WYLS | Park Sungjin

By HaniHanwoo

22K 2.3K 750

(Completed) Pertemuan kembali dengan seseorang yang dibenci di masa lalu, membawaku mengenal seseorang yang b... More

Cast
One
Two
Three
Four
Five
Six
Seven
Eight
Nine
Ten
Eleven
Twelve
Thirteen
Fourteen
Fifteen
Sungjin 1/2
Sungjin 2/2
Seventeen
Eighteen
Nineteen
Twenty
Brian
Twenty One
Twenty Two
Twenty three
Twenty Four
Twenty Four - Sweet Chaos
Twenty five
Hyunjin
Twenty Six
Twenty Seven - END
Sibling
Busan
Meet Me After Rain
The Wedding

Sixteen

581 77 40
By HaniHanwoo

'Machi heulleoganeun baramcheoreom
Neon yeongwonhi
Jabeuryeo haedo japijiga ana
Naui daseot songarak sairo
Ppajyeonaganeun neon
Heulleogagetji jeo eodironga meolli'
(Day6 - Like A Flowing Wind)

'Aku mencoba meraihmu, tapi aku tak bisa.'

Sudah berulang kali aku mengulang lagu dengan lirik sedih ini. Menatap ke luar jendela dengan menyandarkan kepala di atas meja, bunga-bunga di luar sana tengah bermekaran. Ini sudah masuk musim semi rupanya. Indah, setidaknya bisa sedikit menghibur hatiku yang masih gusar.

Aku tak pernah mengerti jika mencintai seseorang bisa begitu menyakitkan seperti ini. Sebenarnya siapa yang salah? Aku yang tak menjaga jarak dengan lelaki lain, atau ia yang tak kunjung menjawab perasaanku. Ah, bodoh! Bukankah aku sendiri yang bilang tak perlu mendengar jawabannya?

Tiba-tiba sosok Jae oppa berdiri di depan jendela sambil mengetuk beberapa kali. Ish, mengagetkan saja. Bisa-bisanya ia berdiri di sana padahal masih bisa masuk lewat pintu seperti manusia pada umumnya. Aku mematikan lagu dari laptop dan segera membuka jendela.

"Kenapa?" tanyaku.

"Kamu nggak denger? Dari tadi aku panggil sambil ketuk pintu." Jae oppa menyelinap masuk melalui celah jendela hingga akhirnya berdiri di dekat kursiku.

"Sorry."

Ia berkacak pinggang lantas memperhatikan seluruh ruangan. Memang sedikit berantakan karena aku malah terus-terusan bersedih sejak kemarin malam. Aku bahkan tak membuatkannya sarapan hari ini.

"How's our schedule?"

"Don't know," gumamku lalu kembali menyandarkan kepala di atas meja.

"Any calls?"

"I lost my phone."

"Again?" tanyanya tak percaya. Tak mungkin kubilang padanya kalau aku mengembalikan benda itu pada seseorang yang telah memberikannya.

Jae oppa langsung merogoh sesuatu dalam saku celananya. Ia mengeluarkan ponsel dan langsung melakukan sebuah panggilan. Ish, bisa gawat kalau sampai Sungjin oppa mengangkatnya.

"It's okay! I will buy it soon!" seruku sambil merebut ponselnya lalu mematikan panggilan itu.

Oh, tunggu. Ia tak sedang menghubungi nomorku?

"Aku lagi telepon Sungjin." Jae oppa mengambil kembali ponsel itu. "Brian bilang dia lagi sakit," tambahnya.

"Sakit?"

"Iya, padahal gak biasanya dia sakit." Jae oppa menghela napas sambil kembali meletakkan ponsel di telinganya.

Sakit? Sakit apa? Apa dia kelelahan? Ah, sudahlah. Untuk apa aku menghawatirkannya? Bukankah ia yang sudah membuatku menangis semalaman.

"Uh, Brian. Gimana?"

Oh, Brian oppa yang mengangkat panggilannya? Aku sedikit mendekat agar bisa menguping pembicaraan mereka. Bagaimana pun, ada setitik rasa penasaran tentang keadaan orang itu saat ini.

"Really?" tanya Jae oppa dengan nada tak percaya.

Ah, apa yang mereka bicarakan? Aku semakin penasaran!

"Oh, oke oke! Jieun? Ada. Dia ...." Jae oppa menoleh ke arahku, membuatku sedikit terkejut karena ia memergoki aku yang tengah menguping.

