WYLS | Park Sungjin

By HaniHanwoo

22K 2.3K 750

(Completed) Pertemuan kembali dengan seseorang yang dibenci di masa lalu, membawaku mengenal seseorang yang b... More

Cast
One
Two
Three
Four
Five
Six
Seven
Eight
Nine
Ten
Eleven
Thirteen
Fourteen
Fifteen
Sixteen
Sungjin 1/2
Sungjin 2/2
Seventeen
Eighteen
Nineteen
Twenty
Brian
Twenty One
Twenty Two
Twenty three
Twenty Four
Twenty Four - Sweet Chaos
Twenty five
Hyunjin
Twenty Six
Twenty Seven - END
Sibling
Busan
Meet Me After Rain
The Wedding

Twelve

518 76 8
By HaniHanwoo

Makan malam sudah selesai. Meja sudah kosong, hanya tersisa beberapa kaleng minuman saja. Api masih berkobar di depan sana, menghantarkan rasa hangat di balik angin malam yang dingin. Waktu sudah semakin larut, tapi kami masih berada di luar rumah, menyanyikan beberapa lagu hingga bosan.

"Ayo kita main truth or dare!" ajak Brian oppa tiba-tiba.

"Oh, oh! Ayo, ayo!" sahut Dowoon semangat. Sementara yang lain hanya manut saja.

"Kita putar botol." Brian oppa mengambil sebuah botol kosong dan meletakkannya di tengah meja. Dalam hitungan ketiga, ia memutar botol itu.

Hening. Tak ada yang bersuara, hingga ujung botol berhenti tepat di hadapan Wonpil oppa, semua bersorak. Wonpil oppa terlihat sedikit gugup.

"Truth or dare?" tanya Brian oppa.

"D-dare?" jawabnya ragu-ragu.

Brian oppa menoleh ke arahku. Apa itu artinya aku yang harus memberi tantangan?

"Aegyo!"

"Eiy, itu gampang banget!" protes yang lainnya. Sedangkan Wonpil oppa tampak senang dan langsung melakukan aegyo.

Brian oppa kembali memutar botol, hingga ujungnya berhenti dan menunjuk ke arah Jae oppa.

"Okay, truth!" seru Jae oppa.

"Ceritakan pengalaman memalukan." Wonpil oppa tersenyum jahil.

"Oh, aku punya banyak!" seruku sambil mengangkat tangan.

"Shut up, Park Jieun!" Jae oppa melemparku dengan sebuah tutup botol.

Ia tampak takut kalau aku benar-benar akan membongkar semua pengalaman memalukannya. Permainan jadi semakin menarik. Setiap orang lebih berhati-hati untuk memilih tantangan. Untungnya, aku belum pernah mendapat giliran satu kali pun.

"Akhirnya, Jieun," ujar Dowoon.

Aku terkejut dan langsung melihat ke arah ujung botol yang memang sedang mengarah kepadaku.

"Aku pilih ... dare."

"Confess," ujar Brian oppa.

"Huh?" Aku menatapnya dengan wajah sedikit bingung.

"Anggap aja di sini ada orang yang kamu sukai, trus tembak gitu," jelasnya.

Aku masih terdiam sambil menatap ke arahnya. Seharusnya ia tahu bahwa hal itu cukup sulit bagiku karena orang yang kusukai benar-benar sedang berada di sini. Aku tak akan mungkin bisa melakukannya.

"A-aku nggak bisa."

Ugh, aku tak bisa walau berpura-pura.

Meraih segelas air dan meneguknya hingga tandas, aku beranjak dari kursi. "Aku mau edit hasil foto tadi siang dulu," gumamku sambil berjalan masuk. Meninggalkan mereka yang mungkin saja menatapku dengan tatapan heran.

Aku masuk ke kamar, membuka laptop dan duduk menghadap meja kecil di sudut. Tadi siang, aku sempat memindahkan foto-foto itu kemari. Hanya perlu beberapa sentuhan agar lebih cantik, lalu mengunggahnya disertai biodata dari masing-masing member.

Di luar sana, mereka terdengar tertawa dengan keras. Mungkin kembali memulai permainan. Entah sampai kapan. Bahkan saat foto-foto ini rampung dan siap diunggah ke laman khusus yang sengaja kubuatkan untuk band.

Ah, tunggu! Aku lupa menanyakan informasi pribadi mereka. Sebaiknya dimulai dari siapa dulu? Mungkin lebih baik kakakku yang pertama karena aku hafal tentangnya di luar kepala.

"Nama ... Park Jaehyung," gumamku sambil mengetikkan beberapa baris informasi ke bawah seperti tempat tanggal lahir dan golongan darah.

