Why Don't We? [alternative ve...

By protagonistark

2.5K 128 170

Devonna Lawrance, perempuan cerdas yang sangat-sangat malas untuk bersekolah, dipaksa ayahnya untuk memasuki... More

Halo semua kembali lagi
Babak Satu: Devonna Irvine Lawrance dan Kemalangannya
Babak Dua: Nama dia Joey Alexander
Babak Dua: Devonna dan Joey
Babak Dua: Pekerjaan Pertama
Babak Dua: Kau Berhak Dicintai
Babak Dua: Rasa Sakit
Babak Dua: Lagi
Babak Dua: Dua Dunia Berbeda
Babak Dua: Sakit
Babak Dua: Pintu masuk ke masa lalu
Babak Dua: Tak Terduga
Babak Dua: Amarah
Babak Dua: Sebuah Permintaan
Babak Dua: Freedy dan permohonannya
Babak Dua: Langkah mundur yang berarti banyak
Babak Dua: Kamping
Babak Dua: Joey Alexander dan Devonna Lawrance
Babak Dua: Permintaan Maaf
Babak Dua: Prasangka
Babak Dua: Perasaan
Babak Dua: Perlombaan.
Babak Dua: Semua orang takut akan hal yang tak mereka tahu.
Babak Dua: Sebuah undangan
Babak Dua: Jamuan Makan Malam
Babak Dua: Mimpi buruk yang menyelinap kembali
Babak Dua: Perjanjian
Babak Dua: Menjauh untuk mendekatkan suatu hal
Babak Dua: Montana
Babak Dua: Motel
Babak Dua: Put A Little Love On Devonna. (1)
Babak Dua: Put A Little Love On Devonna (2)
Babak Dua: Kembali
Babak Dua: Khawatir
Babak Dua: Tak terduga
Babak Dua: Apa yang kau lihat?
Babak Dua: Guardian Shoes
Babak Dua: Keluarga baru
Babak Dua: Bond
Babak Dua: Bertambah
Babak Dua: Sebuah rencana
Babak Dua: Bantuan
Babak Dua: Untuk terakhir kalinya
Babak Dua: Rahasia yang terkuak
Babak Dua: Sebuah Kunjungan
Babak Dua: Kabar di tengah malam
Babak Dua: Pada akhirnya
Babak Tiga: For better, {not} for worse

Babak Dua: Hampir saja

56 3 2
By protagonistark

Bekerja bukanlah sesuatu yang menyenangkan, itu melelahkan, menguras energi kehidupanmu dan seluruh kesenangan dalam hidupmu, ditambah dengan bersekolah, semuanya menjadi kuadrat. Tetapi setidaknya tempat di mana aku bekerja tidak menambahkan begitu banyak stress ataupun sesuatu yang tidak baik bagi kesehatan fisik serta mentalku. Bekerja dengan Tyler merupakan sebuah anugerah yang aku bisa dapatkan dengan satu kocokan dadu di atas meja judi bernama hidup.

Hari ini aku sekolah seperti biasa. Tyler mengetahui bahwa kemarin aku membolos seharian demi mendapatkan pekerjaan, jadi dia memberikan aku shift malam untuk melaksanakan pekerjaanku agar tak menganggu kegiatan sekolahku. Dia bahkan membiarkan diriku untuk membawa tugas sekolah jika itu memang diperlukan. Kini aku sedang berada di dalam kelas memperhatikan guru menjelaskan materi, sesuatu yang bahkan sangat baru untukku karena aku sangat mudah sekali untuk teralih pikirannya.

Ngomong-ngomong tentang itu juga, aku telah mengembalikan sepeda yang aku pinjam. Aku mendengar kabar bahwa anak lelaki sekolah ini sangat kesal sepedanya menghilang. Jadi aku tinggalkan sepeda itu kembali tempatnya dengan note kecil permintaan maaf serta selembar uang sepuluh dolar.

"Apa ada yang ingin mencoba mengerjakan soal di depan?" Tanya guru itu berdiri seakan memberikan para siswa kesempatan untuk maju, tetapi jangan terlalu berharap kepada manusia yang bahkan pikirannya sudah tidak ada di sini.

"Kenapa tidak kau saja, Ol?" Tanyaku kepada Olivia yang sibuk menulis di bukunya.

"Kau pikir apa alasan aku tidak memperhatikan pelajaran Kimia yang ada di depan selain aku tidak menyukainya?" Balas Olivia sedikit kesal dan memperlihatkan dengan jelas dia sedang menggambar di halaman belakang bukunya yang sudah dipenuhi dengan coretan.

"Tidak ada yang mau?" tanya guru kami kembali dan dia berjalan menuju mejanya. Membuka sebuah map biru muda berisi kertas absensi kelas ini. "Jika kalian bisa, kalian akan mendapatkan nilai tambah unutk ulangan semester kalian." Jelasnya kembali dan melihat kami semua.

