Nasty Glacie (Terbit - Rainbo...

By honeydee1710

3.6M 302K 84K

(PART TIDAK DIHAPUS ) Gimana sih rasanya jadi cewek kaya mendadak? Bisa jalan-jalan ke luar negeri, punya bod... More

Dear Readers
I am Glacie
Start From Here
Over-Protected Man
Special Note
Four Girls and A Cute Guy
Pretty Hurts
Smell Like Angel
That Beautiful Face
In The Arms of Love
Oh, Baby Baby ...
That Stupid Reason
The Best Gift Ever
Sparkling Ice
Turn to Sweetest Thing
Miss You Like Crazy
Fire Me, Firefly!
Don't Wanna Let You Go
Millions Miles Away
In the Depth of Past
Flying With Your Wings
Behind the Screen: Leo Firnanda
In London We Fall
Hurt Like This
This is How It Ends
Behind the Screen : Heath Grahamm
Part I Hate The Most
Powerless
Lord of the Beast
Wrecked Heart
Behind the Screen : Aaron Atkins
Vanilla Sky
Rockwood Tower
Additional Part
A Trouble with Love is ...
Virgin
Screaming Out
In a Dream Land
Behind The Screen : Gary Newman
Magic
Behind the Screen: Dave Malik
Revenged
Behind The Screen: Drey Syailendra
Linger
Avenged Sevenfold
Behind The Screen: Glacier
The Best Laid Plan
Blood in Your Smile
Howling Night
Saint and Sinner
The Night After
Shout It From Rooftop
Rough Night
Home
Behind the Screen : Heath Grahamm 2
A Life Before
Killing Him Softly
Gentle Touch
Behind the Screen : Shawn Grahamm-Collins
Apologize
Additional Part 1 (Heath VS Marriage)
Additional Part 2 (Dave Video Call)
(Un)Broken Vow Cover Launch
Additional Part : Twitter
Additional Part : Punishment
Additional Part : Cursed
Additional Part : Chatting
Pre Order Nasty Glacie
I am So Sorry, Bee
Finally - Good News
Pre Order Nasty Glacie edisi Revisi
Glacie♡Dave Spin Off - PDKT
Glacie ♡ Heath : Life

Best Place in the World

39.3K 4.1K 720
By honeydee1710

Sebelum Dave menyelesaikan pesanannya, kuseret dia keluar dari tempat itu.

"Apa sih, Glace?" protes Dave saat kami ada di meja resepsionis.

Berkali-kali aku mengintip Drey dari balik tas tangan yang kututupkan ke wajah. Drey sudah nggak melihat kami. Dia memang nggak perlu memastikan lagi. Dia sudah lihat mukaku dengan jelas tadi. Dave juga nggak mungkin nggak terlihat dengan body segede itu.

"Drey tahu," desisku sambil menunduk ke pintu keluar. Aku tadi sampai membentak penjaga lemari mantel supaya cepat mengambilkan mantelku.

"Memang kenapa kalau dia tahu?" tanya Dave sambil memakai mantelnya.

Aku menggeram kepadanya. "Lo ingat waktu lo dihajar di rumah sakit? Lo mau kaya gitu lagi?"

Wajah Dave terlihat seperti mau muntah. "Waktu itu ... aku lagi nggak siap."

Aku memutar mata sambil berdecak. Nggak sadar diri ni orang. Bukannya meremehkan Dave sih. Tapi, nenek keriput yang bau tanah juga tahu Drey Syailendra itu nggak punya belas kasihan kalau sudah berhadapan sama lawan. Nggak mulut, nggak tangan sama kejamnya. Jangankan cuma Dave, kingkong ngamuk aja bakalan dikuliti sama Drey.

"Whatever," jawabku sambil mengancingkan mantel dan berjalan cepat.

Aku lagi malas ribut sama Dave. Pokoknya aku harus membawa Dave jauh dari Drey. Kasihan kalau dibikin umur pendek sama orang itu.

"Kamu meremehkan aku? Kamu pikir aku segitu lemahnya sampai nggak bisa hadapi dia?"