Lalu, siapa lagi? Ah, Sungjin oppa ... tapi aku bahkan tidak tahu kapan tanggal lahirnya.

"Enam belas Januari," ujar seseorang yang berdiri tepat di belakangku.

Aku menoleh dan mendapati Sungjin oppa sedang berdiri di sana sambil mengerutkan alis dan menatap ke arah monitor.

"Udahan mainnya?" tanyaku.

"Iya, barusan abis beresin sampah di luar mereka pindah masuk ke studio." Sungjin oppa meraih kursi lain dan duduk tepat di sampingku.

"Oppa bisa bantu aku isi ini, 'kan?"

"Gampang."

Aku tersenyum kecil dan mulai kembali mengetik, ditemani instruksi dari Sungjin oppa untuk mengisi data mereka. Satu per satu mulai selesai. Ia memang seorang leader yang sangat perhatian pada membernya. Buktinya ia hafal segala hal kecil tentang mereka. Tak terkecuali.

Aku mencantumkan nomor kontak di sudut kiri bawah. Mungkin saja setelah ini akan ada label rekaman yang menghubungi untuk menaungi mereka. Setidaknya mereka tak perlu lagi bersusah payah mencari tempat dan mengeluarkan uang sendiri hanya untuk merekam lagu.

Selesai mengunggah, membuat tubuhku rasanya sedikit pegal. Namun, Sungjin oppa tak kunjung bersuara sejak tadi. Ah, ternyata ia tengah tertidur. Pria itu menjadikan lengan sebagai bantal. Mungkin ia sudah terlalu lelah hari ini.

Menutup laptop, aku menyandarkan kepala di atas meja dengan lengan sebagai bantal, menghadap Sungjin oppa. Kalau dilihat sedekat ini, apalagi sedang tertidur, wajahnya terlihat seperti anak kecil.

....
....

Mengapa aku bisa sangat menyukaimu, Park Sungjin? Aku juga tidak tahu. Aku tak menyangka bisa jatuh cinta lagi setelah sekian lama.

"Andai aku bisa bilang ... kalau aku suka kamu," gumamku pelan. Amat pelan, hampir berbisik.

"Izinin aku buat liat kamu terus kayak gini, sampai aku lelah dan tertidur."

Ya, karena mungkin saja, esok aku akan menyerah dan berhenti menyukaimu.

***

Suara ponsel yang bergetar membuatku tersentak dan terbangun. Masih setengah sadar, aku meraih kacamata dan melihat penyebab getarannya. Damn alarm!

Sudah jam tujuh pagi. Ternyata semalaman aku tertidur di atas kursi, sedangkan Sungjin oppa entah ke mana. Mengapa ia tak membangunkanku? Apakah aku benar-benar menatap wajahnya sampai tertidur? Lalu, selimut ini .... Ah, sudahlah.

Aku beranjak mencuci muka dan melihat ruang yang tamu kosong. Sebenarnya mereka pergi ke mana? Mungkinkah aku ditinggalkan sendirian di rumah ini? Kalau benar, sungguh teganya mereka.

Membuka pintu studio, kudapati mereka sedang tertidur dengan posisi acak, kecuali Sungjin oppa. Dowoon bahkan memeluk stick drum-nya dan Brian oppa menjadikan beberapa lembar kertas sebagai alas kepala.

Aku menghela napas, beralih ke arah dapur lalu menemukan sesuatu di atas meja makan. Sebuah piring besar berisi kimchibokkeumbap yang masih hangat. Apa Sungjin oppa yang membuatnya? Tapi aku tak melihat peralatan bekas memasak di atas wastafel. Ah, benar juga, ia kan memang orang yang bersih.

"Pagi, Jieun-ah."

Aku menoleh dan melihat Wonpil oppa keluar studio sambil merentangkan tangan dan menguap.

"Pagi, Oppa."

"Kamu udah masak? Aku bangunin yang lain dulu kalau gitu." Ia berbalik dan kembali masuk ke dalam studio.

Tak lama kemudian, mereka benar-benar keluar dan mencuci wajah bergantian. Baru tadi malam aku memuji visual mereka lewat hasil pemotretan, kini kembali disuguhkan pemandangan rambut acak-acakan dan mata yang setengah mengantuk. Dasar oppa-oppa ini.

"Uwah, kimchibokkeumbab!" seru Brian oppa yang langsung duduk di meja makan dan mengambil sumpit.

Aku mengambil piring kecil dan membagikannya, juga mengambil side dish seperti rumput laut dan acar lobak dari dalam kulkas.

"Kok rasanya kayak buatan Sungjin hyung?" gumam Brian oppa.

"Kayaknya emang Sungjin oppa yang masak."

"Ke mana orangnya?" tanya Jae oppa.

