40 HARI TANPA KAMU [Dilanjutk...

By DekaLika

475 88 7

Wulan Ayu Kencana sempat berpikir, jika mungkin memang tak ada kebahagiaan lagi di dalam hidupnya. Setelah se... More

Patah Hati
[1] Dunia Itu Kejam
[2] Stalking Mantan: Membunuh Perasaan
[3] Teman Jadi Musuh Mematikan
[5] Ujian Pertama
[6]Cara Allah Menguji Hambanya
[7] Bertemu Ayah
[8] Kejutan
[9] Kebetulan yang Menyenangkan
[10] Kebusukan Tisa
[11] Apa Harapan Itu Ada?
[12] Ujian atau Takdir Tuhan?
[13] Mimpi yang Nyata
[14] Pembicaraan Panjang
[15] Skandal
[16] Pembawa Acara
[17] Pembullyan Di Keramaian
[18] Semua yang Dia Tahu
[19] Dipanggil Ketua Jurusan
[20] Challenge 40 Hari
[21] Sebuah Catatan Tangan
[22] Hari-hari yang Berbeda
[23] Kak Raisa
[24] Pelajaran Pertama Untuk Berubah
[25] Ikhlas yang Sebenarnya
[26] Kekuatan Persahabatan

[4] Sakit Hati

34 6 1
By DekaLika

"Versi singkatnya dulu, ya. Nanti yang panjangnya aku bacain pas ijab kabul."

-Raditia Firmansyah-

💌💌💌

Sudah satu bulan belakangan aku sering melakukan aktivitas shalat malam. Berpuasa Senin dan Kamis, mengaji sebelum subuh, dan belajar setelahnya. Kalau masih mengantuk, aku biasanya langsung tidur saja sampai sejam sebelum jadwal kuliah. Katanya, tidur setelah subuh itu membuat kepala pusing. Mungkin karena kebiasaan, tidak tidur sehabis shalat malah aku sakit kepala. Selain itu tidur setelah Subuh itu bisa menutup pintu rezeki. Kalau kata nenekku, rezeki dipatok ayam. Apa gara-gara itu uang jajanku selalu sedikit, ya?

Tapi tentu saja bukan berarti aku menyerah pada kebiasaanku. Untuk beberapa kali, aku sudah mulai membiasakan belajar mandi setelah shalat subuh dan membaca buku, membuat tugas, atau melakukan aktivitas lain supaya tidak tergoda untuk rebahan di kasur. Pertama kali mandi setelah subuh membuatku mengigil bukan main. Sebab Bukittinggi masih tergolong kota yang memiliki suhu cukup dingin. Pagi-pagi saja suhu delapan belas derajat celcius.

Aku memutuskan untuk bermain gim dapur frenzy, gim masak memasak instan yang menyenangkan. Aku memainkannya nyaris setiap hari. Bosan memainkannya selama tiga puluh menit aku melihat sebuah chat WhatsApp.

[Mau dibacain?]

Tebak siapa yang mengirimiku pesan? Ya, laki-laki yang akhir-akhir ini sering menanyakan beberapa hal konyol seperti ini. Dia baru saja mengomentari status WhatApp-ku yang berisi tulisan, "Aku ingin kalau nikah nanti maharnya Surat Ar-Rahman". Aku tertawa kecil. Mau apa katanya?

[Boleh.]

Kulihat dia sedang merekam suara, lalu selang dua menit voice note tersebut kudengarkan. Eh? Ini beneran? Senyum tanpa alasan tercetak di bibirku. Suara merdu yang tiba-tiba menggetarkan hatiku. Ah, terkesan lebay, tapi aku terharu. Lalu terhenti entah pada surat ke berapa?

[Loh, kok pendek?]

[Versi singkatnya dulu, ya. Nanti yang panjangnya aku bacain pas ijab kabul.]

Kini senyumku berubah menjadi tawa cekikikan. Aku menghempaskan punggung di spring bed yang tidak begitu empuk.

[Boleh.]

[Beneran mau?]

[Ya, coba dulu sekarang. Aku mau denger.]

[Kalau setuju nanti pas ijab kabul.]

[Oke. Aku tunggu.]

Hah, apa? Oke? Kenapa aku bisa mengirimkan kalimat bodoh begitu?

