40 HARI TANPA KAMU [Dilanjutk...

By DekaLika

475 88 7

Wulan Ayu Kencana sempat berpikir, jika mungkin memang tak ada kebahagiaan lagi di dalam hidupnya. Setelah se... More

Patah Hati
[1] Dunia Itu Kejam
[2] Stalking Mantan: Membunuh Perasaan
[4] Sakit Hati
[5] Ujian Pertama
[6]Cara Allah Menguji Hambanya
[7] Bertemu Ayah
[8] Kejutan
[9] Kebetulan yang Menyenangkan
[10] Kebusukan Tisa
[11] Apa Harapan Itu Ada?
[12] Ujian atau Takdir Tuhan?
[13] Mimpi yang Nyata
[14] Pembicaraan Panjang
[15] Skandal
[16] Pembawa Acara
[17] Pembullyan Di Keramaian
[18] Semua yang Dia Tahu
[19] Dipanggil Ketua Jurusan
[20] Challenge 40 Hari
[21] Sebuah Catatan Tangan
[22] Hari-hari yang Berbeda
[23] Kak Raisa
[24] Pelajaran Pertama Untuk Berubah
[25] Ikhlas yang Sebenarnya
[26] Kekuatan Persahabatan

[3] Teman Jadi Musuh Mematikan

33 5 1
By DekaLika

"Sekuat apa pun aku menghindar, aku tetap harus ada di lingkaran ini. Pilihanku satu-satunya hanyalah: tabah."

40 HARI TANPA KAMU

💌💌💌

Selamat belajar ....

Hari ini perasaanku cukup baik. Aku melangkah ringan sambil memasang senyum samar, wajah cerah tanpa make-up tebal, dan menikmati kesibukan yang sudah biasa di jalan. Tidak ada yang berbeda, tetapi aku senang saja melihatnya. Toko-toko sudah dibuka. Maklum saja ini sudah jam sembilan, dan mereka mengharapkan pembeli datang sebanyak mungkin dengan buka lebih pagi.

Dengan langkah ringan aku melenggang masuk kelas, duduk di samping Friska yang sibuk ber-selfie ria. Siapa pun akan tahu kalau Friska adalah Ratu Selfi dan paling sering update story di Instagram.

"Lan, sini ikutan," katanya sambil mengarahkan kamera langsung ke depan kami.

Aku melihat ke arah kamera. Setelah tersenyum dan berpose seadanya, Friska menekan tombol dan memotret. "Lagi, lagi."

"Udah. Gue lagi nggak mood," kataku pelan sambil mengeluarkan ponsel. "Ajak Fhika aja."

Setelah itu aku tidak tahu menahu apakah Friska benar-benar mengajak Fhika yang duduk di sampingnya atau tidak. Rutinitas yang dilakukan hampir semua mahasiswa di kelasku: masuk kelas, meletakkan tas, duduk, kalau ada topik menarik untuk dibicarakan bercerita dulu, atau memainkan ponsel sepertiku.

Semuanya berjalan seperti biasa. Mahasiswa-mahasiswi lainnya berdatangan, dosen masuk, mulai belajar, mendengarkan pemakalah yang duduk di depan kelas berlima orang, terjadi tanya-jawab, dosen menambahkan penjelasan tentang materi, setelah itu usai. Pulang adalah hal paling membahagiakan, setelah dosen tidak masuk kelas.

Aku pun berkemas seadanya. Menyandang tas punggungku. Menunggu teman di depanku beranjak, barulah aku menyelip di antara kursi-kursi yang mulai berantakan untuk keluar bersama mereka.

"Ternyata kesampaian juga cita-cita dia dulu. Curhat ke gue tuh, Mit. Pengen berhijrah."

Kata-kata itu menghentikan langkahku. Aku kenal suara itu. Aku hapal nada suaranya. Tisa melipat kedua lengan di depan dada, menatap tajam, dan tersenyum sinis saat aku menoleh. Di sampingnya, Mitha, si pemilik wajah sok polos, dan senyum palsu berdiri di samping Tisa.

"Kenapa? Tersinggung? Emang yang berhijrah elo sendiri?"

Jelas aku tersindir. Yang memakai jilbab panjang hanya aku dan Aida. Aida sendiri sudah sejak awal masuk kuliah berjilbab panjang dan berpakaian dalam. Kemudian aku yang baru saja menghebohkan seiisi kelas dan mengundang sorot mengejek. Akhirnya aku mengabaikan saja. Berjalan cuek menuju pintu, menyusul Wina.