Aku melihat seluruh anak-anak kelas yang tampak tidak tertarik dengan tawaran itu. Semuanya tampak terdiam seperti patung yang melumut dan terkikis oleh waktu, mereka bahkan tidak berusaha untuk sekali saja mencoba, maksudku sesuatu yang ditawarkan oleh guru itu hanya kesempatan sekali seumur hidup. Aku menarik nafas panjang dan mengangkat tanganku ke atas.

"Kau ingin mengerjakan soalnya?" Tanya dia. Aku mengangguk dan dia tersenyum. "Majulah."

Aku bangkit berdiri dari kursi dan berjalan melewati beberapa meja. Guru itu mengarahkan spidol hitam yang sebelumnya ia gunakan untuk menerangkan segala kerumitan di papan tulis ini.

"Jika aku salah, apa tawaran itu tetap ada?" tanyaku.

"Tentu, walaupun akan ku berikan setengah dari tawaranku." Jelasnya.

Aku mengangguk dan mengalihkan pandanganku ke arah papan tulis. Membaca soal itu dengan teliti sebagai bagian dari akting dan untuk memperpanjang waktu. Tentu aku sudah menghafal degan cermat setiap angka dan apapun kekacauan yang ada di soal itu di luar kepalaku—bahkan aku sudah mendapatkan cara menjawab soal ini.

Aku mulai menulis jawaban dari soal tersebut, sesuai dengan pemikiran yang ada di otakku. Aku dapat merasakan bahwa guru kami sedang melihatku. Aku sengaja berbuat kesalahan-kesalahan kecil agar dia tidak curiga dan lagi-agi ini adalah bagian dari memperpanjang waktu.

"Menarik kau mengerjakannya dengan cara ini." lirih guruku yang kini berada di belakangku.

"Aku mempelajarinya dari intenet. Menurutku ini cocok daripada menggunakan cara panjang yang lama." Balasku dan jelas-jelas itu bohong. Aku beberapa kali menyusup ke perpustakaan kampus atau universitas, membaca tesis mahasiswa atau sekedar untuk menikmati wi-fi yang super kencang dan kemudian di akhir hari, aku akan dikejar-kejar oleh petugas keamaan ketika mengetahui bahwa aku bukan mahasiswi kampus. "Baiklah selesai." Jelasku memutar tubuhku ke arahnya.

"Miss Lawrance." Suara seseorang dari pintu kelas dan kami semua langsung memusatkan perhatian kami kepada orang yang mempunyai suara itu. "Bisa kau ikut aku ke kantor, sekarang?" Tanya kepala sekolahku.

"Tentu." Balasku lalu memberikan spidol hitam itu kembali kepada guruku.

Aku berjalan mengikuti kepala sekolahku menuju ruangannya. Ketika ia membuka pintu ruangannya, terdapat ayahku dan juga satu guru yang duduk di sana. Ayah menoleh ke arahku dengan tatapan mata kecewa dan kesal. Kepala sekolah mempersilahkan aku untuk duduk di sebelah ayahku, tetapi aku lebih merasa nyaman untuk duduk di sebelah guru yang tak aku kenal itu.

"Baiklah, semuanya sudah ada di sini. Saya persilahkan kalian untuk saling berunding satu sama lain dan selesaikan permasalahannya." Jelas kepala sekolahku yang duduk di bangkunya dengan jemari tangannya yang saling merekat satu sama lain.

Aku dapat melihat bahwa kepala sekolahku mengalami hari yang buruk dengan hadirnya kedua orang di depannya ini dan terlebih ketika salah satunya adalah ayahku, aku merasa mengerti apa penderitaannya.

"Nona Lawrance di sebelahku ini, membolos pelajaranku kemarin. Dia sudah membolos beberapa pelajaran dan tindakan itu untuk murid baru sangat tidak terhormat." Ucap guruku dengan begitu tegas dan rasanya dia benar-benar mengeluarkan amarahnya.

"Itu tidak benar." Jelasku sambil mengeritkan dahiku dan melihat guruku. "Pertama aku minta maaf karena aku tidak ikut pelajaranmu, tetapi dengan segala hormat... aku membolos karena urusan mendesak. Urursan perutku, itu lebih mendesak." Lirihku sambil tersenyum.

"Devonna, really?" Tegas ayah mendelik ke arahku dan aku langsung terdiam. Bukan karena takut, hanya malas saja berdebat dengan dia dan melantukan ayat suci tentang harfiah kehidupan. "Sekali lagi saya ingin minta maaf karena perbuatan anak saya."

"Sekolah ini tidak butuh pembuat onar lagi setelah lelaki itu." Jelas guru di sampingku dan aku hanya memikirkan satu orang saja di kepalaku ketika mendengar dia mengatakan itu. "Kau bisa bertidak sekarang untuk melakukan sesuatu, dia bisa menjadi contoh buruk untuk seluruh murid di sini."