Aku berhenti di depannya. "Mas, gue lihat sendiri Drey bunuhin orang bersenjata. Gue lihat sendiri gimana dia dihajar, tapi nggak ngerasa sakit. Drey itu mesin pembunuh. Kalau dia ngerasa keluarganya terancam, dia bisa matiin siapa aja. Dan, lo ingat ya. Heath itu tangan kanannya Drey. Kalau Drey sudah nyuruh dia bunuh lo, gue yakin Heath nggak bakal menolak."

"Kok bisa?"

"Mereka saling hutang budi. Drey bilang Heath menyelamatkan hidupnya dan Heath bilang Drey juga nyelametin hidupnya."

"Terus, kenapa dia nggak merestui hubungan kalian?"

Aku mengangkat bahu, lalu menunduk. "Katanya, gue bakal nyakiti Heath. Gue nggak punya masa depan sama Heath."

"Kok gitu? Dia pengin kamu sama cowok yang lebih kaya?"

Aku menggeleng.

Mana kutahu apa yang ada di otak Drey. Kurasa, dia bukan orang yang membedakan manusia sesuai dengan tingkat kekayaannya. Dia dan Savanna juga beda kasta, kan? Aku juga kan dari kaum jelata. Dia mau aja ngangkat derajatku. Dia juga nggak risih kan ketemu sama Ibu dulu? Rasanya kalau urusan duit, Drey nggak mungkin gitu, deh.

Tapi, aku masih nggak ngerti ada apa antara Heath sama Drey.

Kami diam sebentar di pinggir jalan. Salju turun lagi. Kali ini cuma sedikit, tapi pas banget sama suasana hatiku yang dingin.

Sebenarnya kami bisa saja langsung minta dicarikan taksi tadi. Tapi, nggak tahu kenapa kakiku malah melangkah cepat menjauhi Clos Magiore. Sedang Dave malah terus mengikuti langkahku.

"Ke situ, yuk!" Dave menunjuk toko kue kecil yang ada di seberang jalan. Aku mengangguk, lalu berjalan mengikutinya. Lumayan lah daripada berdiri di pinggir jalan yang lagi turun salju begini. Masuk ke toko kue hangat dan duduk sambil minum teh kayanya enak.

Aku berpegang pada lengan Dave biar nggak jatuh. Aku lagi pakai high heels yang solnya biasa. Jadi, kudu jalan pelan banget sekarang biar nggak terpeleset.

"Gimana kalau kamu kuseret? Lambat banget jalannya," gerutu Dave.

"Boleh," jawabku tenang. "Tapi habis itu lobang hidung lo gue tancepin ke hidrant itu, ya?"

Dia ngakak sampai kami masuk ke dalam toko kue.

Aroma kayu manis, butter, dan gula menyambut kami. Nggak banyak orang di dalam toko kue ini. Mbak-mbak bule yang rambutnya nyaris putih tersenyum di depan meja kasir. Pasti dia tersenyum sama Dave, bukan sama aku. Dia langsung lari ke belakang meja kasir dan memasang tampang "siap melayani" dengan senyum lebar.

"Gue langsung duduk, ya. Lo pesen apa aja terserah," kataku tahu diri. Siapa tahu Dave mau bawa pulang tu cewek. Yah, siapa tahu mereka jodoh, kan?

Mereka kelihatannya ngobrol agak lama. Entah Dave ngomong apa, tu cewek tertawa agak keras. Pipinya jadi merah banget. Lucu deh lihat orang berkulit pucat dan pipi berbintik jadi bersemu kaya gitu. Manis banget.

Heath meneleponku.

"Heath?"

"Kenapa pergi?" Suaranya terdengar khawatir.

"Ketahuan Drey," jawabku kesal.

Dia tertawa. "Kelihatannya bosku marah besar."

"Bunuhin dia buat gue, dong. Kesel gue lihatnya."

Dia tertawa lagi. "Jangan. Kamu tidak tahu kekejaman yang bisa dilakukan istrinya padaku."

Sekarang aku yang tertawa. "I miss you, Heath."

Dia diam saja. Mungkin ada Drey di dekatnya.

"Kita bertemu di rumah," ucapnya sebelum menutup telepon.

Kupandangi layar HP dengan kesal. Sampai kapan kami harus begini terus? Kucing-kucingan sama Drey, ketakutan sendiri setiap mau ketemu?

Heath, aku cuma mau kamu.

"Bantuin tarik kursinya, dong."

