Nasty Glacie (Terbit - Rainbo...

By honeydee1710

3.6M 302K 84K

(PART TIDAK DIHAPUS ) Gimana sih rasanya jadi cewek kaya mendadak? Bisa jalan-jalan ke luar negeri, punya bod... More

Dear Readers
I am Glacie
Start From Here
Over-Protected Man
Special Note
Four Girls and A Cute Guy
Pretty Hurts
Smell Like Angel
That Beautiful Face
In The Arms of Love
Oh, Baby Baby ...
That Stupid Reason
The Best Gift Ever
Sparkling Ice
Turn to Sweetest Thing
Miss You Like Crazy
Fire Me, Firefly!
Don't Wanna Let You Go
Millions Miles Away
In the Depth of Past
Flying With Your Wings
Behind the Screen: Leo Firnanda
In London We Fall
Hurt Like This
This is How It Ends
Best Place in the World
Behind the Screen : Heath Grahamm
Powerless
Lord of the Beast
Wrecked Heart
Behind the Screen : Aaron Atkins
Vanilla Sky
Rockwood Tower
Additional Part
A Trouble with Love is ...
Virgin
Screaming Out
In a Dream Land
Behind The Screen : Gary Newman
Magic
Behind the Screen: Dave Malik
Revenged
Behind The Screen: Drey Syailendra
Linger
Avenged Sevenfold
Behind The Screen: Glacier
The Best Laid Plan
Blood in Your Smile
Howling Night
Saint and Sinner
The Night After
Shout It From Rooftop
Rough Night
Home
Behind the Screen : Heath Grahamm 2
A Life Before
Killing Him Softly
Gentle Touch
Behind the Screen : Shawn Grahamm-Collins
Apologize
Additional Part 1 (Heath VS Marriage)
Additional Part 2 (Dave Video Call)
(Un)Broken Vow Cover Launch
Additional Part : Twitter
Additional Part : Punishment
Additional Part : Cursed
Additional Part : Chatting
Pre Order Nasty Glacie
I am So Sorry, Bee
Finally - Good News
Pre Order Nasty Glacie edisi Revisi
Glacie♡Dave Spin Off - PDKT
Glacie ♡ Heath : Life

Part I Hate The Most

51K 3.9K 961
By honeydee1710

Seperti biasa, waktu aku bangun Heath sudah nggak ada.

Mantel tidurku sudah lepas dan aku pakai selimut. Apa Heath macam-macam waktu aku tidur? Kenapa harus nunggu aku tidur kalau dia bisa macam-macam waktu aku bangun?

Heath bukan cowok cabul kaya gitu.

Kuraba bantal dan tempat tidur kosong di sebelahku. Aku kecewa. Sebenarnya kuharap ada Heath di situ. Bangun tidur lihat muka gantengnya pasti enak banget, ya?

Pintu kamarku terbuka. Heath masuk dengan senyum lebar. Dia sudah rapi dan wangi. Dia juga sudah cukuran bersih.

"Aku tidak tahu bagaimana cara membangunkanmu." Dia tersenyum sambil menutup pintu kamarku. Dari caranya berjalan, kurasa dia lagi senang. Senyumnya juga kelihatan manis banget. Apa semalam dia tidurnya nyenyak?

"Kamu menendangiku lagi." Dia mengecup keningku. "Selamat siang, Little bee."

"Siang?"

Dia tersenyum. "Ya."

"Jam berapa?"

"Jam sebelas." Dia melihat jam tangannya. "Lewat lima belas."

Aku mendengus. "Kok nggak bangunin?"

"Kukira kamu lelah karate dalam tidurmu." Dia duduk di pinggir tempat tidur dan menggelitik jempol kakiku. "Kita akan mengunjungi Mr. Johansson hari ini. Kamu bisa ngobrol dengan Claire lagi."

"Mereka di mana?"

"Di dekat sini. Martin menyewa apartemen di dekat rumah sakit untuk mempermudah akses pengobatannya. Aku sudah pernah mengunjunginya."

"Kenapa nggak ngajak gue?"

Dia mendekat padaku. "Jangan. Nanti aku cemburu," ucapnya sambil mendekatkan wajahnya padaku. Kupejamkan mata dan membuka bibir untuk menerima ciumannya.

"GLACIE!" 

Shit!

Savanna menyerbu masuk, lalu terdiam saat melihat kami.

"Kalian mau cipokan?"

Heath mendengus. "Aku harus pergi," ucapnya sambil mengecup kepalaku. "Ma'am," sapanya sambil menunduk pada Savanna sebelum berjalan menuju pintu.

Sebelum menutup pintu, dia mengedipkan mata padaku.

"Pinter lo," gerutuku pada Savanna. "Lo bikin gue gagal cipokan."

Savanna terlihat salah tingkah. "Sori, deh. Aku nggak nyangka Heath di sini. Kukira dia di ruang kerja. Tadi Drey dari sana juga. Kirain barengan." Savanna duduk di bekas tempat duduk Heath, lalu memelukku. "Aku kangen sama kamu, Glace. Kangen banget."

Kami menghabiskan bermenit-menit kemudian dengan pelukan hangat. Rasanya, aku seperti memeluk Drey. Savanna sama sekali nggak beraroma mawar seperti biasanya. Dia beraroma parfum Drey. Kayanya dia belum mandi setelah berbuat.

"Hari ini kita ke rumah Martin, ya?" katanya sambil melepaskan pelukanku.

Aku mengangguk. "Tadi Heath sudah bilang. Gue mandi dulu," kataku sambil melompat ke lantai.

"Kamu seksi banget sekarang. Pantes aja Heath nempel banget."

Aku berpaling pada Savanna senyum-senyum melihatku. Aku baru memperhatikan kalau Savanna sudah lebih berisi sekarang. Pipinya lebih tembem dan dia pakai eye liner lagi. Sekalipun berkali-kali menggosok hidung yang memerah, dia tetap terlihat imut. 

"Gue kangen lo, Ana," bisikku pelan. Savanna memang cewek yang mudah bikin orang jatuh cinta. Dia lembut dan rapuh. Cowok mana pun pasti ingin memeluk dan kasih dia perhatian lebih. Pantas saja Dave sampai gagal move on. Pasti dia ngerasa sakit hati banget lihat Savanna sama Drey kunyah-kunyahan gitu terus.

"Semalam Drey kenapa? Dia nggak mau cerita. Dia marah lagi sama kamu dan Heath?"

Pantaskah aku bilang kalau aku ketemu sama Dave? Pantaskah aku bilang kalau aku sudah ciuman sama Dave?