Aku tersenyum canggung lantas bergeser menjauh. Ia memasang wajah malas sambil menyerahkan ponselnya ke arahku.

"Halo," gumamku.

"Jieun-ah, aku butuh bantuanmu!" seru Brian oppa dari seberang sana.

"Kenapa?"

"Aku belum pernah rawat orang yang lagi sakit. Sungjin hyung juga belum makan dari kemarin malam."

Deg.

Hatiku sedikit merasa iba mendengarnya. Sungguh, ia yang begitu menyukai makanan bahkan belum makan apa pun dari kemarin?

"Kamu ... bisa datang ke sini?" tanyanya.

Aku menghela napas dan berpikir keras. Perkataannya tadi malam masih terngiang di kepalaku. Namun, aku tak bisa membiarkannya begitu saja dalam keadaan sakit seperti ini. Sesekali aku melirik Jae oppa yang tampaknya bertanya-tanya tentang apa yang sedang dibicarakan oleh Brian oppa.

"Jieun-ah ...."

"Oke, aku ke sana."

"Makasih, ya! Bye!"

Brian oppa menutup telepon. Aku langsung menyerahkan ponsel itu kembali ke pemiliknya.

"Kamu mau ke sana?" tanya Jae oppa.

Aku mengangguk lemah.

Ia tersenyum kecil. "Aku antar!" ujarnya sambil menepuk kepalaku.

Sungguh. Respon yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Aku tahu Jae oppa juga pasti tengah mengkhawatirkan leader-nya itu. Ia sama-sama tahu bagaimana rasanya sedang sakit dan jauh dari orang tua.

Kami berdua berangkat menggunakan mobil. Jae oppa sepertinya sudah hafal di luar kepala rute menuju ke rumah mereka. Tak lama kemudian, kami sampai di sebuah gedung apartemen tengah kota. Ini pertama kalinya aku datang ke tempat ini dan membuatku sedikit canggung. Terlebih lagi, aku akan bertemu dengan Sungjin oppa setelah tadi malam menangis di hadapannya.

Ugh!

Entah ekspresi seperti apa yang harus kutunjukkan nanti.

"Lewat sini!" seru Jae oppa sambil menarik kepalaku ke arah kanan di persimpangan koridor. Mungkin sedari tadi aku melamun.

Kami berdua berdiri di depan sebuah pintu. Jae oppa memencet bel beberapa kali hingga terdengar kunci dibuka dari dalam. Terlihat kepala Brian oppa menyembul sambil tersenyum.

"Masuklah!" ajaknya sambil membuka pintu lebih lebar.

Bagian dalam apartemen terlihat rapi dan nyaman. Jae oppa langsung duduk di sofa dan berulah seperti rumah sendiri. Sedangkan aku masih sedikit canggung dan melihat sekitar.

"Sungjin hyung masih tidur." Brian oppa berjalan menuju sebuah pintu dan membukanya.

Aku mendekat untuk melongok ke dalam walau rasanya sedikit tidak sopan. Di dalam sana, terlihat sosoknya yang tengah meringkuk dilapisi sebuah selimut berwarna putih. Jadi, ia benar-benar sakit?

"Aku liat kejadian semalam," gumam Brian oppa tiba-tiba.

"Oppa ... liat?"

Ia mengangguk. "Setelah kamu pergi, Sungjin hyung masih berdiri di sana hujan-hujanan, trus pulang basah kuyup. Biasanya dia gak pernah sakit," jelasnya.

Aku menghela napas dan kembali menoleh ke arah pria yang masih tertidur itu. Perlahan berjalan masuk, terlihat ponsel dan kado yang kuberikan terletak di atas nakas. Meski ragu, tanganku mencoba menyentuh tengkuknya sejenak.

Astaga! Suhu tubuhnya panas sekali. Ia demam.

Aku segera berlari menuju dapur dan menyiapkan air hangat walau sedikit kaku karena tak mengenali tempat dari barang-barang yang diperlukan. Setidaknya, mereka masih memiliki peralatan dapur pada umumnya.

"Kenapa?" tanya Brian oppa yang ternyata mengejarku.

"Dia demam. Aku nyiapin air kompres sama bikin bubur dulu."

"Aku bantu siapin."

