener!" pekiknya, "Kila nggak percaya sama aku sih!" Uma merengut kesal.
"Bukan nggak percaya ogeb! Tapi gue mikirin perasaanya Tata, lo main nyeplos aja!" seru Kila.
"Keterangan surat izin nya dia apa?" tanya Maman.
"Sakit. Gue chat nggak di bales, telfon pun nggak di angkat," jelas Kila.
"Pulang sekolah kita ke rumah Tata, gimana?" usul Bima.
Membenarkan letak kacamatanya, Nino mengangguk setuju, "nanya Alan pun nggak guna, lebih baik langsung samperin aja."
"Awas aja kalau Alan beneran selingkuh! gue unyek-unyek dia, gue jadiin manusia penyet!" geram Kila.
"Gue siap layangin bogeman," imbuh Sandy.
"Ini kita mau ngapain sih?" tanya Uma bingung.
Para manusia yang berada satu meja dengan gadis itu mengeram kesal. Polos, bego, dan lemot. Uma masuk kedalam semua golongan itu.
"Sttt, lo ikut aja."
"Kita mau bikin tempe penyet?" tanya nya lagi.
---
Tata menatap kosong langit-langit kamar. Pikirannya berkelana. Memiringkan posisi tidurnya, ia menatap Laskar yang masih tenang dalam tidurnya. Keduanya sedang tidak baik-baik saja. Ada luka yang tertoreh.
Laskar yang kehilangan sosok Ayahnya juga Tata yang kehilangan kepercayaan akan cinta.
Mendekap tubuh mungil itu, isaknya kembali mengudara. Memecah sunyi nya kamar yang gelap. Tata lelah menangis, namun lagi-lagi dengan lancangnya air mata itu membasahi pipinya.
Tata tahu, bayi itu juga sama sakitnya. Bahkan mungkin akan meninggalkan jejak-jejak trauma. "Laskar," panggilnya lirih, "jangan pergi ya? Sama Mama aja di sini," pinta Tata berbisik.
"Jangan kemana-mana."
"Jangan tinggalin Mama."
"Amma." Mata itu mengerjap disertai rengekan.
"Ya?" tanya Tata dengan suara bergetar. Dua hari berlalu, Laskar menjadi lebih pendiam. Dia tidak mau bersama Rosi juga Reka. Bayi itu tidak mau lepas dari Tata, seperti menyimpan ketakutan.
"Laskar mau apa? Bilang, sayang."
"Amma." Hanya kata itu yang keluar di sertai tangisan. Menenangkan, tidak ada yang dapat Tata lakukan selain itu.
Tok
Tok
Tok
"Tata, ada temen kamu." Rosi dari luar kamar berucap. Wanita itu tentu prihatin dengan kondisi anak juga cucunya, namun ia memilih bungkam, biarkan Tata sendiri yang bercerita.
"Iya, Mi," sahut Tata. Rosi mendengar jelas suara bergetar anak gadisnya. Wanita berumur kepala empat itu menghela nafas berat, memilih berlalu dari sana. Coba katakana, ibu mana yang tidak sedih melihat anaknya seperti itu? Tata seperti tidak memiliki semangat dan larut dalam kesedihannya.
Perlahan, gadis yang menghabiskan jam-jamnya di ranjang itu bangkit, turut membawa Laskar kedalam gendongannya. Satu tangannya mengelap pipi tembam Laskar yang basah oleh air mata. Mengecup kedua mata batita itu.
Dengan langkah pelan juga gontai dia keluar, menuruni tangga. Diruang tamu, bisa dilihat sahabat-sahabat Alan juga sahabat-sahabatnya sedang berbincang dengan sang Mami.
"Laskar!" Didi yang pertama kali berseru, remaja itu merentangkan tangannya dengan senyum lebar. Namun Laskar, dia malah menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Arletta.