Tenang, Glace. Itu cuma kecelakaan. Lo sama Dave itu nggak akan ada apa-apa.

"Iya," jawabku sambil berusaha tersenyum. "Laki lo nyebelin banget."

"Sori, ya. Aku nggak bisa apa-apa. Aku sudah berusaha kasih penjelasan ke Drey. Tapi, dia tetap nggak mau. Dia berkali-kali ngobrol sampai banting barang sama Heath." Dia melenguh dengan seksi sekali. Kalau ada Drey di sini pasti sudah digigit dia. "Aku nyerah, Glace. Aku juga nggak bisa tanya kenapa."

"Savanna, gue belajar banyak dari lo. Gue akan pertahankan apa yang gue percaya. Kalau memang gue sama Heath memang saling cinta, jangankan laki lo, Sedunia melarang pun kami bakal terus barengan."

"Heath nakal sama kamu?"

Aku menggeleng. "Semalam dia tidur di sini. Dia peluk gue sampai tidur dan nggak ngapa-ngapain. He's so adorable."

Savanna menghela napas. Kelihatannya dia lega. "Aku tahu Heath memang bisa jaga kamu, Glace. Moga kalian bisa meluluhkan hatinya Drey, yah."

"Thank's," jawabku sambil menarik ujung baju tidurku.

Luluh nggak luluh siapa peduli? Bukan cuma Drey dan Savanna yang mau melakukan apa saja demi cinta. Aku juga kok. Aku rasa, Heath juga. Sekalipun dia masih segan sama Drey, kurasa dia bakal melakukan apa saja untuk kami.

Lagipula, selain Drey, semua orang mendukung aku sama Heath, kok. Bahkan Archie juga mendukung kami.

Waktu baru ketemu, Archie memelukku sambil bilang, "I miss you so bad, Tante Glaci." Lalu, dia menciumiku sambil bilang, "This is from me. This is from Heath. This is from me again. This is from Heath. Because kami sama-sama cinta Tante Glaci."

Heath yang sedang menerima telepon langsung tertawa mendengar ocehan anak lucu itu. Sayang, Bapaknya Julid tingkat antariksa. Bapaknya ikut jongkok di sebelah Archie sambil berkata, "Terima kasih sudah menyampaikan ciuman Heath untuk Tante Glacie, Sayang. Tapi, Tante Glacie tidak suka. Dia sudah punya monster lain yang lebih mengerikan."

Archie melotot menatap bapak-bapak kampret itu. "Really? Lebih menyeramkan?"

"Kamu tahu Ogre?"

"Shrek?"

"Yup."

"Woooaaa..." Archie menatapku lagi. "Tapi, Shrek itu baik, Daddy. Dia juga sayang sama anak-anaknya seperti Daddy."

Mati lo, Drey! Muka lo kaya pantat Shrek.

"Tapi, ini berbeda, Archie. Ogre Tante Glacie jahat." Drey nggak mau kalah. Dia melirikku dengan penuh kemenangan.

Archie menyentuh bahuku. "Tante Glaci harus marry Heath biar Heath bisa melindungi Tante Glaci. Jangan sama Ogre, ya."

Drey, kunyah tuh ompol anak lo!

"Oh, ya. Pasti, Archie. Aku juga suka kok sama Heath. Tapi, Daddy-mu nggak setuju."

Archie melotot dan berpaling ke bapak julidnya menyipitkan mata padaku. Begitu melihat anaknya, dia tersenyum lagi. Nah, itu baru namanya bapak pencitraan.

"Daddy, please jangan pisahkan Tante Glacie sama Heath. The love each other. Mommy said mereka itu seperti cat and dog."

Drey menahan tawa sampai memejamkan mata.

"Ngg, kok anjing sama kucing, Archie?" tanyaku bingung.

"Aku pernah lihat kartun cat and dog. Mereka jadi satu." Dia memeragakan dua tangan yang jadi satu.

Aku mengerti. Yang dia maksud pasti kartu absurd anjing sama kucing yang kembar siam itu. Bapak tengil itu parah banget ngasi tontonan anaknya.

"Archie sayang, kalau Daddy ajak kamu nonton cat and dog lagi, bilang sama mommy, ya."

"Kenapa?" tanya Archie.

Aku menggeleng. "Karena Mommy harus tahu apa yang kamu tonton."

Mampus lo Drey. Dikasi punggung lo semingguan sama Savanna. Kunyah tuh sabun!

Waktu di mobil menuju rumah Martin, Archie yang duduk di antara aku dan Heath menarik tanganku. "Tante Glaci duduk di sini," kata Archie sambil berdiri dan pindah ke pangkuan Heath. Dia menarikku sampai duduk merapat dengan Heath. "Mommy said Tante Glacie and Heath nggak boleh berpisah," katanya lagi.

Heath tertawa pelan sekalipun dari spion Drey terlihat kesal. 

"Good boy," kataku sambil mengusap kepala Archie. "I love you, Archie."

"Bagus kan, Dad?" tanya Archie pada bapaknya yang super julid itu.

"Ya, Archie. Keluarga memang harus bersama."

Oh, Bapak julid peuh pencitraan di depan anak-istri, bagus benar kelakuanmu.

"That's right!" kata Archie sambil berusaha menjentikkan jarinya.

Tawa Heath makin keras.

Lalu, tangannya meremas tanganku sambil berbisik, "Dia hampir percaya kamu sekarang dengan Dave."

"Gue sakit hati," bisikku lagi. "Jangan sama Dave, dong."

Dia tertawa. "Bersabarlah, Bee. Aku sudah muak mendengarnya mengamuk. Dengan begini, dia agak lebih lengah mengawasi kita."

"Kalau begitu, lo harus cium gue di depan dia."

Dia tertawa lagi, lalu menunduk mengecup kepala Archie. Kurasa, sebenarnya yang ingin dia lakukan adalah menciumku.

Martin tinggal di apartemen yang pas berseberangan dengan rumah sakit khusus kanker. Dia menyewa apartemen yang cukup luas di lantai empat sebuah rumah besar bergaya abad pertengahan sekali. Kurasa sih dia memilih tempat ini demi memuaskan keinginan Claire yang pernah terobsesi jadi ratu Inggris. Tapi, waktu ketemu, Claire yang sedang mengerjakan tugas homeschooling musim dinginnya itu malah bilang, "aku benci di sini. Aku pengin ke Indonesia. Aku benci pakai baju lapis-lapis, tapi tetap kedinginan. Aku benci ngomong pakai bahasa Inggris terus. Aku juga benci melihat Daddy tambah kurus gitu."