Aku menaikkan kedua alisku dan melihat ayahku. "Apa aku akan dikeluarkan?" Tanyaku melihat kepala sekolahku yang masih terlihat pasrah dengan keadaan. Aku beralih melihat ayahku. "Ayah, jika aku dikeluarkan dari sekolah ini maka aku dengan senang hati menerimanya."

"Tidak ada yang akan dikeluarkan dari sekolah ini, Nona Lawrance." Jelas kepala sekolah. Dia menghela nafas panjang dan menarik bangkunya mendekati meja. Kepala sekolahku mengusap-ngusap alis tebal hitamnya dan melihatku. "Nona Lawrance, saya percaya kau adalah siswi yang baik dan saya mengerti mengapa kau melakukan ini—pemberontakan? Tindakan remaja pada umumnya di usiamu dan itu bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Aku tahu kau sedang berusaha untuk lari dari sekolah ini dan jika kau khawatir, maka tenanglah... aku tidak akan membiarkan itu. Kau adalah permata bagi sekolah ini dan tidak ada seseorangpun yang ingin kehilangan sebuah permata."

"Well, Kim Kardashian kehilangan permatanya." Lirihku mengeluarkan referensi kultur pop selebritas.

"Devonna... ." Ayahku membentak tetapi dengan pelan dan nada yang penuh dengan kekecewaan. "Maafkan Devonna." Ucapnya sambil melihat kepala sekolahku.

"Jujur, Tuan Lawrance... tidak masalah. Saya juga mempunyai seorang anak dan sifatnya tidak jauh berbeda dengan Devonna." Kepala sekolah menoleh kearahku dengan senyuman. "Hanya saja Devonna masih mempunyai sesuatu yang masih bisa kau banggakan dan kau harus bersyukur karena Devonna adalah hadiah yang begitu sempurna dan sangat diinginkan oleh semua orang tua di dunia ini. Itu juga berlaku sama untukmu, Devonna Lawrance."

Aku melihat ayahku dan kini kami saling bertatapan beberapa saat sebelum dia berpaling dan aku masih tetap bertahan untuk memandangnya. Aku melihat kekecewaan yang terapung di atas permukaan mata biru sebening warna lautan itu. Aku menarik nafas panjang dan merundukkan kepalaku.

"So what??? Nona Lawrance, mungkin jenius tetapi dia tetap harus mendapatkan hukuman." Jelas guruku.

"Ronan, aku tahu kau sangat ingin mengajar Nona Lawrance dan kecewa ketika dia tidak datang di kelasmu. Tetapi datang ke sekolah ini bukanlah pilihan Nona Lawrance, dia di sini atas kemauan ayahnya. Dia masih dalam keadaan menentang semua ini dan berilah kelonggaran kepada dia untuk beradaptasi dan bersatu dengan lingkungan sekolah." Jelas Kepala Sekolahku. "Nona Lawrance." Panggilnya.

"Ya?" Aku mengangkat kepalaku.

"Kau bisa membolos sesukamu, masuk kelas sesukamu, dan melantur ke sana ataupun ke sini sesuka hatimu. Tapi satu hal yang harus kau ingat... kami tak akan melepaskanmu. Karena aku tahu kemampuanmu. Kau mungkin tak ikuti pelajaran hari ini, tetapi esok... kau masij bisa menjawab soal dari materi pelajaran yang tertinggal. Ini terbukti dari kartu laporan nilai akhirmu. Kau sering membolos di SMP dan bahkan di laporan homeschooling ini." Dia melihat kartu laporan pelajaranku yang ada di atas mejanya. "Kau terkadang membatalkan pemberian materi, tetapi nilaimu? Semuanya hampir sempurna. Bahkan aku yakin... kau seharusnya dapat nilai yang benar-benar sempurna, kau hanya tak ingin terlalu terlihat."

"Kesempurnaan hanya milik Sang Pencipta. Itu murni kesalahan." Jelasku merendah

"Well, kau mahluk ciptaannya. Maka tidak ada salahnya kau sama sempurnanya seperti Tuhan yang menciptakan dirimu." Jelasnya dengan senyuman.

Aku mengangguk perlahan dan menarik nafas panjang sebelum melihat kepala sekolah, ayah, dan guruku bergantian. "Aku ingin meminta maaf atas kejadian ini. Yang dikatakan Mrs. Ronan sangat benar, aku tak bersikap professional dan aku minta maaf kepadamu Tuan Evenmore —aku telah banyak mengecewakanmu. Aku akan berusaha untuk lebih baik lagi dan aku siap menerima hukumannya walau ya... sebenanrya tidak terlalu."