Aku berpaling pada Dave yang berdiri di sebelahku dengan membawa nampan yang penuh macam-macam kue.

Aku berdiri dan menarik kursi buat dia.

"Makasih," jawabnya sambil meletakkan nampan dan duduk di kursi itu.

Dave membelikanku kue-kue manis yang bikin enek. Lumayan lah buat ganjal perut dingin-dingin gini.

"Berapa? Gue ganti harga kuenya," kataku sambil menggigit croisant hangat.

"Aku yang traktir." Dave menata kue-kue itu sampai baris rapi di nampan dan mengambil sepiring kecil key lime pie yang kelihatannya enak.

"Makasih, ya."

"Sama-sama," katanya sambil memasukkan sepotong besar key lime pie ke mulutnya. "Lengkap banget kue di sini. Mereka bikinnya sedikit, tapi banyak jenisnya."

"Minta, dong." Kutarik garpu kecil lain di nampan dan kupotong kuenya.

"Aku nggak bisa terlalu banyak makan makanan manis sebenarnya. Tapi, sesekali hangover sama makanan manis nggak apa-apa, kan?"

"Besok lo naik pesawat, loh. Eh, enak banget, nih."

"Iya enak banget. Andai hidupku seenak kue ini, ya." Dia tersenyum. Matanya menatap kue yang sekarang dipotongnya lagi. Waktu memasukkan kue ke dalam mulut, dia tersenyum kepadaku. Senyum yang nggak bisa dibilang bahagia, sih. Kayanya dia menyimpan kesedihan.

Aku diam saja sambil mengusap punggungnya. Mungkin kalau cewek, dia bakal nangis sekarang. Aku beruntung banget jadi cewek yang bisa nangis kapan saja tanpa khawatir dikata-katai orang.

Sepanjang makan, kami sama-sama diam. Sepertinya, dia sibuk sama pemikirannya sendiri. Dia berkali-kali menunduk, memandangi kue yang akan dimakannya. Sedang aku menulis pesan untuk Heath. "Kami ada di toko kue nggak jauh dari situ. Habis ini kami pulang. Dave masih syok banget kayanya. Love you, Firefly."

Dia nggak jawab. Kayanya karena nggak enak sama Drey dan Savanna. Apa dia masih sibuk gendong Archie? Nggak taulah. Kurasa, dia pasti sudah tahu juga di mana kami.

Dia memang selalu tahu.

"Kamu mau pulang?" tanya Dave sambil mengelap mulutnya pakai kertas tisu.

Aku mengangguk.

"Aku antar, ya?"

Aku menggeleng. "Lo balik ke hotel aja."

"Mana boleh cowok ninggalin cewek sendirian? Kamu pasti nggak tahu kalau dibawa supir ke tempat lain, kan? Kalau kamu diculik, bisa aku yang dibunuh pacarmu."

Aku nyengir. "Lo mau lihat rumah Drey, kan? Mau nyamperin kalau ada kesempatan?"

Dia terbahak. "Sialan!" Dia menghela napas sambil memandangi tisu yang dimainkannya dari tadi. "Aku pengin gitu. Tapi ... aku nggak bisa. Gimana kalau nanti Ana ..."

"Kalau Drey yang ada di posisi lo, dia bakal nyamperin Savanna."

Dave mengerutkan kening, memperhatikanku.

Kutarik napas dalam-dalam sebelum mulai bercerita. "Dulu, dia datang ke kos Savanna. Waktu kalian masih di rumahnya untuk ngerayain ulang tahunnya itu. Dia pikir kalian pulang sore. Dia nungguin Savanna di kamarnya sambil bawa banyak banget mawar."

Wajah Dave berubah murung. Dia membuka mulutnya tapi nggak ngomong apa-apa. Lalu, sepertinya dia sadar kalau posenya jelek banget. Jadi dia mengatupkan bibir rapat-rapat. Hampir digigit gitu bibirnya.

Setelah puas melihat ekspresi lawan bicaraku, aku melanjutkan, "Waktu Savanna minggat ke Surabaya, lo telepon Drey kan? Waktu lo nangis di telepon, dia ngebut ke bandara buat ngejar Savanna. Dia tahu akhirnya Savanna memilih lepas dari lo, tapi nggak sudi balik ke dia. Drey menghabiskan enam bulan buat nyari Savanna di jalanan Surabaya. Gue rasa, kalau Savanna pindah alam pun dia bakal terus ngejar."