Aku yang tiduran di kamarnya yang serba putih dan krem kayu bingung harus ngomong apa. Claire itu agak keras. Kalau dilawan, dia bakal leboh emosi. Tapi, aku nggak enak membiarkan dia dalam pemikira kaya gitu.

"Aku suka kamarmu, kok." Cuma ini yang terlintas di kepalaku.

Dia mendengus. "Kamu suka karena kamu baru lihat. Coba kamu ada di sini seminggu. Kamu bakal merasa kesepian. Rumah ini terlalu besar untuk kami berdua."

"Ayahmu nggak punya pacar?"

Dia mendengus. "Dad lebih sayang kematian daripada cewek."

Kulempar dia dengan syal wol yang ada di atas tempat tidurnya. "Jangan ngomong gitu! Seharusnya kamu doakan bapakmu cepat sembuh."

"Aku selalu berdoa. Tapi, Tuhan nggak mau dengar doaku. Kadang aku berpikir mungkin Tuhan tuli atau aku yang terlalu nakal sampai nggak didengar lagi."

"Nggak boleh ngomong gitu!"

"Kenapa?" Claire menyobek kertas di tangannya, menggulung sobekan itu, dan melemparnya ke laci meja belajar yang setengah terbuka. "Kamu tersinggung aku bilang Tuhan tuli?"

"Aku nggak tersinggung," jawabku sambil melempar-lempar bantak kecil berbentu kepala minion ke udara, menangkap, lalu melempar lagi. "Ini sudah masuk ke dalam rencana Tuhan."

"Buat bikin aku jadi anak paling nyebelin dan sendirian? Tuhan sama sekali nggak lucu."

"Tuhan memang nggak pengin ngelucu, Claire. Tuhan pengin kita belajar aja."

"Belajar apa?"

"Belajar biar jadi dewasa."

"Apa aku kurang dewasa? Dibandingkan kamu, aku lebih dewasa."

Mati aku!

"Makanya ituuu ... Tuhan nggak mau kamu jadi orang dewasa goblok kaya aku. Look at me, Claire! Aku ini nggak punya orangtua sama sekali. Aku ditinggalin teman-teman karena mereka payah. Pacaran juga ditentang sama kakak-kakakku. Kerjaan juga nggak punya. Hidupku nggak jelas untuk apa. Kamu mau hidup kaya aku?"

Dia menghela napas panjang sat melemparkan gumpalan kertas terakhirnya. "Iya, sih. Kamu memang payah banget." Dia menoleh kepadaku sambil menggigiti ujung lengan sweater merah mudanya. "Tapi, paling nggak kamu merasakan punya orangtua lebih lama dibandingkan aku."

Aku menelan ludah.

Entah kenapa aku jadi pengin peluk dia. Kalau ada di posisinya, mungkin aku nggak akan sekuat itu.

Martin sudah jauh lebih kurus daripada terakhir kami bertemu. Sekalipun di luar dia nampak sehat dan menyambut kami dengan ceria, aku yakin dia pasti tersiksa sekali. Rambutnya yang makin menipis dan matanya yang cekung sudah mengatakan lebih banyak daripada mulutnya. Jas yang dia pakai sepulang dari rumah sakit nggak menutupi tubuhnya yang makin kurus. Tangannya yang dulu menjabatku dengan erat juga terlihat agak kurus dan tidak berbulu lagi. Mungkin seperti yang mereka sebutkan tentang pengobatan kanker yang bikin rontok rambut itu, ya?

Savanna saja nggak tahan untuk nggak meluk dia erat-erat. Drey berkali-kali mengusap bahunya sambil memasang senyum pencitraannya. Sedang Heath memilih tetap berada di luar untuk menelepon setelah menyalami Martin.

"Hey, girls!" Martin mengetuk pintu kami yang terbuka. "Kalian mau makan? Aku sudah membuat makanan beracun untuk kalian." Martin terkekeh sampai terbatuk.

"Ya, Dad. Makasih. Becandaanmu garing banget." Claire membereskan buku-bukunyabtanpa menoleh ke Martin.

"Oya? Ajari aku bercanda yang tidak garing!"

"Aku lagi nggak mood."

"Kalian bertengkar?" Martin menatapku.

Aku mendelik dan menggeleng. "Nggak, kok." 

"Lalu?" tanya Martin sambil mengangkat alis.

"Aku lagi PMS, Dad."

Martin terkekeh. "Cantik, aku tahu kamu masih terlalu kecil untuk menstruasi."

"Terus, kenapa memangnya kalau aku PMS duluan?" Claire membanting tumpukan bukunya dan melemparkan semua alat tulis ke laci meja.

Martin jongkok di depan Claire dan berkata, "Savanna merindukanmu. Apa kamu tidak mau ngobrol dengannya walau sebentar? Apa kamu tidak mau melihat Archie? Kalian sudah lama tidak bertemu." 

Claire nggak juga bergerak dari duduknya. Dia masih menjambak bulu-bulu pada bantal bonekanya. 

"Claire Irene Johansson?"

Claire mendengus beberapa kali. "Aku bakal keluar dan marah-marah."

Martin tersenyum lebar. "Aku yakin kamu nggak akan bisa marah begitu melihat Archie."

Claire berdiri sambil menggebrak-gebrak lantai parquet dengan kakinya yang berkaus kaki. Waktu melewati pintu, dia memberi Martin bonus bantingan pintu yang sebenarnya nggak perlu banget. Hiasan dinding burung hantunya sampai jatuh dan pecah.

"Maafkan Claire," kata Martin sambil memungut pajangan itu dan duduk di sofa kecil di seberang tempat tidur. "Dia agak sulit belakangan ini."

Aku mengangguk. "Aku juga pernah kok ada di posisi dia. Kalau bukan karena kakak-kakakku, mungkin aku rajin ngamuk juga."

Martin tersenyum lebar. "Bahasamu berubah."

Eh? Masa iya?

"Mungkin aku jadi ikut-ikutan Claire."

Eh iya bener. Aku nggak pakai "gue" lagi. Kok bisa? Tinggal sama orang-orang yang nggak ber lo-gue bikin aku juga ngikut berubah gini.

"Kalian memang cepat akrab," kata Martin ramah.

Aku tuh suka banget sama matanya yang terlihat berkilau. Kayanya dari semua anggota tubuhnya, cuma matanya itu yang nggak sakit. Cuma matanya yang terlihat sehat dan ramah.

"Aku ... nggak punya teman. Aku senang bisa ketemu Claire lagi. Dia itu teman yang baik."

"Terima kasih, Glacie."