"Barusan aku liat dia lagi sepedahan." Dowoon menunjuk ke luar jendela, lantas duduk di kursinya.

Mereka kemudian berbincang mengenai sebuah lagu yang baru saja mereka susun tadi malam. Aku hanya duduk terdiam sambil menghabiskan makananku.

"Bass Hyung yang itu, beli di mana?" tanya Wonpil.

"Di pusat kota," jawab Brian oppa.

Bass yang mana? Apakah ia sudah membeli bass baru?

"Sungjin hyung juga punya gitar baru, apa aku beli lagi, ya? Tapi sayang banget sama Cindy."

"Waktu pertama liat Goldie, aku langsung suka, sih! Apalagi sama orang yang kirim fotonya."

Goldie? Mungkinkah bass berwarna emas yang aku fotokan waktu itu?

Uhuk!

"Foto? Emang siapa yang fotoin? Liat, dong!" Wonpil oppa melirik ke sana kemari, seperti tengah mencari sesuatu.

"Eiy! Gak boleh! Aku lagi deketin dia soalnya."

"Really? You have a crush? Tumben." tanya Jae oppa.

"Ciyee!" seru Dowoon ikut-ikutan.

Apa-apaan mereka ini? Tumben? Bukankah sudah biasa Brian oppa dekat dengan banyak perempuan? Aku melirik ia yang masih diejek teman-temannya. Tiba-tiba ia menoleh ke arahku sambil tersenyum. Kami bertemu pandang, hal itu membuatku mengingat ungkapan perasaannya beberapa hari lalu. Mungkinkah ia benar-benar menyukaiku?

Ah, tidak, tidak! Sebaiknya aku melanjutkan pencarian tentang lokasi busking atau audisi band di kamar.

Berbaring di atas tempat tidur sambil mengusap layar ponsel ke atas dan ke bawah, aku menemukan beberapa tempat yang cocok. Oh, sepertinya busking di universitas ternama bagus juga. Para mahasiswa akan menyukai warna musik oppadeul. Aku harus mengurus perizinannya dulu dan mencari seseorang yang bisa dihubungi.

"Jieun-ah, mau ikut berenang, gak?" tanya Dowoon yang tiba-tiba saja sudah berdiri di ambang pintu.

"Kalian mau berenang?"

Dowoon mengangguk.

"Ikut!" seruku, sambil beranjak dari tempat tidur dan menyambar Kuma yang terduduk di atas meja.

"Kamu udah bisa berenang?" tanya Dowoon. Kami berdua berjalan di belakang para oppa yang sudah berjalan duluan.

"Belum."

"Kukira kamu di L.A belajar berenang juga."

"Never!"

"Trus ngapain sekarang minta ikut?"

"Aku takut sendirian di rumah Wonpil oppa."

"Ngaco."

Aku tertawa, begitu pun dengan Dowoon. Ia tahu aku tak bisa berenang sejak sekolah dan selalu tak masuk saat ada pelajaran olahraga yang satu itu.

Sebenarnya, hal itu karena pengalamanku saat kecil dulu. Ketika bermain dengan Jae oppa, aku sempat kabur dari pengawasannya dan hampir tenggelam di danau saat kami berpiknik sekeluarga. Akibatnya, ia dimarahi oleh Ibu dan Ayah habis-habisan. Mungkin karena itu pula, ia kini lebih protektif terhadapku.

"Aku tunggu di sini aja," gumamku sambil duduk di atas pasir.

Sementara Dowoon menghampiri oppa yang lain untuk mulai masuk ke dalam air. Mereka tertawa seolah-olah sudah lama tak berjumpa dengan laut. Bagaimana pun, wangi laut memang mendatangkan ketenangan dengan cara yang berbeda. Oleh sebab itu, aku sangat menyukainya.

Tiba-tiba kulihat seseorang yang mengenakan topi dan mengendarai sepeda berhenti di hadapan mereka. Itu Sungjin oppa. Ia benar-benar bersepeda sejak pagi, huh?

Mereka mengobrol sejenak, kemudian ia kembali mengayuh sepedanya melewatiku. Sekilas, terlihat sebuah senyum terkembang di wajahnya saat melihat ke arahku. Aku bahkan tak berani untuk mengartikan senyuman itu. Sepertinya, memang aku harus menyerah. Iya kan, Kuma?

Beruang cokelat itu terus terdiam. Oh, ayolah, jangan menatapku seperti itu. Sampai kapan pun Sungjin oppa hanya akan menganggapku sebagai teman, atau mungkin adik temannya. Setidaknya, aku masih memilikimu di sisiku.