"Menurutmu, dia lebih pantas mendapatkan Savanna?"

Aku menggeleng. "Mereka memang tercipta untuk saling mencari, Dave. Pas Ibu mau meninggal, Ibu minta Savanna bawa Drey, bapak dari anak yang dikandungnya. Sori, bukan lo. Soalnya Ibu tuh sudah tahu Drey sayang banget sama Savanna dari tiga tahun lalu. Diam-diam, Drey rutin ketemu sama Ibu. And, you know, malam itu Savanna rela semalaman duduk di depan apartemen Drey buat nungguin dia. Dalam kondisi hamil besar gitu, cuma orang segila Savanna yang mau duduk di tempat parkir, Dave. Cuma Savanna cewek yang mau pasang badan kalau ada yang jahatin Drey." Buru-buru kuhapus airmata yang otomatis turun. "Itu bukan karena ibu, tapi karena Savanna sadar kalau dia mencintai Drey. Dia sasar kalau sejauh apapun dia lari, dia akan selalu merindukan Drey."

Dave menghela napas panjang, lalu bersandar ke kursi. Dia memainkan garpu di piring seperti orang melamun.

"Aku cuma orang sial yang duduk di antara dua monster?"

Kutepuk lengannya pelan. "Kita ketemu sama orang yang salah biar kita bisa menghargai orang yang benar saat dia datang." Aku tersenyum kepadanya. "Ini kata Savanna."

Dia diam lagi.

Setelah lima belas menit dalam diam, dia mengajakku keluar. Di dalam taksi juga dia diam banget. Dia menatap ke luar jendela sambil mencet dagunya terus.

Pas sampai di depan rumah Drey, dia mengangkat alis. Kelihatannya dia kaguk sama rumah Drey, apalagi pekerja beru memasukkan dua audi ke dalam garasi.

"Orang itu memang punya segalanya, ya?" komentar Dave sambil mengerutkan bibir.

Aku senyum lebar. "Ya, dia memang punya segalanya, termasuk rasa sakit yang nggak pernah dirasakan manusia biasa." Kutepuk tangannya. "Dave, jangan lihat apa yang dimiliki orang lain. Lo nggak tahu apa yang sudah dikorbankannya sampai bisa memiliki semua ini."

"Apa yang dikorbankannya?"

Aku cuma senyum. Orang nggak akan percaya kalau laki-laki seperti Drey punya masa lalu yang mengerikan. Orang nggak akan tahu penderitaan yang pernah dilaluinya. Orang nggak akan peduli. Bagi mereka, Drey cuma sosok yang patut dipuja, bukan dikasihani.

"Yang ngerti dia cuma Savanna, istrinya. Itulah kenapa dia cuma takluk sama Savanna." Aku membuka pintu taksi. "Night, Dave. Gue sudah kangen naik busway."

Dia tertawa. "Iparnya orang terkaya se-Asia naik busway?"

Sebelum menutup pintu taksi, aku berkata padanya, "lo nggak akan percaya kalau tu orang lebih senang jajan di pinggir jalan daripada makan di resto seperti tadi." Kuulurkan tangan untuk bersalaman sama dia. "Makasih ya buat kado dan kuenya. Bye, Dave. Hati-hati besok di pesawat ya. Jangan nganuin pramugari. Entar lo dilempar ke laut jadi mermaidman, loh."

Di dalam taksi, Dave melambai kepadaku.

Nah, sekarang aku harus memikirkan urusanku sama Drey. Dia nggak bakalan mau ngomong baik-baik sama aku setelah lihat mukanya Dave tadi. Aku harus berunding dulu sama Heath malam ini. Jadi, sebaiknya kuhindari saja dulu si Drey sampai pagi.

Setelah yakin Drey belum pulang, aku masuk ke kamar dan ganti baju. Kuselesaikan semua persiapan mau tidurku terus main HP di tempat tidur. Kualihkan semua panggilan biar Drey nggak tahu kalau aku masih melek.

Nggak tahu jam berapa, aku terbangun waktu dengar suara pintu diketuk.

Siapa?

Suara ketukannya konstan dan pelan, sepertinya biar nggak ada yang dengar.