Kuperbaiki dudukku agar terlihat sopan. Bagaimana juga ini obrolan serius. Nggak sopan kalau tengkurap waktu ada pemilik rumah yang lebih tua mengajakku ngobrol serius.

"Aku suka Claire karena dia jauh lebih dewasa dari teman-teman sebayaku. Kalau sekarang dia bertingkah menyebalkan, kayanya itu karena dia sedang ketakutan."

"Kamu dulu juga ketakutan?" Martin memajukan tubuhnya.

Gaya duduk Martin tuh cowok banget. Yah, agak berbeda dengan Heath. Kalau Martin ini caranya duduk tuh ekspresif. Dari caranya duduk aja kita tahu gimana pendapatnya tentang kita. Kaya sekarang dia duduk condong ke depan dengan tangan bertumpu di paha dan kedua kakinya terbuka. Dia membuatku berpikir kalau dia serius ngobrol dan tertarik dengan semua omonganku.

Kalau Heath selalu menyembunyikan perasaannya. Paling banter dia cuma senyum tipis gitu.

"Aku ketakutan banget, Martin. Aku jauh dari kakak-kakakku. Yang paling dekat denganku cuma Ibu. Terus, pas aku ada di luar kota, Ibu malah sakit dan aku jadi orang terakhir yang tahu. Nyesek, kan? Aku pengin marah tapi nggak tahu siapa yang harus disalahkan."

Sebenarnya aku pengin nangis, tapi mana boleh aku nangis di depan Martin. Dia sudah cukup susah sama masalahnya sendiri. Aku nggak boleh menambah bebannya, kan?

"Tapi, waktu di pemakaman Ibu, aku nggak nangis," kataku lagi.

Martin menelengkan kepala, menunggu kelanjutan ceritaku sambil tersenyum.

"Aku malah senang melihat Savanna balikan sama Drey dan ternyata aku baru tahu kalau itu berkat kamu."

Martin tersenyum lebar. "Oh, ya?"

"Aku baca buku harian Savanna. Dia menyebutmu sebagai sahabat yang baik. Kamu satu-satunya orang yang didengarkan Savanna waktu itu."

Dia tertawa. "Apa aku harus tersanjung?"

Aku ikut tertawa. Lalu, entah kenapa aku jadi pengin ngomong begini, "Martin, aku tahu kamu mungkin juga ketakutan. Mungkin kamu memikirkan Claire. Seharusnya kamu nggak perlu mikir apa-apa. Kalau kupikir, Claire itu anak yang kuat dan kalau ada apa-apa sama kamu, Savanna dan Drey, juga aku, bakal support Claire terus, kok."

Setelah sadar kegoblokan omonganku yang menyinggung kemungkinan dia mati, langsung cepat-cepat kuralat, "maksudku, kalau kamu mau konsen sama pengobatan gitu."

Martin tertawa keras. "Aku mengerti maksudmu, Miss Glacie. Terima kasih banyak. Aku sangat menghargai semua itu. Aku beruntung kenal dengan orang-orang baik seperti kalian." Dia menoleh ke arah pintu. Aku jadi ikut menoleh ke pintu juga. Heath berdiri bersandar di kusen, separuh dirinya terhalang pintu yang setengah terbuka. Dia nguping?

"Maaf, aku ... aku hanya ingin menyampaikan telepon," katanya sambil menyerahkan HP-nya kepadaku.

Martin berdiri dan Heath melarangnya. "Jangan, Martin. Selesaikan obrolan kalian. Aku tidak ingin mengganggu."

Martin meletakkan tangannya di bahu Heath. "Santai saja. Aku sudah selesai berbicara dengannya. Jaga dia, Mister Grahamm. Dia gadis yang baik."

Heath membuka mulut, tapi ternyata dia cuma menarik bibirnya ke bawah saja. "Tentu saja ... Sir," katanya yang kemudian langsung menunduk.

Aku beralih ke HP Heath.

"Halo?" kata orang di dalam telepon. Laki-laki. Siapa?

"Halo?" ucapku lagi.

"Glace, aku sudah ..." Suara Dave.

"Dave? Sudah sampai?"

Martin menepuk bahu Heath beberapa kali sebelum keluar kamar. Lalu, Heath menghampiriku dan mengecup kepalaku sebelum keluar kamar juga. Kutarik jaketnya untuk mencegahnya pergi. Dia berdiri menungguku di dekat tempat tidur.

Aku nggak mendengarkan penjelasan Dave tentang Korea (Dia mampir ke Korea selatan dulu rupanya) setengah-setengah. Aku sibuk menatap Heath yang juga memandangiku. Sampai akhirnya dia bilang, "Tidak sopan membiarkan orang bicara sendiri di telepon, Bee. Aku tunggu di luar." Dia mengusap kepalaku, lalu ke luar kamar.

"Glace, kamu masih di situ?" tanya Dave lagi.

"Masih. Cerita aja. Aku dengerin kamu cerita, kok."

Dia tertawa. "Kamu habis makan apa? Kenapa nggak loe-gue lagi?"

Aku berdiri dan jalan ke luar kamar, mengikuti Heath sambil berkata, "kelamaan di London. Sudah hilang bahasa gaulku."

Dave masih tertawa. "Lucu. Kamu lucu kalau nggak pakai lo-gue."

"Apa sih? Biasa aja. Norak banget!"

"Coba kamu dengar sendiri waku kamu ngomong lo-gue sama sekarang. Beda banget. Aku kaya bukan ngomong sama Glacie."

Aku tertawa dibuat-buat untuk mengejeknya.

"Norak ah, Dave."

"Gimana iparmu itu? Kamu dimarahi ketahuan jalan sama aku?"

"Banget. Dia benci banget sama semua tentang Dave Malik. Dia malah mengira kita pacaran."

Dave terbahak-bahak lagi.

"Ih! Kupingku rusak denger kamu ngakak gitu."

"Dia norak."

"Sama kaya kamu."

"Aku nggak pemarah gitu."

"Halah, kamu sama aja."

Dia diam sebentar, terus bilang, "Kapan kamu ke New York sama Heath?"

Kutarik napas dalam-dalam. "Nggak tahu. Tergantung sama Drey. Kalau urusan mereka di sini selesai, kami pergi. Eh, bentar aku keluar dulu. Nggak enak di dalam kamar orang gini."

"Kamu di kamar martin? Tadi kata Heath di rumah Martin Johansson
"

"Anaknya, woi! Urusan apa aku di kamar Martin."

"Ya kali aja."

"Pikiranmu, Dave! Kamar-kamaran mulu. Sudah berapa cewek Korea yang kamu tiduri?"