"Okay, baiklah." Ucap kepala sekolah dengan nada semangat dan gembira. Dia menarik laci di bawah mejanya dan aku dapat merasakan di atas kulitku bahwa dia akan mengeluarkan sesuatu yang buruk. Mungkin sebuah pistol untuk di arahkan ke arahku, karena 'selamat Devonna, kau telah mempermalukan dirimu' .

Tetapi tenang saja, itu hanya selembar kerta flyer dan dia mendorong kertas itu ke arahku dengan tangannya yang terpasang oleh cincin-cincin berbatu besar di beberapa jemarinya.

"Ini adalah hukuman untukmu. Sudah lama sekolah ini tak mendapatkan piala di bidang akademis. Kau akan mengambil bagian untuk tim olimpiade Sains Internasional kali ini dan tentu karena sepertinya Mrs. Ronan ingin sekali kau dihukum, kau bisa membantu petugas kebersihan di cafeteria setelah pulang sekolah nanti." Jelasnya dan bersamaan dengan itu, bell yang memandakan jam pelajaran berganti berbunyi.

Aku tersenyum, tetapi bukan berarti aku menyukai pemikiran itu—hanya saja itu terdengar lebih baik di telingaku, walauaku masih menunggu kepala sekolahku mengeluarkan sebuah kertas agar aku segera keluar dari sekolah ini.

Kepala Sekolah membiarkanku dan ayahku untuk pergi dari ruang kantornya, selagi dia berbicara dengan Mrs. Ronan yang sepertinya masih belum puas dengan keputusan absolut miliknya. Kami berdua berdiri di depan kantor kepala sekolah seperti orang yang tak tahu apa-apa tentang semua ini. Ayahku menyelinapkan tangannya ke dalam saku celana kerjanya. Salah satu tangannya mengusap-usap jenggot pirang yang sudah mulai keabu-abuan itu.

"Ayah jika kau ingin mengeluarkan asumsi arsitekmu, aku akan kejang-kejang di sini." Ucapku.

Ayahku hanya mendesah kecewa, "Devonna, mengapa kau melakukan itu? Kau bisa melakukan lebih baik dari semua itu."

"Ayah, apakah kau bisa berpikir dengan cepat ketika perutmu lapar? Ketika dengan tiba-tiba perutmu menggelar sebuah orkestra yang bahkan tiketnya tidak terjual dengan laku?" tanyaku dan ayahku memejamkan matanya kemudian berputar membelakangiku. Aku terkikih pelan. "Ayah, pendidikan itu penting—bahkan sangat. Menurut Professeor Devonna, pendidikan itu dapat membawamu ke sebuah tahap yang mengesankan dalam hidup, tetapi perut... itu sesuatu yang dapat membuatmu bertahan hidup."

"Devonna, tolong bisakah kau serius sekali saja?" Tanya dia sembari mengangkat kedua alisnya dan tentunya dia terkikih sedikit. "Nak... tolong, kau tak bisa terus-terusan seperti ini. Kau harus dewasa, waktu adalah musuhmu. Ibarat hidup ini adalah lapangan lari jarak jauh, kau dan waktu bertanding. Waktu tidak akan menunggumu ketika kau ketinggalan di belekang. Ayah tidak akan selamanya ada bersamamu, Devonna. Kau harus bisa membedakan mana yang baik dan buruk, kau harus bisa mengambil keputusan yang berdampak positif untukmu."

"Jadi maksud ayah bahwa nachos, taco, doritos, bukan sesuatu yang dapat memperbaiki suasana hatimu?" Tanyaku dan ayahku bertolak pinggang. Aku tersenyum dan menggeleng kepalaku pelan. "Ayah... kau tak perlu takut. Kau sudah dengar apa yang dikatakan kepala sekolah dan kau seharusnya tak perlu khawatir. Kau tak pernah benar-benar bersamaku selama ini. Aku berpindah-pindah dan tak pernah dekat denganmu, jadi mengapa kau sangat peduli dengan seseorang yang jauh darimu?" Tanyaku dan kami saling bertatapan beberapa saat. Aku terkikih pelan. "Baiklah ayah, aku harus mengikuti kelas berikutnya. Aku tak ingin merepotkanmu dengan kunjungan ke ruang kepala sekolah lagi dan kau sepertinya sudah tahu, jika waktu mengambil salah satu di antara kita, maka itu adalah aku dan jangan tanya alasannya... itu akan sama seperti jawabanku dulu. I love you, dad... semoga harimu menyenangkan."

Aku berlari tanpa menunggu ayah memberikan jawaban apapun. Aku tahu, dia pasti masih terdiam di tempatnya berdiri dan mencoba bertelepati untuk menjawab perkataanku tadi—tapi itulah masalahnya, dia hanya mencoba sesuatu yang tidak mungkin terjadi, tetapi tidak pernah mencoba untuk sesuatu yang bisa terjadi dan untuk contohnya adalah mencoba agar kami terus bersama.