Rumah ini nggak ada hantunya, kan?

"Little bee."

Apa aku mimpi? Heath?

Dia kangen aku?

Kunyalakan lampu meja dan kurapikan rambutku sedikit dan kopoles bibir dengan lipgloss. Siapa yang tahu apa yang bakla terjadi ya, kan?

Setelah memastikan ikatan mantel tidurku terpasang sempurna, kubuka pintu pelan-pelan.

Drey menyeringai di depan pintu.

"Kampret!" desisku sambil menutup pintu.

Drey mendorong pintu. Walau cuma dengan satu tangan, tapi hentakannya kuat. Aku sampai terdorong mundur.

Dia menyalakan lampu dan mengunci pintu. "Apa yang kamu lakukan dengannya?"

"Si-siapa?"

Dia mengangkat sebelah alis. "Kamu tahu siapa yang kumaksud."

"Ng-nggak tahu."

Dia menggeleng. "Glacie. Kamu memang tidak pernah pintar, Dik. Kamu juga tidak pintar dalam berbohong. Aku tahu dengan siapa kamu makan malam."

"Apa sih lo? Rese banget sumpah!"

Dia menangkap tanganku dan memicingkan mata. "Kenapa kamu pergi dengan dia?" Suaranya tajam dan dingin.

Aku menelan ludah.

"Gu-gue mau ngadu ke Savanna."

"Aku juga bisa mengadu padanya."

"Lo tuh cowok lambe turah, Drey."

Dia tersenyum dan melepaskan tanganku.

"Terima kasih." Dia duduk di recliner kesukaanku. "Sekarang, katakan padaku kenapa kamu duduk untuk memata-matai kami dengan Dave Malik?"

"Gue nggak mata-matai lo. Gue jalan sama Dave. Itu aja."

"Heath?"

"Lo bilang nggak usah. Ya udah gue sama yang lain."

Dia tersenyum lebar, nyaris tertawa. "Kamu pikir aku bisa dibohongi?"

Kulempar dia dengan bantal, selimut, baju bekas pakai, dan apapun yang bisa diraih tanganku. "KENAPA SIH LO TUH USIL BANGET SAMA HIDUP ORANG? KENAPA LO BIKIN GUE NGAMUK TERUS? GUE DEKET SAMA SIAPA JUGA KAN BUKAN URUSAN LO, DREY?"

Dia memiringkan kepala. "Kamu memang susah sekali diatur, Glace."

"Emang kenapa lo harus ngatur gue?"

"Kenapa kamu selalu bersama laki-laki yang ... tidak masuk akal."

"Terus, lo masuk akal gitu?"

Dia mendengus. "Lupakan dia! Aku akan mengenalkanmu dengan laki-laki yang sebenarnya."

"Kampret lo, Drey!"

Dia berjalan ke pintu, lalu berbalik padaku lagi. "Aku tidak mengerti apa yang ada di kepalamu, Glacie. Dave Malik? Astaga! Kamu ada di London sekarang, kamu punya banyak pilihan. Kenapa yang kamu pilih malah ogre itu?"

"Mulut lo ya, Drey. Cowok cakep gitu lo kata Ogre. Kalau otak sudah ketutupan brewok ya kaya gini, nih."

Dia tersenyum sinis. "Tapi dia sisa kakakmu."

Kuacungkan jari tengah kepadanya.

Untung aku nggak pacaran beneran sama Dave jadi nggak sakit hati dengar kata "sisaan" itu.

"Apapun yang kamu pikirkan, aku tidak suka kamu berhubungan dengan dia. Astaga, kamu bisa mendapatkan banyak laki-laki baik, Dik. Kenapa malah mengumpulkan keparat dalam hidupmu?"

"Udah pernah ngaca belum sih, Drey?"

"Akan kuperlihatkan bagaimana laki-laki sejati. Menurut saja padaku."

Kalau dia belum puas dulu diludahi Savanna, aku mau banget meludahi mukanya lagi. Aku cuma butuh semenit buat mengumpulkan semua dahak terus kusemburkan ke mukanya.

Dia menggeleng dan beranjak ke pintu.

Waktu dia buka pintu, Heath sudah berdiri di depan kamarku. Dia memandang Drey dengan kesal. Nggak mau kalah, Drey menunjuk wajahnya. "Kenapa kamu biarkan dia bertemu dengan Dave Malik?"