Aku bersandar di dinding dekat pintu WC biar nggak didengar orang-orang di ruang tengah.

Dia tertawa. "Aku baru bikin rencana."

"Nggak kapok ya?"

"Siapa yang tahu kalau jodoh?"

"Dasar predator! Gue nggak nyangka Dave Malik yang dulu kalem jadi kaya gi ..."

Drey keluar dari WC. Dia langsung menyipitkan mata kenuh kekejaman begitu melihatku. Dengan gerakan cepat, dia menarik HP di tanganku.

Dia mematikan HP sambil melotot padaku. "Jadi, Heath ikut dalam konspirasi ini?"

Aku mendekat padanya, lalu kutunjuk dadanya. "Nggak ada urusan sama lo. Ngerti?" desisku tajam sambil berusaha memasang wajah sekejam mungkin.

Kutarik HP dari tangan Drey sambil mendengus keras-keras. Aku sudah muak diginiin sama Drey.

"Kemarin lo bisa ngelarang gue sama Heath. Sekarang, goblok kalau berpikir gue bisa nurut sama lo," desisku sambil jinjit di depan wajahnya.

Drey baru buka mulut--mungkin mau nyecer aku--saat heath berkata, "Apa lagi masalahmu, Drey?"

Drey berpaling pada Heath. "Aku akan membawanya ke New York."

Heath menggeleng marah dan berkata, "Fuck!" dengan suara pelan.

Drey kembali menatapku. "Kita bicarakan ini di rumah," katanya sambil menunjuk wajahku. Dengan senang hati kuangkat jari tengah yang cuma dibalas dengan senyum miring keparatnya.

"Kenapa sih orang itu?" desisku kesal. "Nggak tahu rumah orang, nyinyir aja kerjaannya."

Heath menarik bibirnya ke bawah. "Mau keluar?"

"Ke mana?"

"Ke mana saja asal tidak di sini."

"Kenapa?"

Dia menunduk dan menggaruk bagian belakang kepalanya. "Aku ... tidak suka."

Aku melirik ke ruang lain di ujung koridor, lalu menatap Heath lagi. "Nggak suka Martin?"

Dia menggeleng. "Dia orang yang sangat baik. Aku hanya ..." Dia menggaruk bagian belakang kepalanya lagi, lalu menghela napas panjang. "Mau ikut?"

Aku mengangguk. "Ke mana aja asal sama kamu."

Heath tersenyum saat menarik HP-nya dari tanganku. "Kenapa bahasamu berubah?"

"Nggak suka?" Kenapa sih orang rese sama bahasaku?

"Aku kehilangan Little bee yang sembrono rasanya."

"Tapi aku kan tetap sayang sama kamu."

Dia menunduk sampai hidung kami bertemu. "Aku tahu," katanya pelan.

"Oh, maaf." 

Kami menoleh saat mendengar suara Martin di belakang Heath.

"Tidak apa-apa," kata Heath. "Kami akan keluar sebentar. Kalian bisa mulai tanpa kami."

"Kalian tidak ikut makan malam?"

Heath merangkul bahuku. "Ada yang perlu kubicarakan dengan anak ini."

Martin tersenyum lebar. Matanya beralih padaku. "Have fun, Miss Glacie." Dia mengedipkan mata sebentar, lalu berbalik lagi ke ruang tengah tempat orang-orang berkumpul.

"Kalian mau lihat studio Claire?" tanya Martin dengan suara keras yang langsung disambut dengan pekikan dan tepuk tangan Savanna.

"Aku mau," kata Savanna girang.

Kami ikut ke ruang tengah.

"Daddy! Mana boleh itu dilihat orang?" Claire langsung membanting tumpukan lap tangan ke meja.

Heath menunjukku sambil tersenyum. Mungkin dia pengin bilang, 'mirip kamu.' Jadi, kubalas saja dengan memonyongkan bibir sampai dia tersenyum geli.

"Claire!" panggil Savanna. "Aku mau lihat, kok."

"Mom! Aku ... itu cuma ruang kecil jelek."

"Aku juga mau," kata Drey. Bapak julid-kalau-di-belakang-istrinya itu jongkok di depan Archie. "Kamu mau juga? Claire punya lukisan yang bagus."

"Ya," tambah Martin. "Ayahmu yang mengajarkan Claire melukis dulu."

"Wow!" Mata Archie membulat. "Aku mau." Archie bergegas menggandeng Claire. "Ayo aku mau lihat."

Claire menatap marah ke ayahnya, tapi tetap saja dia nggak bisa menolak Archie. Jadi, mereka semua mengikuti Claire dan Archie ke ruang lain. 

Martin menoleh padaku sambil mengedipkan sebelah mata. Apa dia mengajak Drey ke studio Claire biar nggak lihat kami pergi? Apa dia ngasih jalan buat kami untuk pergi?

Kupeluk Martin sebentar. "Thank's," ucapku penuh haru. Claire beruntung banget punya bapak seperti dia. 

"Semua ayah akan membenci laki-laki yang mengajak kencan putrinya. Kurasa, itu yang tidak bisa diucapkan Drey padamu," kata Martin sambil tersenyum padaku.

Ah, dia nggak tahu aja kalau julidnya Drey itu sudah mendarah-daging.

Martin berpaling pada Heath. "Mewakili Drey dan ayah gadis ini, kuharap kamu menjaganya, Mister grahamm."

Yes, Sir." Heath menundukkan kepala saat menyalami Martin.

Begitu berjalan ke luar dari apartemen Martin, aku nggak tahan lagi, kupendam wajahku di mantel Heath. "Martin itu baik banget, Heath. Aku nggak tahu kenapa orang baik harus menghadapi hidup kaya gitu. Kenapa dia nggak sehat aja kaya kita?"

Heath memelukku. "Begitulah hidup, Bee. Begitulah hidup."

Kata orang cinta itu rasanya seperti cokelat dan bisa bikin eek jadi terasa cokelat juga. Tapi, buat aku cinta itu rasanya seperti narkoba, bikin ketagihan. Yang kami lakukan cuma naik mobil keliling jalanan nggak jelas. Tangan Heath menggenggam tanganku dan aku meremas tangannya yang hangat.

"Kita sampai sekolahannya Harry Potter kayanya sebentar lagi," kataku sambil melihat orang-orang di pinggir jalan.

Hari ini nggak ada salju. Orang-orang banyak yang keluar. Mereka berjalan sendiri atau berduaan. Suasananya jadi enak buat jalan-jalan. Ada pasangan yang berciuman di trotoar di jalan yang kami lewati tadi.