[Loh, kenapa ditarik pesannya? Aku udah baca, loh.]

Aku membuang ponsel ke depan. Memelototkan mata, melihat lagi jika aku sedang tidak bermimpi sepagi ini. Kutatap lagi layar ponsel yang terjatuh tepat di pahaku.

[Nggak usah malu. Tunggu, ya. Aku bakal tepatin janji.]

Tidak. Tidak. Tidak. Tidak mungkin. Apa aku berhalusinasi? Aku menepuk kedua pipi, menyadarkan diri bila ini semua nyata. Aku mengatakan sedang menunggunya membacakan surat Ar-Rahman pada ijab kabul kami nanti?

💌💌💌

Ternyata pertengkaranku dengan Tisa kemarin sudah menyebar ke seluruh pemilik telinga di kelas. Kali pertama aku masuk, mata-mata mereka kembali tertuju padaku. Menatapku miris. Seperti, 'Wulan yang menyedihkan'.

Aku menepis semua tatapan tersebut dengan senyum manis sambil menyapa Wina dan Friska yang sibuk mengarahkan kamera ke depan wajah mereka. "Hai, guys. Ikutan, dong."

Sontak mereka menoleh. Aku melakukan rutinitas biasa setiap baru masuk kelas: meletakkan tas, mengeluarkan ponsel. Kemudian membiarkan diriku tersenyum lebar dan memandang ceria ke arah mereka. Tanpa ba-bi-bu, Friska langsung memotret wajah-wajah gembira kami.

Selama perkuliahan berlangsung, aku mendengar bisik-bisik yang serupa ucapan sengaja di sekitarku.

"Gue sih setuju, dia emang nggak pantas pakai begituan. Dulu serba pendek, sekarang tiba-tiba berubah."

"Sekarang milih sahabatan sama yang punya motor. Biar bisa dimanfaatin ngantar jemput dia ke kampus."

"Miris banget, ya. Nggak nyangka dia kek gitu kelakuannya. Sekarang nutupin masalah-masalahnya dengan pakaian serba dalam."

Aku menelan ludah pahit. Setiap ucapan itu kucoba abaikan. Aku sibuk melihat-lihat postingan di Instagram. Tidak ada yang menarik tapi aku terus mencoba terlihat sibuk dengan duniaku.

Akhirnya pelajaran Akuntansi Biaya bersama Bu Nini selesai juga. Tentu saja tidak lupa dia memberikan tugas kepada kami untuk mengerjakan soal latihan di halaman 232. Aku langsung menutup buku tanpa peduli apa dan bagaimana jenis soalnya. Dalam pikiranku, "sedia kopi untuk begadang".

"Mau makan dulu nggak, Lan?" tanya Wina. "Minas Si Om belakang gedung C aja, yuk. Udah lama nggak makan itu gue."

Aku menoleh menatap Wina sebentar sambil berdiri dan bersiap untuk keluar. Kelas sudah berangsur sepi. "Enggak, Win. Gue lagi puasa. Maaf, ya. Lo bungkus aja gimana? Makan di kost gue," tolakku, sambil menarik resleting tas, kemudian menyandangnya. Aku berdiri diikuti Wina, bersiap-siap keluar.

"Boleh, deh," sahut Wina langsung.

Selangkah aku melewati pintu, sesuatu yang keras menyandung kakiku hingga aku tersungkur ke lantai. Detik berikutnya gelak tawa menyembur di sepanjang lorong lantai dua gedung L. Aku mengusap-usap lutut yang pertama kali disambut oleh lantai. Kemudian terdengar teriakan panik Wina.

"Wulan. Sakit, nggak?"

Aku meringis kesakitan. Kutengadahkan kepala menatap seseorang yang sedang tertawa lepas di dekat pintu. Tisa dan teman-temannya menatapku sinis. Dadaku naik turun menahan gejolak amarah. Mataku mulai memanas, tapi sekuat tenaga aku menahan tangis. Ini sakit ... dan memalukan.