Ketika aku sampai di depan pintu ruang kelas, semua murid sudah berbondong-bondong keluar dari kelas membawa tas mereka. Aku berdiri di dekat pintu masuk kelas, menunggu seluruh murid keluar dari dalam kelas agar aku dapat masuk dan mengambil tasku. Tetapi ketika aku ingin melangkah masuk, seseorang langsung menarik lenganku.

"Simpan kalimat 'terima kasih, Olivia' Untuk nanti." Jelas Olivia memberikan tasku.

"Bagaimana jika sekarang?" Tanyaku dengan senyuman sembari memakai tasku. "Terima kasih, Olivia." Jelansya.

Olivia hanya terkikih. "Jadi apa yang kau dapatkan dari tour singkat ke ruang kepala sekolah? Apa kau di berkati dengan lantunan ayat sucinya?" Tanya Olivia.

Aku menggumam sembari menyipitkan mataku. "Surat Jangan pernah membolos ayat hukuman nanti di cafeteria setelah pulang sekolah dan mengikuti lomba olimpiade sains!"

"Amin." Sambung Olivia dan kemudian kami tertawa pelan. "Hey... pelajaran musik dipindahkan ke minggu besok, jadi minggu esok, kita akan langsung memulai dengan musik. Kimia akan diganti di minggu ke dua. Brace your self."

"Jadi maksudmu sekarang adalah jam kosong?" Tanyaku dengan senangnya.

"Sure, apa telingamu sudah terlelap karena lantunan ayat suci dari surat Jangan pernah membolos, huh?" Tanya Olivia.

"Sepertinya. Biar aku keluarkan dulu." Tukasku lalu memukul-mukul kepalaku.

Olivia hanya terkikih dan kemudian kami berpisah, di pintu keluar sekolah. Olivia bilang, dia ingin menuju kota sebentar sebelum jam pelajaran ke tiga yang tak lain adalah olahraga di mulai. Sekolah ini mempunyai dua pelajaran olahraga dan menurutku itu cukup aneh. Olahraga kali ini materinya cukup berbeda dari yang kemarin. Hari ini olahraganya lebih mengarah kepada aquatic dan maka dari situlah aku putuskan saja untuk langsung menuju kolam renang daripada berkeliaran bebas seperti rusa liar di hutan yang penuh mara bahaya ini— sebenarnya aku juga tidak ingin berurusan dengan pengawas sekolah yang begitu waspada.

Gedung kolam renang di bagian barat sudah terlihat dengan jelas di depan mataku. Pintu biru tebal sudah menyambutku dengan bangga dan kokohnya. Aku mendorong pintu itu ke dalam dan suaranya cukup menggema di ruangan yang begitu sepi dan lembab ini. Aku berjalan mendekati bangku penonton dan menaiki tangga besi sambil berpegangan dengan erat. Aku duduk di barisan ke tiga dari depan. Menaruh tasku di sebelah tubuhku dan mengeluarkan ponsel dari kantung tas bagian depan. Aku mengecek akun sosialku dan aku sangat bangga memberi tahu kalian, aku mempunyai begitu banyak teman di dunia sosial. Rata-rata mereka adalah anak kuliahan atau anak kelas dua belas yang aku temui ketika aku main game onlineterlebih banyak dari mereka juga merupakan anak lelaki dan aku bilang saja, teman lelaki lebih menyenangkan dari teman perempuan dan jika kalian menanyakan apa fakta yang dapat mendukung pernyataan itu? Maka aku akan menyerahkan diriku sebagai fakta validnya.

Aku tak pernah merasa khawatir jika mereka akan menyakitku, karena kami pernah mengikuti turnamen game Internasional dengan hadiah jutaan dolar—jadi secara harfiah kami sudah sering bertemu dan berbagi ilmu satu sama lain, mau itu game ataupun yang masalah seputar sekolah. Jadi sebenarnya aku memang belajar di manapun—dan jika dipikir-pikir hidupku tak asyik karena banyak belajarnya.

Aku sudah menganggap mereka seperti saudaraku sendiri, aku sering sekali curhat dengan mereka walau mereka bukan pemberi nasihat yang terbaik, tapi mereka benar-benar akan mendengarkan seluruh keluh kesah yang mengelilingi hidupku. Bahkan jika dibandingkan dengan ayahku, mereka lebih baik daripada dirinya. Terkadang ketika aku main game bersama mereka. Para 'abang-abanganku' ini akan bilang:

'Awas saja kau berpacaran dengan lelaki lain! Kau masih kecil, tak tahu arti cinta. Kau milik kami, adik kami. Titik. Jika punya pacar, kenalkan pada kami!'