Sudah berapa lama ya kami nggak ciuman?

"Aku lapar," katanya setelah diam yang lama sekali. "Bagaimana denganmu?"

Kalau dirasa-rasa, aku lapar juga sih. Seharusnya kami sudah makan dari sejam lalu. Tapi, entah kenapa kok aku nggak merasa lapar sebelum Heath tanya tadi.

"Aku juga mau makan."

Dia tertawa. "Makan apa?" 

Sebelum aku ngomong, dia sudah ngomong lagi. "Dan demi cintaku padamu, tolong jangan pakai kata 'terserah' sialan itu lagi, Sayang."

Aku tertawa. Kukira cowok itu pintar. Kukira dengan bilang 'terserah' aja cowok sudah ngerti apa yang diinginkan cewek. Ternyata bukan cuma Heath, Drey, Tundra, dan Dave juga nggak suka kata 'terserah'. Padahal, kalau bilang 'terserah' kan berarti aku mau aja dibawa ke mana pun.

"Berhubung aku nggak ngerti sama sekali tentang kota ini sekalipun sudah tinggal dua mingguan di sini, aku pasrah aja kamu ajak ke mana juga yang penting aku bisa makan makanannya."

Dia tertawa, lalu mencium tanganku yang mulai berkeringat di dalam genggamannya. "Suka makanan India?"

"Nggak pernah makan makanan India."

"Enak," katanya sambil menggigit jempolku. "Aku pernah tinggal di India beberapa minggu dan mereka punya masakan yang enak sekali. Aku kesulitan dengan bahasa mereka, tapi makanan mereka luar biasa."

"Ceweknya juga keren," kataku berusaha memancingnya untuk bercerita masa lalunya selain tentang makanan.

"Aku tidak tahu," jawabnya singkat dengan bibir tertarik ke bawah. "Aku sibuk sekali. Aku tidak sempat ke mana-mana."

"Kamu nggak harus ke mana-mana. Kan tinggal telepon."

Dia menggigit tenganku lebih keras sambil tertawa. "Aku tidak bisa."

"Kenapa?"

"Aku sedang bekerja."

"Bullshit!"

Dia tertawa lebih keras. "Aku tahu. Bajingan memang sulit dipercaya."

"Nah, itu sadar diri."

Dia menggigiti tanganku dengan brutal sampai aku menjerit kesakitan. Bukannya minta maaf, dia malah tertawa keras banget. Pas di lampu merah, dia bilang, "Bagaimana caranya aku mengatakan kalau kamu membuatku sebahagia anak kecil?"

"Cium aku aja," kataku sambil tersenyum lebar.

Dia cuma memandangiku sambil memegang setir dengan satu tangan dan tangan yang satu lagi masih tetap menggenggam tanganku. Dia membuka bibir, tapi nggak melakukan gerakan apapun untuk menciumku. Lalu, lampu berubah hijau dan dia menyetir mobil lagi dalam diam.

Aku kecewa.

Kami berjalan kaki agak jauh dari restoran India yang dibilang Heath. Kami ngobrol soal hal-hal yang nggak penting sepanjang jalan. Heath mengajakku ke taman kecil yang penuh dengan salju. Dia mendorongku sampai jatuh tersungkur di tumpukan salju. Kubalas dengan menjegal kakinya, tapi gagal. Dia menjatuhkan diri di sebelahku waktu melihatku menjerit marah.

"Aku juga jatuh, kok." Dia menahan kepalaku agar tetap berbaring di tumpukan salju sampai aku menjerit-jerit marah. Dia malah tertawa.

Dia merangkulku sampai kami saling menempel. Dia tidak memedulikan orang yang mungkin melihat kami seperti dua orang aneh yang tiduran di tempat umum. Kalau di Indonesia mungkin kami sudah jadi bahan nyinyiran berhari-hari.

"Aku senang kamu kaya gini," kataku sambil meremas segenggam salju yang mirip banget es serut. Mungkin kalau aku ambil semangkok terus dikasi sirup bakalan enak kali, ya?

"Tidur di salju dan bertingkah seperti orang tidak waras?" Dia melemparku dengan serpihan salju yang langsung kubalas dengan melempar segenggam salju yang sudah kuremas.

"Bebas," jawabku tanpa memedulikan keluhannya saat kulempar salju tepat di wajahnya. "Kamu terlalu tegang, Heath. Kaya ada yang bikin kamu marah terus."

"Kenyataannya memang begitu."

Aku berbalik dan dengan cepat duduk di atas perutnya. Orang-orang lewat? Persetan dengan mereka.

"Coba kamu tertawa begini terus setiap hari dan nggak usah terlalu mikirin kerjaan. Pasti garis di jidatmu ini bakal berkurang."

Dia memegang pinggangku dan dengan cepat membalik posisi. Dia duduk di atas tubuhku.

"Aku mau sekali begitu. Sayangnya, sesuatu di dalam diriku melarangku."

"Apa memangnya?"

Dia tersenyum, lalu mendekatkan wajahnya padaku. "Aku ini jahat sekali, Bee."

"Jahati aku kalau gitu."

Dia menyentuh wajahku. Sayang, tangannya pakai sarung kulit. Biasanya, aku pasti merinding kalau disentuh begini sama jari hangatnya.

"Itu yang kumau," katanya sambil mendekatkan wajah padaku.

"Tunggu apa lagi?"

Dia tersenyum, lalu berdiri. Dia juga menarikku berdiri dan membersihkan salju yang menempel di rambut dan mantelku.

"Aku akan berusaha, Bee. Aku akan terus berusaha," katanya sambil mengecup bibirku. Ya, hanya kecupan. Lalu, dia merangkul bahuku saat kami berjalan menuju restoran India.

Ah, Heath! Lagi-lagi kamu nggak mah ngomong terus terang. Aku harus gimana, sih?

Aku suka makanan India yang disajikan. Kenikmatan yang luar biasa karena akhirnya bisa makan nasi dan bumbu kari yang benar-benar terasa rempahnya. Heath cuma mengambil sedikit bumbu karinya. Itu juga mukanya sudah merah banget. Dia memang lebih suka makanan yang tidak terlalu banyak bumbu. Hidupnya Heath tuh kaya serba plain gitu. Pancake sama omelet yang biasa dia pesan buat sarapan aja dimakan tanpa cocolan atau toping. Beda sama aku yang kalau bisa tuh botol saos sambal tuh kuminum langsung.