Kulihat Tisa menggeleng-gelengkan kepala sambil mengibaskan tangannya di depan wajah. "Dasar, Bego. Yuk pergi, Guys," katanya santai, kemudian berlalu bersama teman-temannya di sana. Tak ada yang mau membela ataupun membantu, sebab tak ada yang benar-benar berpihak padaku. Tisa termasuk murid terpintar di kelas. Untuk mendapatkan contekan tugas Akuntansi, apalagi yang berhubungan dengan angka, mereka berteman dengan Tisa. Dibanding aku dengan otak pas-pasan hasil menyontek juga, tak ada yang bisa diharapkan jia berteman denganku.

Wina berdecak keras, menatap kepergian Tisa dan teman-temannya. "Kenapa lo diam aja sih, Lan? Ini keterlaluan," protesnya kesal, dan membantuku berdiri.

Aku tersenyum kecil. Menepuk-nepuk rok dan bajuku yang kotor karena debu. Kulirik sekeliling dengan sudut mata. Beberapa pasang mata masih menatapku, sementara yang lainnya acuh tak acuh.

"Ya, udahlah. Gue nggak sampai mati juga 'kan kena sandung," sahutku pelan. Kami berjalan menyusuri tangga. Perlahan-lahan aku mengayunkan kaki sambil berpegangan ke lengan Wina.

"Jadi beli minas, nggak?" tanyaku mengalihkan pembicaraan saat kulihat wajah jengkelnya masih belum berkurang.

"Iya. Tapi kaki lo nggak apa-apa dibawa jalan?"

Aku menoleh dan tersenyum. "Iya, nggak apa-apa. Aman. Gini doang, mah," hiburku.

Terdengar Wina mendengus. "Iya, deh."

💌💌💌

Aku menelungkup di atas kasur. Kejadian tadi siang terus tengiang di kepalaku. Rasa malu yang kuterima tidak sesakit hatiku melihat sikap Tisa yang semakin hari kian tak menentu. Rasanya sulit menerima perubahan pada Tisa yang mengejutkanku. Yang tidak pernah aku lihat selama setahun lebih bersahabat dengannya. Aku sudah banyak membagi cerita dengannya. Dahulu di semester empat dia hanya mendiamkanku. Mulai jarang mampir ke kostku, hal yang dulu dilakukanya nyaris setiap hari. Namun di semester lima ini sikapnya semakin menjadi. Mulai dari kata-kata kasar yang dilontarkannya, sampai ke kejadian dia sengaja menyandungku di depan pintu.

Satu tetes air mata luruh di pipiku. "Kenapa semuanya jadi kek gini, Ya Allah. Aku salah apa? Padahal aku udah berusaha ngajak dia makan dan pulang bareng, tapi dia nolak terus." Aku menangisi diri. Mengingat-ingat di mana salahku.

Aku tidak suka ditolak berkali-kali. Itu sifatku. Jika dua, tiga kali aku ditolak maka aku tidak akan meminta lagi. Aku tahu, penolakan pertama itu bisa disebabkan karena spontan, segan, atau ragu. Yang kedua karena ada suatu alasan. Dan yang ketiga benar-benar tidak ingin. Dan Tisa sudah menolak ajakanku untuk pulang sebanyak tujuh kali. Siang itu dia sedang demam, dan aku menawarkan untuk istirahat di kosku sampai ibunya menjemput. Tapi dia bersikeras menyuruhku pergi lebih dulu. Karena tidak punya pilihan aku pulang bersama Wina. Kejadian itu di akhir semester empat.

Rasa sedih tentu ada. Apalagi tidak menyangka sifat Tisa berubah 180 derajat dari Tisa yang kukenal dulu: lembut dan tenang. Sekarang dia sinis dan pendendam. Membuka semua rahasia yang pernah kubagi dengannya ke anak-anak perempuan di kelas. Aku merasa didiskriminan, tetapi tidak punya pilihan selain diam dan menguatkan hatiku.

💌💌💌

Cerita ini seringan bulu.... Semoga sukaa. 😂😂

Continue Reading

You'll Also Like

15.5M 874K 28
- Devinisi jagain jodoh sendiri - "Gue kira jagain bocil biasa, eh ternyata jagain jodoh sendiri. Ternyata gini rasanya jagain jodoh sendiri, seru ju...
13M 1M 74
Dijodohkan dengan Most Wanted yang notabenenya ketua geng motor disekolah? - Jadilah pembaca yang bijak. Hargai karya penulis dengan Follow semua sos...
2.3M 249K 45
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...