[TBS 1] : Everything [COMPLET...

By LuvenaKei

556K 39.3K 6.5K

[NEW VERSI] [Twin Brother Series : 1] Kesalahpahaman di masa lalu sudah memutar balik keadaan. Angin yang dul... More

:: SATU
:: DUA
:: TIGA
:: EMPAT
:: LIMA
:: ENAM
:: TUJUH
:: DELAPAN
:: SEMBILAN
:: SEPULUH
idk.
:: SEBELAS
:: DUABELAS
FY
:: TIGA BELAS
:: EMPAT BELAS
:: LIMA BELAS
note
:: ENAM BELAS
:: TUJUH BELAS
:: DELAPAN BELAS
:: SEMBILAN BELAS
:: DUA PULUH
:: DUA PULUH SATU
:: DUA PULUH DUA
:: DUA PULUH TIGA
:: DUA PULUH EMPAT
:: DUA PULUH LIMA
:: DUA PULUH ENAM
:: DUA PULUH TUJUH
:: DUA PULUH DELAPAN
:: DUA PULUH SEMBILAN
:: TIGA PULUH
:: TIGA PULUH SATU
:: TIGA PULUH DUA
:: TIGA PULUH TIGA
Baca ya!
πŸ”
:: TIGA PULUH EMPAT
:: TIGA PULUH LIMA
A/N
:: TIGA PULUH ENAM
:: TIGA PULUH TUJUH
:: TIGA PULUH DELAPAN
:: EMPAT PULUH
PENTING!
:: EMPAT PULUH SATU
:: EMPAT PULUH DUA
:: EMPAT PULUH TIGA
:: EMPAT PULUH EMPAT
:: EMPAT PULUH LIMA
:: EMPAT PULUH ENAM
:: EMPAT PULUH TUJUH
:: EMPAT PULUH DELAPAN
:: EMPAT PULUH SEMBILAN
:: LIMA PULUH
:: LIMA PULUH SATU
:: LIMA PULUH DUA
:: LIMA PULUH TIGA
:: LIMA PULUH EMPAT
:: LIMA PULUH LIMA
:: LIMA PULUH ENAM
:: LIMA PULUH TUJUH
:: LIMA PULUH DELAPAN
:: LIMA PULUH SEMBILAN
:: ENAM PULUH (Bukan Ending)
:: ENAM PULUH SATU (Ending?)
:: Everything
:: EKSTRA PART - 01

:: TIGA PULUH SEMBILAN

8.1K 567 190
By LuvenaKei

Cowok yang sudah mengganti pakaiannya itu, kini menggenakan kaus berwana abu-abu dan celana jeans selutut.

Ia sekarang berdiri di depan sebuah pintu yang terdapat gantungan bertuliskan 'Fearless' berwarna hitam.

Tangannya mendorong pintu yang ternyata tidak dikunci oleh pemiliknya dengan segala bertimbangan sebelumnya.

Farel menghela napas sebelum masuk dan berjalan ke arah cowok yang duduk di balkon.

"Gue minta maaf," ucap Farel dengan tangan yang bertumpu pada besi balkon untuk menyangga tubuhnya.

Raffa yang duduk dengan satu kaki  terangkat di atas kursi dan kedua tangan yang menyangga kakinya, memperhatikan punggung Farel di depannya.

Ia tidak tahu dengan apa yang sedang ia rasakan sekarang. Raffa memejamkan matanya untuk beberapa saat.

Detik berikutnya ia berdiri di sebelah Farel, melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan saudaranya itu.

Kepalanya menoleh ke kanan memperhatikan Farel yang masih asik menatap lurus ke depan, "Gue mau lo sembuh dari penyakit lo."

Farel mengangkat sudut bibirnya, membuat senyum miring tercetak di wajahnya.

"Semua penyakit dan kesehatan itu ada di tangan Tuhan. Kita nggak bisa maksa, Tuhan buat selalu kasih kesehatan buat kita."

"Gue tau," Raffa mengembuskan napas lelah, "gue cuman nggak mau kehilangan lo. Kayak gue kehilangan Kak Arga."

Farel menepuk pundak Raffa dua kali, "Tuhan, tau mana yang terbaik buat kita," ucapnya dengan senyum yang masih terlihat di wajah Farel.

Raffa benar-benar tidak mengerti dengan Farel. Cowok itu berhasil menyembunyikan semuanya dengan rapi, Farel bahkan mampu menyimpan penyakitnya dari orang di sekitarnya terutama keluarganya.

"Gue heran sama lo."

Farel mengernyit, "Maksud, lo?"

"Ya, kenapa lo bisa terlihat baik-baik aja. Justru lo nggak terlihat kayak orang yang lagi sakit, gue juga nggak pernah liat lo kesakitan. Ya, kecuali pas lo dipukul sama Ayah."