"Dasar munafik. Jilbabnya aja yang dalam, tapi hatinya masih busuk."

Aku menelan ludah pahit. Mendengarnya membuat jantungku berdebar kencang. Emosi seperti tumpah keluar dari kepalaku. Tanganku terkepal. Dengan segenap kekuatan yang ada aku berbalik, dan terkejut mendapati Tisa sudah ada di depanku sambil memelototkan mata.

"Sebenarnya lo ada masalah apa sih sama gue? Gue dengar selama ini lo sibuk mengurus kehidupan gue dan memprovokasi anak-anak di kelas," kataku berusaha tenang.

Sontak beberapa orang yang masih tersisa di kelas langsung menatap seru ke arah kami.

Wajah gadis di depanku ini semakin sombong. Salah satu sudut bibir atasnya terangkat, tersenyum judes. "Kapan gue memprovokasi mereka? Emang lo aja yang pantas mendapatkannya, 'kan?" Kepalanya dimiringkan, dan memandang remeh padaku.

"Oh, ya? Tadi itu apa?"

Kurasakan lenganku di pegang seseorang. Saat menoleh Wina tengah menatapku untuk segera pergi saja dan tidak melayani Tisa.

"Eh, datang temennya. Kalian itu emang cocok, ya. Satu munafik, satu lagi perebut teman orang!" cetusnya dengan nada lantang.

"Terus lo apa? Siluman ular? Manusia busuk yang suka membicarakan keburukan orang tanpa koreksi diri sendiri?" balas Wina mulai tersulut emosi.

"What? Gue di sini korban! Korban dari kalian berdua. Dan kalian pantas dapatin ini. Gue rasa nggak ada apa-apanya, ya? Oh? Semua orang juga tahu kalau kalian itu emang nggak pantas berteman dengan siapa aja. Orang-orang munafik seperti kalian ini nggak seharusnya ada di sini!"

"Orang kek elo itu nggak pantas hidup! Merendahkan orang apa menurut lo hidup lo terlihat keren gitu? Masih mending Wulan masih mau berubah, daripada elo udah menjelek-jelekan Wulan, sekarang lo menghasut semua orang di kelas untuk menjauhi dia dan memandang buruk ke arah Wulan. Lo lebih hina dari pada orang munafik!"

Kini semua orang sudah berangsur pergi dari kelas. Walau masih ada mata-mata penasaran menatap kami lewat jendela. Tinggallah aku, Wina, Tisa, dan Mitha yang hanya diam seribu bahasa di samping temannya.

"Berani-beraninya lo! Sadar diri dong, kalau lo udah buat hubungan kami merenggang. Lo itu orang ketiga. Nggak punya temen lain lo sampai-sampai teman orang lo rebut, hah? Lebih hina siapa? Gue atau perusak kek lo?"

Mereka berdua beradu argumen, saling menjatuhkan, dan menyebutkan kesalahan masing-masing. Aku sudah menduganya. Tisa tidak suka aku dekat dengan Wina lagi dan dia memilih menjauhiku. Padahal aku sama sekali tidak menghindarinya. Aku siap menerima siapa saja untuk berteman denganku.

"Mau lo apa sih, Tisa?" tanyaku akhirnya.

Tisa memutar bola mata. "Mau gue?"

"Gue minta maaf kalau itu yang jadi permasalahan kita. Bisa nggak kita berteman aja daripada masalah ini nggak selesai-selesai?" potongku tegas.

"Apa? Berteman? Nggak banget gue punya teman munafik kek lo!" ucapnya kasar.

"Oke. Nggak masalah. Tolong jangan ngata-ngatain tentang jilbab gue. Kalaupun ada yang salah dari sikap gue, itu sepenuhnya salah gue. Bukan salah jilbab gue."

"Nggak nyadar juga, lo nggak pantas pakai pakaian sok alim begini kalau hati lo masih kotor, Wulan."

"Gue nggak mau men-judge diri gue nggak pantas. Tapi semua orang pantas mendapatkan kesempatan untuk berubah," ujarku mengatur napas yang mulai sesak setiap kali melihat tatapan merendahkannya padaku.

"Sekarang kata-kata lo juga mulai sok bijak, ya. Dasar. Otak konslet tiba-tiba berhijrah dan ngerasa pantas pakai beginian," katanya sambil menyentuh hijabku dan mengibaskannya seperti merasa jijik.

Rahangku mengeras. Leherku menegang, menahan gejolak amarah yang meluap-luap di kepala. Tapi aku harus tetap tenang. Pelajaran pertama yang harus aku tuntaskan adalah menerima dengan hati lapang semua terpaan pandangan miring orang-orang.

