Twenty Four

437 56 20
                                    

Sungjin oppa memberhentikan motornya di suatu sudut saat kami tak sengaja melewati sungai Han dari jalan yang berbeda. Hanya ada beberapa orang yang tengah berjalan-jalan di sana. Mungkin karena sudah malam dan hampir memasuki musim dingin, hingga membuat orang-orang mengurangi aktifitas di luar rumah.

"Kenapa berhenti di sini?" tanyaku sambil turun.

"Kamu udah lama gak liat pemandangan di sini, kan? Siapa tau kangen." Ia ikut turun. Kami berdua kini bersandar pada motornya.

"Iya juga, sih. Sejak datang lagi ke sini, aku belum sempet ke mana-mana."

"Belum bikin artikel atau video lagi?" tanyanya.

Aku menggeleng.

"Trus, apa rencana kamu nanti?"

Aku menoleh ke arahnya yang ternyata sedang menatapku. Entah mengapa atmosfer di antara kami berdua menjadi lebih serius. Itu benar. Akan ada saatnya ia ingin tahu apa yang akan kulakukan, begitupun dengan diriku sendiri.

"Mungkin tetep lanjut jadi food reviewer, di Korea. Aku udah nyaman dengan kegiatanku yang sekarang. Ayah dan Ibu pun ngasih kesempatan setelah lihat Jae oppa bisa ada di atas panggung ngelakuin hal yang dia suka. Akhirnya mereka sadar kalau aku udah dewasa juga." Aku tersenyum sambil menunduk.

Tiba-tiba Sungjin oppa meraih tanganku dan menggenggamnya. Jari-jarinya terasa agak dingin dan tak mau diam, seperti kebiasaannya karena terlalu sering memetik gitar.

"Karena kamu udah dukung aku, dukung kami sampe bisa kayak gini sekarang. Aku juga bakal dukung kamu, apa pun itu," gumamnya.

Aku menatapnya sambil tersenyum. Entah mengapa, semakin lama aku mengenalnya, semakin dewasa pula sifatnya, semakin aku sangat menyukainya. Lalu, suasana hening hancur begitu saja saat perutku berbunyi keras sekali. Astaga.

"Kamu lapar?" tanyanya.

Tak menjawab, aku hanya menutup wajahku dengan tangan yang satunya. Ia lantas tertawa.

"Aku juga. Kita belom sempet makan malam, kan? Yuk!"

***

"Where should we start?" tanya Jae oppa sambil membetulkan kamera di hadapan kami.

"Yakin? Udah bilang manajer?"

Kakakku itu hanya membulatkan ibu jari dan telunjuk membentuk tanda OK. Ia lalu membenahi letak kacamata dan rambutnya yang berwarna kemerahan. Kami berdua sedang berada di sebuah restoran –yang katanya sedang ramai diperbincangkan– untuk merekam sebuah video pertama kali sejak aku kembali ke Korea.

Ada beberapa orang yang mengenali kami berdua, walau mereka hanya menyapa dan tak mengganggu sedikit pun. Itulah mengapa aku bertanya apakah Jae oppa sudah meminta izin manajer atau belum. Takutnya tiba-tiba saja ada berita aneh yang menyebar setelah kami membuat video ini.

Entah ada angin apa kakakku ini tiba-tiba saja ingin ikut dalam rekaman, padahal aku sama sekali tak mau menggunakan popularitasnya dalam pekerjaanku. Ia bilang sudah lama ingin membuat vlog, namun karena terlalu sibuk, ia tak sempat.

"Kita ngomong bahasa apa?" tanyanya.

"English, tapi berhubung lagi di Korea aku rasa gak apa-apa kalau campur."

"Got it!" Ia menepuk tangan dan bersiap.

Beberapa menu sudah terhidang di hadapan kami. Ketika biasanya aku melakukan semuanya sendiri, walau canggung, ternyata sangat menyenangkan bila ada orang yang menemani dalam pembuatan video seperti ini. Lebih tepatnya, kami bisa berbincang. Bukan monolog seperti biasanya.

WYLS | Park SungjinKde žijí příběhy. Začni objevovat