Pemilik restoran, mamak-mamak India yang  pakai anting panjang khas film India, menjelaskan tentang keistimewaan garam masala yang dipakai buat mengolah daging ayam yang disajikannya ke Heath. Aku nggak begitu paham dengan bahasa Inggrisnya karena kadang dia masih mencampur dengan bahasa India. Jadi, aku sibuk aja makan sambil sesekali memuji rasa makanan yang masuk ke mulutku. Emak-emak India itu kelihatan bahagia melihat nafsu makanku. Dia kasih aku gorengan gratis isi ayam kari yang kumakan pakai cocolan sambal khasnya yang gurih, manis, dan pedas.

"Aku nggak bisa jalan," kataku sambil bersandar di kursi setelah emak-emak India itu pergi. "Aku kekenyangan."

Heath terbahak-bahak.

"Enak banget sih. Sumpah. Eh, aku juga baru tahu kalai garam masala itu maksudnya remlah yang rasanya pedas. Kukira itu nama garam kaya garam Himalaya gitu."

"Panas, Sayang. Garam artinya panas, bukan pedas. Pedas itu kalau kamu menggigit cabai. Panas itu kalau kamu meminum air jahe atau merica."

"Ohhh... I see."

"Tempat ini yang terbaik di London." Heath menngecup jempol dan telunjuknya seperti chef-chef di TV.

"Terus kamu makan cuma segitu?"

"Karena aku tidak bisa menggendongmu ke mobil dalam keadaan kekenyangan," katanya sambil tertawa. "Ayo pulang! Sebentar lagi gelap."

Dia berdiri dan mengulurkan tangan padaku.

"Katanya mau gendong?"

Dia tertawa, lalu menarik napas panjang. "Semoga aku kuat menghadapi cobaan ini," katanya sambil mengangkatku dari kursi.

Aku tertawa waktu dia membopongku. Kulingkarkan tangan di lehernya dan menempelkan kepalaku di dadanya.

"I love you, Heath."

Dia menarik bibir ke bawah. "Cuma itu? Aku harus menggendongmu ke mobil dan cuma itu yang kamu berikan?"

Kutarik napas dalam-dalam, lalu aku menjerit, "I LOVE YOU, HEATH. I LOVE YOU FROM YESTERDAY UNTIL FOREVER."

Dia tertawa. Orang-orang yang lewat melihat kami dengan tersenyum atau mengejek dan Heath malah menertawakanku.

Kupukul lengannya.

"Aku bisa mencintaimu lebih dari itu," katanya dengan napas terengah. "Aku bisa menggendongmu lebih jauh dari ini."

"Aku percaya," kataku sambil mengusapkan wajah ke mantelnya seperti anak kucing yang cari perhatian.

Waktu sampai di mobil, Heath membukakan pintu belakang untukku. Setelah mengambil gitar di bagasi, dia ikut duduk di bangku belakang.

"Aku nggak tahu kalau kamu bisa main gitar."

Dia tertawa. "Aku belajar."

"Dari mana?"

"Youtube."

"Buat apa?"

Dia menatapku sambil memasang posisi gitarnya. "Membuatmu jatuh cinta padaku," ucapnya sambil mulai memetik gitar.

Setelah mengingat-ingat suara gitar dengan sangat hati-hati karena takut salah, aku baru tahu lagu apa yang dimainkannya. Aku mulai bernyanyi pelan, "I will not give you up this time. But darling, just kiss me slow, your heart is all I own and in your eyes you're holding mine."

Dia menatapku bingung. Kenapa? Dia nggak tahu lagu apa yang dimainkannya?

"Kamu asal ngikutin di Youtube yah? Nggak tahu lagu siapa? Perfect Duet-nya Ed Sheeran sama Beyonce? Nggak kenal juga?"

Dia nyengir. "Kecerdasan bermusikku memang buruk sekali."

Aku tertawa. "Ya sudah. Lanjut kalau gitu."

Dia kembali memainkan gitarnya dengan hati-hati dan aku kembali bernyanyi.

"Baby, I'm dancing in the dark with you between my arms. Barefoot on the grass, listening to our favorite song. When you said you looked a mess, I whispered underneath my breath. But you heard it, darling, you look perfect tonight."

Dia terus menatapku sambil memainkan gitarnya. Kali ini jarinya seperti bergerak sendiri.

Rasanya, di keremangan lampu kecil di dalam mobil aku melihat bibir membuka dan gemetar. Apa suaraku yang bikin dia begitu?

"Well I found a man, stronger than anyone I know. He shares my dreams, I hope that someday he'll share me home. I found a love, to carry more than just my secrets. To carry love, to carry children of our own. We are still kids, but we're so in love. Fighting against all odds. I know we'll be alright this time. Darling, just hold my hand. I be your girl, you'll be my man. I see my future in your eyes."

Dia berhenti memainkan gitarnya. Tapi, aku tetap bernyanyi, "Baby, I'm dancing in the dark, with you between my arms. Barefoot on the grass, listening to our favorite song. I have faith in what I see. Now I know I have met an angel in person and you looks perfect. I don't deserve this. You look perfect tonight."

Dia meletakkan gitarnya di lantai mobil dan memelukku erat sekali. Berkali-kali dia mengucapkan, "Maafkan aku. Maafkan aku, Bee. Maafkan aku."

Untuk apa, Heath? Untuk cinta yang indah ini?

"Heath?"

Pelukannya semakin erat.

Heath, kenapa rasanya sesak sekali? Padahal kita saling mencintai. Padahal tidak ada yang bisa memisahkan kita, kan? Kenapa begini?

Heath benar.

Begitu sampai rumah dan berhasil menidurkan Archie, Drey langsung meminta kepala rumah tangga (Kata Heath tugasnya mengurus segala sesuatu tentang rumah ini dan anggota keluarganya. Dia bukan pembantu. Kerjaan dia cuma mengatur semuanya. Dia punya sertifikat resmi dan kedudukannya sama terhormatnya dengan orang-orang di rumah ini. Semua bangsawan punya orang seperti ini. Kenal Alfred di film Batman? Nah, kaya gitu tuh.) untuk memanggilku.

Pas aku datang ke ruang tengah, Drey sedang berusaha menyakinkan Savanna untuk tidur duluan. Begitu melihatku, Savanna langsung bilang, "Dan kalau ini masalah adikku, aku harus ada di sini untuk mendengarkan. Drey, yang mendapatkan perintah untuk menjaga dia adalah aku, bukan kamu."

Melihat ekspresi Savanna yang galak begitu, Drey cuma bisa menggosok wajahnya keras-keras. Mana bisa dia menolak istri tercinta?