Tata menyadari itu, gadis itu hanya mampu tersenyum sendu pada teman-temannya. Berjalan mendekat, Tata mendudukkan dirinya di singel sofa dengan Laskar yang ia pangku.
Rosi pamit pergi, ingin member ruang pada remaja-remaja itu.
"Gue khawatir sama lo," kata Kila.
Tersenyum kecil, Tata berkata, "gue nggak pa-pa," ujarnya pelan. Suaranya terdengar serak mungkin efek menangis semalaman.
"Lo kenapa 2 hari nggak masuk?" tanya Bima.
"Kurang enak badan."
"Laskar kenapa?" tanya Sandy hati-hati. Perubahan sikap batita itu yang cukup mencolok menyebabkan tanda tanya.
Tata tidak menjawab, dia malah bermain dengan jari-jemari kecil Laskar.
"Ta, gue mau minta maaf soal postingan kemarin. Lo nggak usah mikirin itu, bisa aja Tamara cuma iseng," ucap Kila.
"Hiks...Alan beneran selingkuh, hiks...gue mergokin dia csama Tamara hiks." Tidak dapat menahannya, cerita Tata mengalir. Mulai dari dirinya yang hendak mengembalikan Laskar pada Alan sampai akhirnya mereka bertengkar.
"Brengsek!" umpat Sandy. Rahang laki-laki itu mengeras setelah usai mendengarkan cerita Tata.
"Gue nggak percaya hiks...awalnya gue berusaha berfikir positif, ta-tapi Alan sendiri yang meyakinkan gue kalau hiks gue bukan lagi satu-satunya," ujar Tata dengan isak.
"Ta, inget empat hal ini," ucap Kila, "sambut yang datang, ikhlaskan yang pergi, hargai yang berjuang, dan lupakan yang menyakiti."
Nino mengangguk setuju, lelaki itu membenarkan letak kacamatanya, "walaupun Alan sahabat gue, gue nggak bisa membenarkan tindakan dia. Dia selingkuh dan lo berhak untuk pergi. Sesuatu yang menyakitkan nggak pantas untuk di pertahankan."
"Dia udah keterlaluan," kata Maman, "dia banci, cowok letoy yang milih selingkuh sama Tante Girang di bandingkan mempertahankan Tata yang jelas-jelas cantik ples gemoy. Mana udah punya anak selucu Laskar lagi."
"Tapi Ta, apa Lo udah denger penjelasan Alan?" tanya Sandy tiba-tiba, "entah kenapa gue ngerasa ada sesuatu yang janggal di sini."
Serempak, semua pasang mata menatap Sandy. Cowok playboy yang sangat mengerti akan cinta itu berdehem sejenak. "Dari cerita lo, gue dapat menyimpulkan, Alan berusaha menjelaskan sesuatu tapi lo nggak kasih dia kesempatan."
"Tapi gue udah lihat sendiri, San! Apa yang perlu di jelasin?" sahut Arletta.
"Sandy bener, kita nggak bisa lihat dari satu sudut pandang aja," ujar Bima.
"Nah, itu yang dari tadi berusaha gue jelasin!" seru Sandy, "ya pada intinya kalian harus ngobrol, lo harus mendengarkan penjelasan Alan. Seandainya Alan udah ngejelasin, tapi menurut lo dia salah, lo berhak pergi."
Arletta termenung. Bertemu dengan Alanno? Dia tidak siap. Hatinya masih berdenyut sakit setiap membayangkan wajah laki-laki itu.
"Laskar, ayo pulang!"
-BERSAMBUNG-
Kata pembaca, Tata itu bego karena ga bisa tegas. Tapi katanya, Alan lebih bego. Bahkan yang udah bodoh kalah sama yang lebih bodoh. Alan itu definisi bego ga berotak.
-Readers Delusion Effect 2020.
Part ini sengaja dibuat santai, biar kalian ada waktu istirahat buat kontrol emosi.
Selamat malam.
Salam tertera;
Sri Devina Myn