Heath mengangkat alis. "Dia bukan anakmu. Kamu tidak bisa mengatur dengan siapa dia keluar. Lagi pula, apa yang salah dengan Dave Malik?"

Mampus! Makan tuh, Drey!

Drey mendekati Heath dengan posisi mengintimidasi. Untung tinggi mereka hampir sama. Kalau Tundra yang sedikit lebih pendek dari Drey mungkin sudah terlihat ciut.

Heath menarik napas. "Kamu punya alasan melarangnya denganku. Sekarang, alasan apa lagi untuk melarangnya dengan Dave?"

Drey diam saja. Tangannya saja yang terkepal dan pembuluh darah di pelipisnya berkedut menandakan kalau dia emosi banget.

"Jangan jadikan keegoisanmu sebagai alasan. Kamu tidak punya hak mengatur hidupnya," kata Heath lagi dengan tampang menyebalkannya yang pasti membuat Drey pengin pecahin tembok.

Setelah menarik napas dalam-dalam, Drey menggeleng, lalu mengusap brewoknya sebelum meninggalkan kami.

Aku mengepalkan tangan penuh kemenangan. "Keren! Cuma lo yang bisa bikin Drey Syailendra kaya gitu," kataku dengan suara tertahan.

Dia tetap berdiri di tempatnya sambil senyum-senyum. "Selamat malam, Little Bee," ucapnya ringan.

"Lo nggak masuk dulu?"

Dia menunduk.

"Heath?"

Aku mendekat. Aroma permen manis tercium darinya. Mungkin Archie mengelapkan tangannya yang lengket karena permen di bajunya. Kusentuh kaus putih di balik jas biru yang sewarna dengan matanya. "Lo seharusnya tahu kalau gue kangen banget sama lo."

Aku menelan ludah sebelum menarik jasnya. Dia nggak menolak. Dia mengikuti tarikanku. Sayangnya, dia berhenti di depan pintu. Dia berpegang pada kusen.

"Selangkah lagi, aku harus mengambil risiko terbunuh, Bee."

"Gue kira lo mau melakukan apa aja buat gue."

Dia tersenyum, lalu menggeleng. "Memang."

"Terus?"

Dia melepaskan tangannya dari kusen pintu, lalu memelukku. Pelukan yang kurindukan. Rasanya hangat sekali. Dia menyesap rambutku dalam-dalam. Aku bersyukur sudah keramas tadi. Pasti dia mencium sampoku yang beraroma anggur manis, mirip minuman merahnya Dave.

"Kukira aku sudah kehilanganmu, Bee." Dia berbisik dan mendesah sekaligus.

"Kenapa gue bisa hilang?"

Dia tersenyum di telingaku. Kakinya menendang pelan pintu sampai menutup, lalu dia berjalan tanpa melepaskan pelukannya.

Saat berusaha mundur, aku baru sadar kalau kakiku nggak menyentuh lantai. Aku sepenuhnya dalam gendongan Heath.

"Aku mencintaimu, Bee. Aku senang sekali kita bisa begini."

Dia mendesakku ke tempat tidur. Tubuhnya di atas tubuhku. Tangannya menggenggam tanganku di atas kepala. Saat dia mengangkat tubuhnya, kulihat mata birunya berkilau. Bibirnya tersenyum. Dia menyentuhkan hidungnya pada hidungku, lalu pipiku juga. Hidungnya licin berminyak dan hangat.

Aku tersenyum untuk menutupi kegelisahanku. Sentuhan hidungnya membuatku merinding.

Apa ada darinya yang nggak kusuka? Apa yang jelek darinya?

"Gue juga suka, Heath. Gue suka semua yang lo lakukan. Gue suka semua yang ada pada diri lo."

Dia tersenyum lebar, lalu mengecup bibirku. "Terima kasih, Little bee."

Dia merebahkan kepala ke bahuku. Brewoknya menusuk kulit bahu dan leherku. Geli dan agak sakit sih sebenarnya. Aku pengin bilang, tapi nggak enak.

Lalu, ia menyelipkan tangannya ke belakang tubuhku. "Ini tempat terbaik untuk tidur," katanya sambil memejamkan mata. Nggak lama kemudian, napasnya sudah terdengar teratur.