Kami berdua menyiapkan kedua hal itu dengan cepat, dibantu Jae oppa yang menghampiri karena penasaran. Setelah membawa semuanya ke kamar Sungjin oppa, aku langsung membalikkan tubuhnya agar tidur terlentang. Wajahnya terlihat memerah dan tubuhnya sedikit menggigil.

"Oh, God! Sepertinya agak parah," gumam Jae oppa.

"Jieun-ah, ada lagi yang harus dibuat?" tanya Brian oppa.

"Nggak ada, Oppa tolong beliin obat aja!" ujarku sambil memerah sehelai kain dan meletakkannya di dahi Sungjin oppa.

"Hyung!" Brian oppa menoleh ke arah kakakku. Ia kemudian mengangguk dan mereka berdua pergi.

Aku kembali menatap Sungjin oppa lalu menaikkan selimutnya. Mengapa ia terus berdiri di tengah hujan setelah aku pergi? Mungkinkah ia menyesal karena telah mengatakan hal jahat kepadaku? Walaupun begitu, seharusnya ia tak menyakiti dirinya sendiri.

Melihat sekitar, kamarnya sungguh terlihat bersih. Atom dan Baba terpajang cantik di sudut ruangan, pun dengan sebuah meja berisi beberapa video game serta deretan vitamin yang mungkin selama ini ia minum.

Aku menggumamkan beberapa lagu untuk mengisi keheningan, sambil sesekali membasahi kompres yang mulai mengering. Entah kapan ia akan bangun, seharusnya sebelum bubur mulai dingin.

Lama-lama rasa kantuk mulai menyerang. Aku merosot duduk di lantai dan menyandarkan kepala di atas tempat tidur. Mengapa Brian oppa dan kakakku itu lama sekali? Apakah mereka membeli obat di Zimbabwe?

Jari-jari tangannya tepat berada di depan wajahku. Kulitnya sedikit terkelupas, mungkin karena terlalu sering memetik senar gitar, seperti Jae oppa. Aku menyentuhnya perlahan, telapak tangannya masih terasa panas sedangkan jari-jarinya mulai berkeringat.

Tangan ini pula yang membuatku jatuh cinta. Beberapa kali membuat hatiku berdebar dan jantungku rasanya berhenti. Ini akan menjadi bagian tubuh yang paling kusukai dari Park Sungjin, diikuti mata, juga punggung, dan suaranya.

Tiba-tiba tangannya menggenggam erat, membuatku sangat terkejut. Ia mengerang lantas beranjak sambil melepas kompresan di kepalanya.

"O-oppa ... udah bangun?" tanyaku pelan.

Ia mengusap rambut dengan tangan satunya sambil beberapa kali menggeleng. "Aku lapar," gumamnya.

"Ini ada bubur."

"Aaaa ...."

Apa ini? Maksudnya harus kusuapi? Walau bingung, aku segera mengambil mangkuk bubur di atas nakas dan menyuapkan sesendok ke arah mulutnya. Ia melahapnya cepat, pun dengan suapan-suapan berikutnya.

"Lapar banget, ya?" tanyaku.

"Belum makan dari kemarin."

Aku hanya menunduk dan mengambilkannya segelas air. Ia menenggaknya hingga tandas dan menaruhnya sendiri di atas nakas.

"Bajuku basah, mau ganti dulu," gumamnya sambil menyentuh sleeve berwarna putih yang mulai basah oleh keringat.

Ia beranjak, mengambil beberapa helai pakaian dari lemari lantas berjalan ke luar, meninggalkan aku yang masih terdiam di sini seperti orang bodoh. Sungguh, ia tak akan mengatakan apa pun untuk kejadian tadi malam? Mungkinkah hanya aku yang terlalu berlebihan?

Aku meraih kotak hadiah dariku dan membukanya. Hanya terdapat dua pick di sana. Entah ke mana perginya yang bertuliskan nama itu? Apakah ia membuangnya saking marahnya padaku? Ish.

Berbaring sambil membolak-balik kotak itu, aku bertanya-tanya mengapa ia tak membuang semuanya sekalian? Lalu, bagaimana perasaannya setelah mendapatkan benda ini?

"Berasa di rumah sendiri, huh?" tanyanya setelah tiba-tiba masuk ke dalam kamar dengan rambut depan yang basah.

Aku segera bangun dan menyimpan kotak itu kembali ke tempatnya. Ia kini telah berganti dengan sleeve berwarna hitam dan celana pendek, lalu mengambil Atom dan duduk di sampingku.