Ya seperti itu kurang lebihnya, tetapi sebenarnya pembicaraan itu lebih menyeramkan. Bahkan terkadang musuh kami juga ikut-ikutan memberi nasihat sembari para 'abang-abanganku' ini membunuh karakter mereka di game dengan sadisnya.

Setelah selesai mengecek media sosial, aku memeriksa jam di ponselku dan menyadari bahwa aku sudah di sini selama tiga puluh menit. Aku memijat tengkuk leherku yang terasa sangat kaku. Aku memijitnya dengan perlahan sambil menggerakan leherku ke depan dan ke belakang beberapa kali sebelum mendengar suara sesuatu terjatuh dari ruang bilas pria. Aku mengeritkan keningku dan berdiri, berharap tinggi badanku yang pas-pasan ini dapat melihat sesuatu.

Aku perlahan menuruni tribun penonton dan berjalan mendekati ruangan bilas lelaki. Aku tidak takut untuk melihat pantat-pantat naked para lelaki atau pun roti sobek di perut mereka karena aku tahu bahwa tidak ada seseorangpun di sini, bahkan selama aku duduk di sini. Kemungkinannya hanya dua saja, tikus atau ada kegiatan supranatural yang aneh dan tak masuk akal. Perlahan aku mendekat dan ketika aku berada dekat dengan pintu bilas lelaki, aku melihat Joey Alexander sedang berciuman dengan seorang wanita yang bersandar pada tembok porselin kamar bilas.

Aku menyipitkan mataku jijik, "Ugh... gross." Ucapku geli dan bahkan aku bisa merasakan bulu kudukku berdiri.

"Devonna!" Joey langsung melepas bibirnya yang memerah itu dari pautan bibir lawan jenisnya.

"Geez... you can relax with that lips. Dia itu manusia biasa, bukan kue muffin yang enak." Jelasku sambil terkikih dan kemudian melihat perempuan itu yang sedang menyeka bibirnya yang penuh saliva Joey. Dia perempuan yang kemarin datang ke coffe shop bersama dengan Joey. "Lipstikmu sudah menghilang dan Joey sedang memakainya." Balasku kemudian melihat Joey buru-buru menyeka bibirnya juga dengan pegerlangan tangannya. Aku hanya tertawa kegirangan saja. "Baiklah, lanjutkanlah. Jangan membuat aku menghalangi kalian menikmati bibir satu sama lain. Bye."

Aku langsung berbalik arah dan berjalan cepat ke arah barang-barangku yang masih tertinggal di tribun penonton. Aku memutuskan untuk pergi keperpustakaan atau taman belakang, pokoknya tempat yang jauh dari aktivitas mesum para siswa dan siswi SMA ini.

–oOo–

Seperti yang dikatakan oleh kepala sekolah di ruangannya, pulang sekolah aku harus pergi ke cafeteria untuk membantu Robert—petugas kebersihan sekolah dalam merapihkan dan membersekan cafeteria yang sangat-sangat kotor ini. Aku tak mengerti, kenapa di zaman modern seperti sekarang, manusia lebih barbar dari pada manusia era purbakala. Membuang sampah sembarangan? Ini jauh lebih tidak etis dibandingkan denganku yang selalu membolos pelajaran. Aku juga tak mengerti bagaimana mereka bisa bertahan dengan keadaan berantakan seperti ini. Ini sudah seperti kekacauan yang dibuat manusia saat perang dunia berlangsung.

"Terima kasih, Devonna. Telah membantu." Jelas Robert yang memasukkan setiap plastik yang ada dipengki ke dalam gerobak sampahnya.

"Tidak masalah." Balasku sembari tersenyum.

"Devonna!" Seru Joey yang baru saja memasuki cafeteria dan dia berjalan dengan cepat ke arahku, menendang beberapa sampah-sampah yang sudah aku kumpulkan.

"Seriously?" Lirihku sembail mendesah melihat dia melakukan itu. "What?"

"Apa kau memberi tahu hal itu dengan orang lain?" Tanya dia.

Aku menyipitkan mataku dan mengetuk-ketuk jari telunjukku di atas bibirku sambil melirik ke atas, melihat lampu yang tergantung di langit-langit. "Hm... biar aku pikirkan—sebentar ya..." Jelasku lalu mengangguk.

"Jangan membuang waktu ku." Jelasnya.

"Oh... maafkan aku Tuan Joey. Apa aku membuang waktu—"

Perkataanku terhenti ketika Joey dengan kencang memegang bahuku. Wajahnya tampak mengancamku dengan wajah dipaksa seramnya itu. Aku melihat tangannya dan menatap kembali wajahnya.

"Kau pikir aku takut?" Tanyaku datar dan wajah Joey perlahan berubah. "Tolong lepaskan tanganmu dariku." Pintaku secara sopan.

Joey meruncingkan alisnya kembali. "Jawab pertanyaanku terlebih dahulu. Kau memberi tahu atau tidak, anak aneh?!" Tukasnya.