Farel membuang pandangannya, mendongak memperhatikan langit malam yang kali ini terlihat mendung.

"Sebenarnya pernah, cuman lo, kan nggak peka," ucap Farel dengan kekehannya.

"Si anjirr." Raffa memutar bola matanya, "Kapan?"

"Waktu lo masuk kamar gue mau pinjem penggaris dua waktu itu."

Ingatan Raffa berusaha memutar kejadian yang Farel maksud, ia memang masuk ke dalam kamar Farel.

Cowok itu mendengar rintihan dari dalam kamar mandi yang ada di dalam kamar Farel dan saat ditanya,  Farel mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja.

Cowok itu juga mengusir Raffa untuk segera keluar dari kamarnya. Akan tetapi, saat Raffa hendak keluar dirinya tanpa sengaja memperhatikan beberapa lembar tissue dengan bercak darah di atas nakas juga botol kecil berisi obat.

Belum sempat Raffa melihat obat itu Farel sudah mendorongnya untuk keluar.

***


"Dimana?"

"Rooftop," ucap seorang cowok. Dahinya mengernyit saat telefon dimatikan sepihak.

"Dih, dasar, nggak sopan." Gerutu cowok itu, mengembalikan ponselnya ke saku celana.

Cowok itu. Raffa. Duduk di pinggiran rooftop, matanya menatap kakinya yang berayun perlahan ke depan dan belakang.

Tak berapa lama terdengar langkah kaki mendekat, menaiki satu per satu anak tangga.

Raffa bergeming tak ada niatan sedikitpun untuk menoleh ke belakang karena dirinya sudah tahu siapa yang datang.

"Kamu ngapain, sih di sini?" tanya Blinda yang kini sudah menaiki tangga paling atas.

"Tugas kelompok kita belum selesai, abis istirahat udah harus dikumpulin." Sewot gadis yang di tangannya memegang beberapa lembar kertas.

"Nanti gue selesai," ujar Raffa masih tak mau menoleh ke belakang.

"Kok, nanti, sih? Sekarang, dong."

Raffa berdecak, "Bawa sini," ucapnya sambil menoleh.

Blinda berjalan mendekat, memberikan dua lembar kertas dan pulpen kepada Raffa. Lalu duduk di sampingnya.

Gadis itu memejamkan matanya sejenak menikmati semilir angin yang membuat rambutnya bergerak. Mata hitamnya kini menatap lekat wajah Raffa dari samping.

Ganteng. Blinda menggelengkan kepalanya cepat. Ih, Blinda kenapa, sih. Batinnya.

"Nih," Raffa mengembalikan kertas yang diberikan gadis itu.

Blinda mengernyit, meneliti jawaban yang baru saja ditulis Raffa. Pasalnya, belum ada sepuluh menit dan cowok itu sudah selesai.

Hebat.

"Kok, cepet?" tanya gadis itu heran.

Cowok berambut cokelat itu hanya mengendikan bahunya tak acuh. Pandangannya kembali lurus ke depan. Sebenarnya ia sedang malas bicara hari ini, pikirannya masih campur aduk.

Sama seperti beberapa hari yang lalu, saat sesuatu yang tidak ingin diketahuinya akhirnya meruntuhkan dunia cowok itu.

"Kamu, kenapa, sih?" tanya Blinda merasa ada yang aneh dengan Raffa hari ini.

"Biasanya bawel sekarang jadi, diem kayak Farel, tau nggak?"

Raffa menghela napas, "Farel sakit." Singkatnya.

Sebetulnya ia tidak yakin memberitahu semuanya pada gadis itu sekarang. Farel juga sudah melarang Raffa memberitahukan ini pada siapa saja.

Salah satunya pada Blinda. Mungkin Farel akan menghajar cowok itu jika tahu Raffa memberitahu Blinda apalagi jika Audy tahu ini semua.

Blinda menaikkan sebelah alisnya, tidak biasanya jika Farel sakit, Raffa akan seperti ini.

"Sakit apa?"

Raffa terdiam sejenak. Membuat Blinda semakin bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi.

"Dia nggak sakit parah, kan? Dia demam?" Blinda menatap serius cowok di sampingnya yang tetap bergeming.

Raffa memejamkan matanya rapat berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Lidahnya terasa kelu.

"Leukimia," ucapnya dengan nada yang terdengar bergetar.

Deg.

Satu kata yang berhasil membuat jantung Blinda terasa jatuh melewati diagfragma. Bersamaan dengan itu setetes cairan bening keluar dari mata gadis itu, dadanya terasa sesak.

Tidak.