"Ini hadiah yang bagus, aku suka. Makasih, ya!" Sungjin oppa mengacungkan pick yang kucari tadi. Ternyata ia menyimpannya bersama Atom. Syukurlah tidak dibuang.

Aku hanya mengangguk sambil tersenyum kecil.

"Aku minta maaf," gumamnya pelan. "Kang Bra ngejelasin kalau kalian ketemu gak sengaja. Maaf aku udah salah paham."

"Ini salahku juga. Maaf udah bikin Oppa salah paham."

"Nggak, kamu gak salah apa-apa. Kamu beda sama Hyunjin. Jauh beda," ujarnya sambil tersenyum lalu memetik senar gitar, melagukan sebuah melodi.

'Amado geu jari-e gaji anhattdamyeon
Amado uri-ege urineun eobseottgettji
Sigani meomchwo beorindeuthan geu neukkim
Naegeneun neomani boyeosseo'

Ia mulai bernyanyi, entah lagu apa. Baru kali ini aku mendengarnya, namun sangat manis di telinga. Suaranya masih tetap bagus walau terkadang sesekali ia bersin. Entah mengapa, seberapa kesalnya aku, seolah-olah hilang begitu saja saat melihatnya sedekat ini. Ah, aku benar-benar sedang jatuh cinta.

Tiba-tiba Sungjin oppa menoleh dan tersenyum, lalu meletakkan Atom di sampingnya. "Gimana? Bagus?" tanyanya.

"Iya, manis. Lagu baru?"

"Manis, ya?" Sungjin oppa terkekeh kecil. Entah mengapa tingkahnya sedikit malu-malu, membuatku jadi canggung.

Atmosfer apa ini? Ugh, rasanya aneh sekali.

"Pernyataan sukamu waktu itu ... aku agak kaget."

"Maaf karena tiba-tiba. Aku ngerasa aku bakal nyesel aja kalau gak bilang," potongku cepat. "Tapi tenang aja, aku bisa liat Oppa senyum dan main musik di panggung aja udah cukup buatku."

Ia membelalakkan mata lalu tertawa kecil sambil mengusap rambutnya ke belakang. "Apa yang kamu suka? Bukannya dulu kamu yang semangat banget deketin aku sama Hyunjin?"

"Ng ... itu ...."

Duh, aku harus bilang apa? Aku bingung harus mengatakan alasan seperti apa yang membuatku menyukainya.

"Kamu gak ingin denger jawabanku?"

"Hah?"

"Jawaban pernyataan kamu itu, gak penasaran?" tanyanya lagi.

"Gimana?"

Sebenarnya, aku siap tidak siap untuk mendengarnya. Walau kubilang tidak butuh jawaban, tapi tetap saja ada rasa ingin tahu tentang apa yang akan dikatakan pria dihadapanku ini.

"Mau tau, kan?"

Aku mengangguk pelan, sedikit ragu.

"Sini!" ujarnya sambil melambaikan sebelah tangan.

Aku mendekat perlahan sambil mengarahkan telinga, mempersiapkan diri dengan apa yang hendak diucapkannya. Namun, tiba-tiba sebelah tangannya menyentuh wajahku agar menghadapnya tepat sebelum kejadian itu terjadi.

And ....

He kiss my lips.

Things that I never imagine.

I feel so many butterflies in my stomach.

Oh, God!

'I’m a man in a movie
When I kiss you
Like we’re stars in a movie, beautiful
I hope this moment continues
I’m a man in a movie
Since I have you
I don’t want anything else
This moment just feels perfect
I’m a man in a movie'
(Day6 - Man In A Movie)

***

"Mom, kalau orang demam senyum-senyum sendiri, is that normal?"

"Oh, come on! Aku harus bawa Jieun ke rumah sakit atau rumah sakit jiwa?"

"Gak tau, abis jenguk temen pulang-pulang dia kayak gini. Possessed? Really? I hate ghost!"

***
To be continue

Continue Reading

You'll Also Like

75.6K 3.3K 49
Almeera Azzahra Alfatunnisa Ghozali seorang dokter muda yang tiba-tiba bertemu jodohnya untuk pertama kali di klinik tempatnya bekerja. Latar belakan...
164K 15.6K 38
Tidak pandai buat deskripsi. Intinya ini cerita tentang Sunoo yang punya enam abang yang jahil. Tapi care banget, apalagi kalo si adek udah kenapa-ke...
314K 23.8K 108
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
1M 84.9K 29
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...