Cepat banget! Masa dia secapek itu?

Kubelai rambut cokelatnya yang kaku karena krim rambut. Tanganku menelusuri alis dan bulu matanya juga. Di ujung hidungnya ada sedikit keringat, padahal pemanas ruangan nggak terlalu hangat, kok. Apa karena dia pakai jas? Apa karena dia habis emosi sama Drey?

Dulu, Ibu pernah bilang kalau orang yang mudah berkeringat di ujung hidung itu cemburuan. Apa Heath cemburuan?

Kamu cemburuan, Firefly? Apa tadi kamu cemburu waktu aku duduk sama Dave? Apa kamu tadi berpikir kalau aku bakal sama Dave lagi?

"Kenapa harus firefly sih, Heath? Lo bisa jadi lebih keren dari serangga yang menyala," bisikku.

Aku tahu, dia nggak dengar lagi. Dia sudah tidur di pelukanku, tanpa melepas sepatu, tanpa mematikan lampu, tanpa memakai selimut. Dia tidur dengan nyenyak sekali di pelukanku.

Tuhan, tolong jangan biarkan kami lama-lama begini. Bikin kami menikah, Tuhan. Aku nggak pengin apa-apa selain nikah sama dia, bikin hatinya tenang begini, dan punya anak dari dia. Cuma itu, kok. Sekalipun dia nggak sekaya Drey, nggak bisa beliin aku banyak rumah atau pesawat atau apa yang bisa Drey belikan untuk Ana, aku nggak peduli. Aku cuma pengin rumah kecil di Jakarta atau di mana saja yang dia mau untuk kami dan anak-anak kami, Tuhan.

Sederhana, kan?

Cuma ini doaku. Cuma ini yang kuinginkan dari Heath. Cuma ini yang kuharapkan dari dunia ini.

Namun, sampai saat cerita ini kutulis, keinginan itu adalah keinginan paling mewah di dunia buat Heath, bahkan sekalipun dia memakai semua uang Drey.

♡♡♡

Terus gimana maksudnya? Apa yang harus dilakukan Heath?

Semoga mereka bisa barengan ya. Aamiin...

Terima kasih banyak buat kalian yang sudah rela menunggu untuk membaca cerita ini lagi. ♡♡♡ semoga kalian makin suka, makin penasaran, dan makin nggak bisa tidur. Bwahahahahaha...

Part berikutnya berjudul Part I Hate The Most akan launching hari Selasa, ya.

And I want to share my happiness.
Taaa daaa ...
Rooftop Buddies menjadi recomended book versi Buku GPU minggu ini ♡♡♡

Pantes aja Savanna sampai suka banget sama buku ini. Hahaha...

Di Gramedia beberapa kota yang stoknya dikit (seperti kota saya) buku ini memang sudah habis. (Diborong Drey kali yak. Wkwkwkwk...) Kalian bisa pesan di Gramedia.com atau di toko buku online resmi lainnya. Tapi, jangan beli yang bajakan, ya. It hurts me sooo much.

Doakan semoga buku ini bisa cepat cetak ulang ya, Gaes. ♡♡♡

Buat kalian yang pengin punya versi bertanda tangan dan bercipok manja, bisa inbox saya karena saya dua hari lagi akan dapat beberapa kopi yang bisa kalian adopsi. Nggak banyak sepertinya. Hehe.

Semalam belum satu jam saya pajang pengumuman di story facebook langsung pada inden. Wkwkwkwk...

Love you through the universe,

Honey Dee

Continue Reading

You'll Also Like

SUMMER TRIANGLE By -

Teen Fiction

273K 15.4K 51
Ada satu hal yang akan kau ketahui saat menatap mata Lyra. Bahwa gadis itu begitu mencintai Baren, namun sebaliknya mungkin Baren tidak.
5.8M 309K 73
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
126K 8.5K 65
[Season 2 My Dearest Enemy] Kisah Ica dan tim Delta masih terus berlanjut. Semakin banyak masalah, baik dalam kehidupan pribadi serta pekerjaan merek...
339K 31.4K 52
[COMPLETE] [DI PRIVAT BEBERAPA PART] [Highest rank #83 in teenfiction, 30-6-17] Agatha tidak tahu harus menerima atau mengutuk takdir yang memperte...