"Satu-satunya orang aneh di kafetaria ini adalah kau." Lirihku sembari.menyipitkan matalu jijik. "Pikir saja, bercium—" Dia menutup mulutku dengan telapak tangannya.

"Aku ke sini untuk memperingatkanmu, bukan menyuruhmu untuk menyebarkannya." Jelas dia dengan penekanan di akhir kalimat. Dia melepas tangannya dari mulutku. "Dan apakah kau memberi tahu seseorang atau temanmu itu, Olivia?"

Aku mengeritkan dahiku dan tertawa sembari menggeleng kepalaku. "Semua itu tergantung jika aku mendapatkan uang—" balasku dengan gestur tangan dan menaikkan salah satu alisku. "—aku bisa menjaga rahasia."

Joey mengerang kesal dan mengeluarkan dompet dari saku belakangnya. "Berapa yang kau butuhkan?"

"Kau serius ingin memberikan aku uang?" Tanyaku dan aku tergelak. "Geez, aku hanya bercanda! Aku tidak memberi tahu orang-orang tentang apa yang aku lihat. Pikirkan ini, apa kau pernah menghadiahkan sesuatu yang menjijikan kepada orang lain? Tidak kan! Aku juga sama. Lagi pula mengapa kau begitu takut? kau terlihat sangat menikmatinya. kalian pacaran kan?"

"Tidak semua hal yang berkaitan dengan ciuman dan sex adalah cinta." Jelasnya dan kemudian dia memutar tubuhnya, berjalan keluar dari kafetaria.

Aku mengangkat alisku dan menyeru, "Jadi kau mempermainkan wanita seperti boneka? Ugh... stink!" Tegasku. Joey tidak menggubris apapun selalin berjalan terus "Hei saran ku berhenti mempermainkan seseorang, sebelum kau menuai karmanya." Lanjutku dan Joey sudah menghilang dari kafetaria semenjak dia keluar dari pintu.

"Sudahlah, jangan pikirkan anak itu. Dia tidak akan mendengarmu." Jelas Robert yang sedang menyapu lantai. "Kepalanya sekeras batu." Lanjutnya.

"Kau tidak salah." Jelasku dan kemudian aku kembali membantu Robert mebersihkan cafeteria.

Selesainya membantu Robert membereskan cafetaria yang membuat pori-pori ketiakku mengeluarkan keringat berlebih dan membuat bau badan yang menyengat seperti trash panda. Maka aku memutuskan untuk langsung membilas tubuhku dengan air pancuran yang tak begitu besar di dorm-ku. Seharsnya aku mandi dua jam lagi—mendekati jam kerjaku—tetapi aku sudah merasa tak tahan lagi dengan tubuhku yang lengket.

Sore hari, jam empat. Aku bergegas menuju tempat kerjaku. Aku menunggu di halte bus karena uangku hanya cukup menggunakan bus untuk tranportasi bulak-balik. Sedangkan jika aku meggunakan taksi, itu hanya bisa satu kali perjalanan saja. Membuat kakiku sakit dan pegal tidak ada di dalam list kehidupanku yang sudah miris berpangkat kuadrat dan kuadrat lagi setelahnya.

Di dalam bus, aku duduk di pojok dan tepatnya di sebelah jendela. Aku sangat suka duduk dekat jendela terlebih ketika sore hari seperti ini. Cahaya jingga dari mata hari senja seakan menyambutku sebelum ia terbenam dan meninggalkan umat manusia bersama dengan saudaranya bernama bulan. Aku bukan pengagum senja, tapi jika aku bisa, maka aku akan melakukan apapun untuk memiliki senja. Karena kehangatannya, bukan karena kepuitisannya yang sedang beranak-pinak di kalangan anak-anak remaja retro pencinta senja dan penikmat kopi.

Aku tidak mempunyai banyak memori bagus tentang senja, hanya satu saja memori yang aku gemari tentang senja dan itu sudah lama sekali sebelum akhirnya menuntunku kepada dinginnya malam. Ada satu pikiran yang tak pernah bisa lepas dari benakku, itu selalu muncul kapan saja seperti pencuri yang menyusup ke dalam rumahmu tanpa mengetuk terlebih dahulu. Pikiran itu menuntunku kepada beberapa kejadian dalam hidupku dan terkadang membuatku lupa tujuan hidup atau memang sebenarnya aku tak punya tujuan hidup—Aku tak tahu. Selama ini aku merasa kehilangan arah saja, aku kebingungan, seperti berdiri di banyak persimpangan dengan ujung yang sama, tetapi rintangan yang berbeda.

'E 10th Avenue... E 10th Avenue.'