Mana mungkin Farel sakit kayak gitu, secara dia keliatan sehat. Blinda menggeleng tegas, matanya menunjukkan kilat kemarahan.

"Nggak lucu sama sekali, Raf."

Raffa menoleh ke samping, "Hari ini dia kemoterapi."

Blinda menatap dalam manik mata biru di hadapannya, Blinda tidak bisa menemukan kebohongan di dalamnya dan itu membuat air matanya tumpah seketika, kedua tangannya ia gunakan untuk menutup mulut agar isakannya tak keluar, tetapi tetap saja hasilnya nihil.

Satu isakan berhasil lolos dari mulutnya. Raffa yang tahu persis bagaimana perasaan gadis itu, ia langsung merengkuhnya berusaha memberi ketenangan pada Blinda.

"Farel mau rahasiain ini semua. Termasuk sama lo dan Audy." Bisik Raffa. Tangannya mengelus lembut rambut Blinda.

***


Huekk

"Muntahin aja, Sayang nggak pa-pa," ucap seorang wanita yang masih sibuk memijit tengkuk putranya.

Ya. Farel baru saja selesai melakukan kemoterapinya setengah jam yang lalu. Obat-obatan kimia yang disuntikan ke badannya kini mulai berefek dan perutnya menjadi terasa mual.

Ia sebenarnya benci melakukan ini karena pasti cairan yang dimasukkan ke dalam tubuhnya akan membuatnya menjadi lemas dan mual, belum lagi perutnya yang terasa seperti diaduk-aduk.

"Udah?" tanya Renata menjauhkan baskom tempat Farel memuntahkan semua isi lambungnya.

Farel mengangguk lemah, lalu membaringkan badannya lemas,  ditambah kepalanya yang terasa begitu berat.

Sejujurnya Renata tidak pernah ingin melihat ini apalagi jika putranya sendiri yang harus melawan penyakit mematikan itu, belum lagi saat melihat Farel menahan sakitnya.

Rasanya sama seperti saat berjalan di atas pisau tajam. Perih.

Wanita anggun itu menarik selimut sampai sebatas dada Farel, tangannya terulur mengelus pucuk rambut putranya yang perlahan mulai memejamkan matanya.

Hati Renata kembali mencelos saat beberapa helai rambut Farel berpindah ke tangannya, padahal ia mengelus rambut Farel begitu pelan.

Renata mengecup kening Farel dan berlalu meninggalkan Farel untuk istirahat dengan air mata yang perlahan menetes di pipinya.

"Bunda," seru seseorang. Renata sontak menghapus cepat air matanya.

"Raffa," Renata tersenyum hangat, "kamu udah pulang?"

Raffa mengganguk sesaat ia menarik pelan lengan gadis yang berdiri di belakangnya agar sejajar dengan dirinya.

"Bun, ada Blinda."

Renata tersenyum ramah pada Blinda, keduanya memang sudah sangat mengenal satu sama lain, mengingat gadis itu adalah sahabat kedua putranya dari kecil.

"Hai, Blinda. Lama nggak main ke rumah Tante? Kamu apa kabar?"

Blinda tersenyum sambil menyalami Renata, "Iya, Tante. Blinda, baik, kok.  Tante gimana kabarnya? Kalo ada waktu besok Blinda main, deh."

“Tante baik.” Renata tersenyum hangat.

"Farel dimana, Bun?" tanya Raffa.

"Ada di dalem, lagi istirahat." Renata menunjuk ruangan dengan dua pintu berwarna cokelat dan jendela berbentuk persegi panjang kecil di tengahnya.

"Kamu jagain saudara kamu dulu, ya. Bunda mau pulang ke rumah sebentar."

Raffa mengganguk.

"Yaudah, Tante duluan, ya, Blinda," pamit wanita itu sambil berlalu.

"Iya, Tante, hati-hati."

Raffa membuka pintu perlahan, tidak mau mengusik tidur saudaranya. Blinda mengekor di belakang cowok itu dengan kantong plastik berisi buah-buahan di tangannya.

Mata hitam gadis itu langsung tertuju pada orang yang terbaring di ranjang dengan selang infus di tangan kirinya.

Dia masih tidak menyangka bahwa yang dilihatnya sekarang adalah Farel yang ia kenal.

Ia berharap ini semua hanyalah mimpi buruk di tidurnya dan saat bangun nanti semua akan baik-baik saja.

Sekuat apapun keinginan gadis itu, tetap saja, it's real not a dream.

Blinda meletakkan kantong plastik yang tadi dibawanya ke atas nakas dan duduk di kursi samping ranjang Farel berbaring.

Matanya menatap lekat wajah Farel. Ini benar-benar Farel, Farel yang dingin.