Heath duduk di pokok ruangan, menatap penuh amarah ke Drey. Sepertinya dia sudah tahu Drey mau ngomong apa. Pasti ini juga tentang aku.

Aku jadi deg-degan. Apa Drey mau balikin aku ke Jakarta?

"Ka-kalau aku nggak penting-penting amat di sini, mending aku balik ke kamar, deh. Aku ngantuk banget." Aku berusha menghindarinya.

"Setelah kencan dengan cowokmu itu?" Suara Drey terdengar menyindir banget.

Savanna berpaling pada Heath yang sama sekali nggak bergerak. "Heath?" tanya savanna bingung. "Memangnya apa yang dilakukan Heath?"

Drey terlihat nggak pengin menggubris pertanyaan istrinya. Dia menatapku dengan kesal. "Aku akan menemanimu ke New York besok."

"BESOK?!" jeritku bingung. "Ngapain?"

"Aku akan mengenalkanmu dengan temanku." Dia menggeleng, lalu memijat bagian belakang kepalanya. "Kamu akan menyukainya. Kalian akan menikah dan semua akan segera beres."

Beres? Dia kira aku sampah gitu? Begitu dikawinkan sama temannya di New York terus bisa beres dari hidupnya gitu?

"Drey, mulutmu tuh lama-lama keterlaluan, ya? Kamu pikir aku nih apa?"

Persetan sama Savanna. Aku mau bunuh lakinya. Aku mau sayat-sayat Drey terus kulempar ke kampung manusia kanibal.

"Percayalah, dia jauh lebih baik daripada teman kencan sampahmu itu."

"LO YANG SAMPAH." Kuberanikan menunjuk wajahnya sambil berjinjit biar nyamai tinggi dengan cowok jangkung itu. "Ngapain sih lo kaya gitu ke gue? Lebay! LO TUH LEBAY, DREY!"

"Kecilkan suaramu!" desisnya lagi.

"Dengar ya, Drey. Aku nggak setuju kalau kamu jodoh-jodohin Glacie begitu. Kalau memang Glacie punya pilihannya sendiri, kenapa nggak?"

Terima kasih banyak, Savanna. Aku senang dia membelaku, bukan suaminya yang kejulidannya sudah sampai level jahanam itu.

Drey berkali-kali mendengus kesal. Sekarang dia malah meremas-remas tangannya kaya orang yang siap-siap mukul gitu. "Kamu tidak tahu siapa yang dikencani Glacie, Sweet cake."

"Siapa?"

Jawab, tuh! Berani nggak dia nyebut nama Dave di depan Savanna?

Aku memasang senyum puas. Mana mau Drey menyebut nama Dave di depan Savanna. Lihat aja sekarang mukanya kaya harus menelan racun gitu.

Ayo, Drey! Aku mau lihat sampai mana kamu berani sama istrimu!

Setelah berusaha menelan ludah, Drey mengusap brewoknya dan berkata, "Aku akan mengajak Glacie ke New York, Sweet cake. Tanpa bertemu, mereka jelas tidak akan saling suka, kan? Kurasa, tidak ada gadis yang tidak menyukai Aaron Atkins. Dia laki-laki baik dan bertanggubg jawab. Aku sudah lama mengenalnya. Yah, kecuali otak Glacie memang benar-benar minim."

"My Lord ..." Savanna kelihatan jengkel sekali. "Kamu sendiri nggak suka dijodoh-jodohkan, kan?"

Heath yang berdiri diam di dekat meja terlihat lebih marah dari siapapun di ruangan ini. Kurasa, kalau dia nggak ingat siapa Drey dan apa yang sudah mereka berdua alami, kepala Drey sudah dibuat pecah sama dia.

"Aku melakukan ini demi kebaikan Glacie, Sweet cake. Dia selalu terlibat dengan laki-laki bertabiat buruk. Aku ingin masa depan yang baik untuknya. Dia itu adikku."

Nah, pintar banget kan kampret itu?

"Kaya dia tabiatnya baik aja."

Dia tersenyum miring. "Makanya aku tidak ingin kamu bersama laki-laki yang seperti aku, Dik. Aku menyayangimu."

Aku tersenyum lebar. "Drey, you know what? Benciku sama kamu tuh sudah sampai ubun-ubun."

Dia mendekatiku dan tersenyum penuh kemenangan. "You know what, aku sudah terbiasa bekerja sama dengan orang-orang yang membenciku."

Lalu, di ujung ruangan Heath jadi sangat muram dan gelap. 

***

Yaaaaayyy... Glacie diseret Bapak Julid ke New York. Wuaaahhhh... apa yang terjadi setelah Glacie ketemu Aaron Atkins ya? Apa mereka bakalan jadian? Apa Glacie nakal lupa sama Heath?

Kan saya sudah bilang jalannya Heath nggak akan semulus ini. Drey aja butuh bertahun-tahun dan berkali-kali nyaris mati sampai bisa jadi suami Savanna. Masa Heath gampang banget? Bwahahahahahhaha...

*author keji

Pasti kalian pengin bilang gini, kan?

Padahal ini adalah cara saya menunjukkan pada tokoh di dalam cerita saya bahwa saya:


Sama mereka, loh. Makanya, semakin ganteng, semakin berat cobaannya. Wkwkwkwkwk...

Tunggu hari Sabtu, ya. ♡♡♡

Kalau saya nggak lagi nulis di wattpad, saya biasanya nulis di akun instagram. Kalian bisa follow akun instagram @honeydee1710 untuk mengikuti postingan-postingan ini ♡♡♡

Saya memang nggak bisa berhenti nulis. Hahaha...

See you next episode of Nasty Glacie. Thank you for all of coments, love, laugh, and sooo many more. Don't forget to hit the star button on your screen and let me know that you loooove this part. ♡♡♡

Lots of love,

Honey Dee

Continue Reading

You'll Also Like

3.3M 29.1K 29
Tentang jayden cowok terkenal dingin dimata semua orang dan sangat mesum ketika hanya berdua dengan kekasihnya syerra.
286K 23.7K 79
Cinta hanya untuk manusia lemah, dan aku tidak butuh cinta ~ Ellian Cinta itu sebuah perasaan yang ikhlas dari hati, kita tidak bisa menyangkalnya a...
10.8M 432K 48
[Sudah diterbitkan ] Cameyla Atwood, gadis kikuk yang ditindas teman-temannya, ternyata salah satu anggota dari sebuah keluarga selebriti. Tak ada ya...
6.4M 307K 47
Apa jadinya jika kedua orang yang saling bertengkar di sekolah kini menjadi satu atap rumah dan berstatus sebagai suami-istri. Sang ketua Osis yang t...