Aku mendudukkan Kuma di pasir tepat di sampingku, lalu kembali memperhatikan orang-orang yang berada di pantai ini. Wonpil oppa terlihat naik ke punggung Jae oppa. Mereka semua tertawa. Syukurlah, kakakku itu menemukan teman yang benar-benar baik.

Tanganku meraba Kuma, tapi tak kutemukan ia di tempatnya. Hanya ada pasir yang basah dan menempel di tangan. Tunggu! Ke mana dia? Aku beranjak dan mencari di sekitarku, namun tetap tak ada.

Astaga! Ombak membawanya beberapa meter di depan sana. Tanpa pikir panjang, aku segera berlari menapaki pasir untuk meraih Kuma kembali sebelum ia hanyut terlalu jauh. Tiba-tiba saja, pasir yang kuinjak melesak ke dalam dan membuatku kehilangan keseimbangan. Seluruh tubuhku masuk ke dalam air. Kacamataku terlepas entah ke mana.

"Kuma ... uhuk!"

Bodoh! Seharusnya aku tak mengatakan apapun dan membuat air asin ini masuk ke dalam kerongkongan. Kakiku masih berusaha untuk berdiri, tapi ternyata tak semudah yang kukira. Rasanya semua pergerakan ini malah membuatku berada semakin jauh dari tepi pantai.

Tolong!

Siapa pun tolong aku!

Kakiku sudah tak sanggup lagi bergerak. Keram. Entah sudah berapa banyak air yang masuk ke hidungku saat ini.

Mom, Dad, maafkan aku.

Jae oppa, tolong nanti jangan menangis.

Gelap.

.
.
.
.
.

"Eun ...."

"Park Jieun ...."

"Park Jieun! Sadarlah!"

Aku terbatuk dan memuntahkan air. Pandanganku buram, tapi masih bisa mendengar suara-suara yang menyebut namaku entah siapa. Rasanya lelah sekali. Sebuah tangan menarikku bangun hingga bersandar di punggung seseorang. Ia berlari membawaku di punggungnya, tak lama kemudian tubuhku dibaringkan di atas tempat tidur.

Tiba-tiba saja, aku kembali mengantuk.

***

Aku membuka mata perlahan, sinar lampu di atas sana sedikit menyilaukan. Entah sudah berapa lama aku tertidur dan tubuhku rasanya masih lemah.

"Jieun-ah, kamu udah bangun?" tanya seseorang. Suaranya seperti Wonpil oppa.

"Oppa ...," panggilku pelan sambil mencoba bangun.

"Eoh! Tiduran aja dulu. Gimana? Udah enakan?"

"Tadi aku kenapa, ya?"

"Kamu tenggelam, tapi untungnya cepet ditolong."

"Oppa yang nolong?"

"Aku gak bisa berenang."

"Rumah di pantai tapi gak bisa berenang."

"Ehem!" Wonpil oppa berdeham sangat keras.

"Maaf," gumamku pelan. "Jam berapa sekarang?"

"Ini sudah masuk waktu makan malam."

"Makan malam?"

Selama itukah aku tertidur? Aku merogoh saku celana untuk mengambil ponsel, tapi ternyata baju yang kukenakan sudah berbeda.

"Bajuku ...."

"Digantiin sama Bibi tetangga. Dia juga masakin sup ini buat kamu makan. Handphone kamu mati."

Aku menghela napas. Setidaknya bukan para oppa yang menggantikan bajuku.

"Jae oppa?"

"Ada di luar. Dia takut nanti malah marahin kamu. Lagian suasana juga lagi panas."

"Panas kenapa?"

"Nanti juga kamu tahu. Ayo makan dulu!"

"Oppa yang suapin?"

"Makan sendirilah, kan udah gede."

Ish. Wonpil oppa ini, wajahnya saja yang imut. Aslinya ternyata galak juga. Jadi, sebenarnya ada apa? Apa aku melewatkan sesuatu?

To be continue

Continue Reading

You'll Also Like

824K 87.2K 58
Menceritakan tentang kehidupan 7 Dokter yang bekerja di rumah sakit besar 'Kasih Setia', mulai dari pekerjaan, persahabatan, keluarga, dan hubungan p...
329K 27.3K 39
"I think ... I like you." - Kathrina. "You make me hate you the most." - Gita. Pernahkah kalian membayangkan kehidupan kalian yang mulanya sederhana...
49K 3.5K 50
"Jika ada yang harus berkorban dalam cinta ini, maka itu cintaku yang bertepuk sebelah tangan" - Dziya Idzes "Sekat-sekat ruang yang tertutup layakn...
179K 15.2K 26
Ernest Lancer adalah seorang pemuda kuliah yang bertransmigrasi ke tubuh seorang remaja laki-laki bernama Sylvester Dimitri yang diabaikan oleh kelua...