Cowok yang sebenarnya ia sukai sejak kecil. Namun, cowok itu tidak menyadarinya. Juga cowok yang kini sudah menjadi milik orang lain.

Blinda tidak marah pada cowok itu jika Farel bukan miliknya. Ia akan berusaha untuk mendukung Farel dengan pilihannya, Audy.

Blinda meraih tangan Farel yang terbebas dari selang infus. Dingin.

"Rel," lirih gadis itu, "cepet sembuh, ya. Jangan sakit kayak gini lagi."

Di sisi lain, Raffa duduk di atas sofa yang berjarak sekitar dua meter dari ranjang terfokus pada benda pipih di tangannya. Akan tetapi, indra pendengarannya mendengar apa yang diucapkan gadis itu.

"Masa cowok kayak kamu bisa sakit gini, sih? Cemen banget." Gumam Blinda dengan kekehan kecilnya.

Raffa yang mendengarnya ikut tersenyum. Ia sangat tahu bagaimana Blinda, ia sudah mengenalnya sejak kecil.

Dia memang gadis yang kuat, menurut Raffa, Blinda itu berbeda dan itu yang membuat Raffa ingin mengenal Blinda lebih jauh lagi.

***

"Lo, harus makan," desak Raffa yang masih berusaha membujuk Farel untuk makan.

"Gue nggak laper," ketus Farel.

Raffa menyendok sedikit bubur dan mengarahkannya ke dalam mulut Farel, "Lo dari tadi belum makan, lo mau sembuh nggak, sih?"

"Udah gue bilang, gue nggak laper, Raffa." Farel mulai kesal dengan saudaranya yang sekarang menjadi sangat lebay.

Sebenarnya bertambah lebay.

"Yaudah, sih, dikit aja." Raffa menatap cowok di depannya.

"Gue suapin," ia kini memainkan kedua alisnya membuat Farel ingin menendang jauh saudaranya itu.

Farel berdecak, merebut mangkuk bubur yang dipegang Raffa, "Gue bisa sendiri." Ketusnya.

Raffa terkekeh, dirinya kini asik memperhatikan Farel yang menyendok buburnya.

Baru dua sendok bubur yang masuk ke dalam mulut cowok itu, tetapi Farel sudah memberikan mangkuk itu pada Raffa.

Raffa mengernyit, "Kok, udah?"

"Bawel," ujar Farel.

"Lo baru makan dua sendok, makan lagi, nih." Raffa kembali menyodorkan mangkuk itu pada Farel.

"Gue mual," ucap Farel yang suaranya berubah menjadi sedikit serak.

"Lo mual karena lo dari tadi belum makan, bego." Raffa memutar bola matanya yang langsung mendapat tatapan tajam dari Farel.

"Sejak kapan, lo jadi, sok tau?" Farel memincingkan matanya.

Belum sempat Raffa menjawab, mata cowok itu membulat saat tahu Farel benar-benar mual.

Wajah cowok itu juga berubah membiru, Raffa tidak tahu sejak kapan Farel bisa berubah warna seperti bunglon. Oke, skip.

"Mampus," gumam Raffa menjadi panik sendiri.

Mangkuk bubur yang dipegangnya ia letakkan di atas nakas dengan cepat ia mengambil ember kecil dari kolong ranjang Farel dan mengarahkannya pada cowok itu.

Detik berikutnya Farel benar-benar memuntahkan seluruh isi lambungnya, Raffa tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Yang ia tahu, bundanya selalu memijat tengkuknya saat Raffa muntah dulu jadi, itulah yang sekarang Raffa lakukan.

Berharap saudaranya itu menjadi lebih baik dan lega.






Panjang ya? :"
Berkomentarlah dengan bijak.

'cause nulis itu nggak segampang kalian bilang 'kok bisa gini, aneh, nggak nyambung, seharusnya begini begitu, udah lah kelamaan, males nunggu up-nya lama, etc.'

Tanpa kalian bilang next pun Kei bakal lanjutin, sabar aja.

Okee, see you in the next chapter 💚

Continue Reading

You'll Also Like

Ervan By inizizi

Teen Fiction

1.6M 114K 76
[Brothership] [Not bl] Setiap orang berhak bahagia, meskipun harus melewati hal yang tidak menyenangkan untuk menuju kebahagiaan. Tak terkecuali Erva...
5.3M 358K 67
#FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA⚠️ Kisah Arthur Renaldi Agatha sang malaikat berkedok iblis, Raja legendaris dalam mitologi Britania Raya. Berawal dari t...
5.4M 229K 54
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
839K 28.5K 55
cerita ini menceritakan kisah seorang " QUEENARA AURELIA " atau biasa dipanggil nara.gadis yang bekerja sebagai pelayan cafe untuk memenuhi kebutuha...