"Kata-kata lo benar-benar nggak bisa dijaga ya, Tisa. Itu mulut atau ladang hinaan? Fasih banget untuk merendahkan orang!" tukas Wina dengan nada geram.

Merasa tidak menemukan titik terang dari pembicaraan ini, aku memilih untuk mengakhirinya. Tidak mau berlarut-larut dalam permasalahan yang tidak ada untungnya sama sekali. Aku menghirup napas dalam-dalam, mengumpulkan segenap kekuatan, dan berucap, "Kalau selama ini ada perbuatan gue yang menyakiti hati lo, gue minta maaf, Tisa. Gue tahu, selama ini lo udah buka aib gue, cerita-cerita yang dulu gue bagi sama lo sebagai orang yang sangat gue percaya, kini lo beberkan ke anak-anak di kelas. Gue ngerasa kok, kalau itu berhasil membuat mereka mendiskriminan gue. Kalau itu membuat lo puas untuk membalas rasa sakit hati karena gue, lakuin aja.

"Gue sadar, ujian untuk sebuah kesabaran bukan kehilangan uang jajan, nilai jelek, atau hal-hal kecil lainnya. Tapi menghadapi seorang teman yang kini jadi bumerang untuk menghancurkan gue sedalam-dalamnya, karena lo pegang semua kartu As gue. Kita pernah sedekat itu Tisa, tapi bukan berarti karena masalah seperti ini lo merasa pantas menghina orang dengan kelemahannya. Nggak apa-apa nggak ada yang mau temanan sama gue, melirik remeh ke gue, tapi gue masih punya orang yang mau mengulurkan tangan untuk menerima semua kurang gue. Walau itu bukan lo lagi. Sahabat gue dulu."

Tanpa menunggu respons dari Tisa sama sekali, aku segera berbalik dan melangkah lebar meninggalkan ruangan itu diikuti Wina. Tak kudengar lagi Tisa berteriak atau mungkin ia hanya mengumpat pada Mitha.

Sudahlah. Hampir satu semester penuh kuhadapi sikap Tisa yang menyindirku secara halus atau terang-terangan dengan mendiamkanku. Ditambah kini dengan keadaanku, menjadi bahan baginya untuk menjatuhkanku lagi dan lagi. Membuat semua tatapan memandang hina ke arahku. Aku sangat-sangat merasakan hal itu. Demi menyelematkan hatiku, aku belajar mengabaikan pandangan orang.

Tapi satu yang aku pegang, aku akan buktikan padanya kalau ini adalah komitmenku. Aku tidak akan merubah pikiranku, sekalipun ia meneriakiku dengan rentetan dosa-dosa yang pernah kuperbuat di masa lalu, aku tidak peduli. Hal itulah yang harus aku rubah dan tidak mengulanginya dari sekarang.

Aku teringat pada sebuah tausiyah seorang ustadz yang kutonton di laptop temanku. "Ketika kita ingin berbuat baik, halangan langsung berdiri di depan kita. Saat itulah kita harus memilih: melawannya atau malah mengaku kalah?"

Aku mendesah berat. Merasakan mataku memanas karena air mata mencoba menunjukkan diri dengan berselancar ria di pipiku. Kadang aku berpikir untuk pergi, lari, dan tidak mau kembali. Tapi mau bagaimana? Sekuat apa pun aku menghindar, aku tetap harus ada di lingkaran ini. Pilihanku satu-satunya hanyalah: tabah.

💌💌💌

Jangan lupa klik link pada bio-ku untuk mendukung cerita Wulan di facebook. Terima kasih banyak .☺️☺️

Continue Reading

You'll Also Like

4.9M 267K 53
Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusaknya sejak 7 tahun lalu. Galenio Skyler hanyalah iblis ya...
15.5M 874K 28
- Devinisi jagain jodoh sendiri - "Gue kira jagain bocil biasa, eh ternyata jagain jodoh sendiri. Ternyata gini rasanya jagain jodoh sendiri, seru ju...
1.7M 80K 52
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _π‡πžπ₯𝐞𝐧𝐚 π€ππžπ₯𝐚𝐒𝐝𝐞
30.2M 1.6M 58
SUDAH TERSEDIA DI GRAMEDIA - (Penerbitan oleh Grasindo)- DIJADIKAN SERIES DI APLIKASI VIDIO ! My Nerd Girl Season 2 SUDAH TAYANG di VIDIO! https:...