Nineteen

529 72 16
                                    

Aku berjalan sambil memasang earphone dan memainkan sebuah lagu. Sungjin oppa tak bisa mengantarku sampai ke rumah karena tiba-tiba saja Brian oppa menelepon dan membutuhkannya.

Malam sudah semakin larut dan jalanan begitu sepi. Aku melihat sebuah sepeda motor terparkir tak jauh dari rumahku. Entah milik siapa. Apakah ini motor baru milik tetangga? Meski sudah beberapa bulan kembali ke rumah, rasanya ada saja hal-hal baru yang kutemui.

"Oh!" seruku saat melihat seseorang yang sedang berdiri di depan pintu. "Dowoon-ah."

Ia tersenyum sambil melambaikan tangan. Sudah lama ia tak datang kemari selarut ini. Aku mempercepat langkah menghampirinya.

"Sendiri?" tanyaku.

Ia mengangguk. "Jae hyung ...," gumamnya ragu.

"Oppaku udah tidur. Yuk masuk! Mau main game?" ajakku sambil membuka pintu.

"Ah, nggak usah. Aku pulang aja." Ia menepuk pundakku beberapa kali dan hendak beranjak.

Aku segera menarik bagian belakang jaketnya hingga ia terhenti. "Mau ... cerita?"

Dowoon menghela napas lantas berbalik dan duduk di bangku teras sambil melihat ke arah langit hitam tanpa bintang. Aku duduk di sampingnya, melepas earphone dan membiarkan ia menikmati waktu heningnya sejenak.

Dowoon anak yang ceria. Ia tak pernah menunjukkan kesedihannya di depan orang lain. Sejak dulu, setiap ada hal yang dipikirkan, ia selalu datang dan bercerita padaku.

Aku masih ingat saat pertama kali ia pindah dari Busan dan belum memiliki teman. Banyak siswa yang mengejek satoori-nya karena terlalu kentara tiap kali ia berbicara. Kukira ia orang yang tak mudah didekati, setiap kali berinteraksi hanya senyum tipis yang terpancar di wajahnya. Tapi setelah mengenalnya lebih dekat, ia bisa sangat menyebalkan. Haha.

"Aku tadi ke rumah Sungjin hyung, tapi kayaknya mereka berdua lagi keluar," ujarnya memecah keheningan.

Oops! Aku jadi merasa sedikit bersalah karena Sungjin oppa baru saja pergi denganku, sedangkan Brian oppa entah pergi ke mana.

"Wonpil hyung udah tidur. Jae hyung juga ternyata." Ia tertawa kecil lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku.

"Kamu naik apa malam-malam gini?" tanyaku.

"Skuter."

"Sku--" Tiba-tiba saja aku teringat sepeda motor yang terparkir di depan tadi. "Ah, itu punya kamu ternyata."

Ia tertawa dengan nada suara rendahnya. "Aku ... takut dengan audisi besok," gumamnya pelan.

Aku menoleh, menatap sosoknya dari samping yang tak banyak berubah. "Kenapa?"

"Aku takut bikin kesalahan, sementara para Hyung udah bekerja keras selama ini. Mulai dari bikin lagu, sampai ngajarin aku nyanyi." Ia menunduk lantas tersenyum kecil. "Aku gak banyak bantu mereka."

"Kamu ingat waktu pertama kali manggung di festival sekolah?" tanyaku.

Dowoon mengerutkan alis lalu mengangguk.

"Aku gak tau udah rayu kamu berapa ribu kali buat ikutan. Jujur aku kaget waktu pertama kali liat skill main drum kamu," ujarku sambil tertawa kecil.

Kembali mengingat saat aku diminta membeli senar baru untuk Taylor dan mengajak Dowoon pergi ke toko alat musik bersama. Ia mencoba drum yang dipajang di sana dan memainkannya dengan lihai. Sungguh membuatku tak percaya.

"Oh, kamu teman pertama yang tahu aku bisa main drum! Aku masih ingat juga waktu kita sering ketemu di taman."

Kami tertawa keras. Saat jam makan siang kami tak pernah pergi ke kantin. Selalu bertemu di taman karena takut orang-orang mengejek kami. Ya, aku juga sering diejek karena memakai kacamata setebal pantat botol, tidak secantik siswi lain. Sejak saat itu kami sering berbincang dan menjadi teman, membuatku terbiasa dengan satoori Busan yang terdengar menggemaskan.

WYLS | Park SungjinWhere stories live. Discover now