Aku langsung tersadar dari lamunanku dan berdiri dari kursiku. Melewati beberapa orang dan berterima kaish kepada supir bus sebelum akhirnya keluar dari bus. Aku berbalik badan, berjalan mendekati kumpulan ornag yang tengah bersiap untuk menyebrangi jalan. Aku mengeluarkan ponselku dari saku jaketku ketika benda kecil itu bergetar. Melihat pesan dari Tyler yang terpaut sebuah gambar selfie-nya bersama dengan desain cup take away baru. Aku tersenyum dan mengetik balasan pesan untuknya. Aku mengalihkan perhatian sekilas ke arah lampu lalu lintas dan aku mempunyai waktu sepuluh detik lagi untuk ke sana. Aku dengan cepat berlari menyebrangi jalanan dan menoleh ke kiri ketika mendengar suara klakson yang cukup kencang.

"HEY! Kau lihat lampu tidak!" Jelas pengendara itu.

"Maaf... maaf..." balasku.

"Bodoh!" Ketusnya dan dia kembali mengebut.

"Kau tidak apa-apa?" tanya seorang nenek sambil memegang tanganku dengan tangannya yang bergemetar.

"Ya, terima kasih sebelumnya. Tadi itu kesalahanku." Balasku dengan senyuman.

"No, young lady... dia yang salah. Lampunya masih merah walau memang tersisa sepuluh detik lagi. Tapi aku senang kau baik-baik saja." Balasnya dengan senyuman.

"Terima kasih sekali lagi... ."

Nenek itu tersenyum dan lanjut berjalan sebelum ia menghilang bersama dengan para pejalan kaki yang lain. Aku mempercepat langkahku menuju coffe shop dan datang dengan tepat waktu. Tyler menyapaku dengan senyuman dan lambaian tangan. Aku mengambil apron hijau yang tergantung pada hanger di belakang pintu masuk.

"Maaf jika membuatmu menunggu." Ucapku dengan senyuman.

"Tidak masalah." Balasnya lalu dia menaruh cup baru itu di sampingku. "Bagaimana menurutmu, apa ini sudah dapat mengalhkan cup Starbuck?" Tanya dia dengan nada semnagat dan opitimis.

"Menurutku ini sudah cukup modern dan sangat anak muda sekali." Balasku sembari mengangguk dan memuatr cup itu.

Tyler tersenyum, dia mengangguk sembari melihat cup itu layaknya piala yang baru saja ia dapatkan dari sebuah perlombaan. "Hey... kau baik-baik saja?" Tanya dia yang kini melihatku.

Aku berdeham. "Yes... of course! Hanya tadi, aku terlalu ceroboh menyebrang jalan. Ada pengendara yang mengebut, aku hampir menjadi perkedel di jalanan." Kikihku.

"Oh Tuhan itu mengerikan." Jelas dia melempar kain itu ke atas meja perlahan, lalu berdiri di sampingku. "Kau tidak bisa menjadikan itu sebagai lelucon dan terlebih... apa kau benar-benar tidak apa-apa?" Lanjut Tyler yang khawatir.

Aku terkikih lalu mengetik angka-angka di atas mesin kasir. "Lelucon terkadang terlahir dari tragedi. Memang terdengar jahat, tapi begitulah. Tidak ada kebahagiaan yang bisa kau jadikan lelucon—mayoritas hal itu terjadi dari kesedihan dan tragedi dan kau tenang saja... aku tidak apa-apa."

"Kau tentu lebih pintar dariku Devonna." Jelasnya menepuk pundakku. "Tapi aku senang kau baik-baik saja dan untuk merayakan itu serta lahirnya cup baru kita. Apa kau ingin makan malam bersama? Terlebih Sabtu esok aku harus tutup dulu karena ada tugas kampus mendadak."

Aku menoleh sekilas. "Um... aku mencari pekerjaan karena membutuhkan uang, bukan untuk menghamburkannya. Itu menggiurkan, tapi aku bisa makan roti dengan selai di rumahku saja."

"Itu menyedihkan sekali!" Tukas Tyler. "Tenang aku akan mentraktirmu dan siapa yang tak suka untuk ditraktir bukan?"

Aku terkikih. "Itu tak bisa aku tolak." Jelasku dan Tyler mengangguk sembari terkikih pelan.

Continue Reading

You'll Also Like

1.4M 6.5K 5
Seorang pelayan pengantar minuman di salah satu club ternama, dipertemukan dengan seorang pria 'Alpha' yang tidak pernah puas jika lawannya itu belum...
1M 23.5K 30
21++ #highrank 1 in rios [11/09/20] #highrank 1 in jason [11/09/20] #highrank 2 in fara [11/09/20] #highrank 1 in hot (26/10/20) Mulai menulis [ 7 Ja...
52.5K 947 2
Typo dimana mana 18++
764K 47K 35
Delissa Lois adalah seorang gadis cantik yang terkenal barbar, suka mencari perhatian para abang kelas, centil, dan orangnya kepo. tapi meskipun begi...