[TBS 1] : Everything [COMPLET...

By LuvenaKei

556K 39.3K 6.5K

[NEW VERSI] [Twin Brother Series : 1] Kesalahpahaman di masa lalu sudah memutar balik keadaan. Angin yang dul... More

:: SATU
:: DUA
:: TIGA
:: EMPAT
:: LIMA
:: ENAM
:: TUJUH
:: DELAPAN
:: SEMBILAN
:: SEPULUH
idk.
:: SEBELAS
:: DUABELAS
FY
:: TIGA BELAS
:: EMPAT BELAS
:: LIMA BELAS
note
:: TUJUH BELAS
:: DELAPAN BELAS
:: SEMBILAN BELAS
:: DUA PULUH
:: DUA PULUH SATU
:: DUA PULUH DUA
:: DUA PULUH TIGA
:: DUA PULUH EMPAT
:: DUA PULUH LIMA
:: DUA PULUH ENAM
:: DUA PULUH TUJUH
:: DUA PULUH DELAPAN
:: DUA PULUH SEMBILAN
:: TIGA PULUH
:: TIGA PULUH SATU
:: TIGA PULUH DUA
:: TIGA PULUH TIGA
Baca ya!
🔐
:: TIGA PULUH EMPAT
:: TIGA PULUH LIMA
A/N
:: TIGA PULUH ENAM
:: TIGA PULUH TUJUH
:: TIGA PULUH DELAPAN
:: TIGA PULUH SEMBILAN
:: EMPAT PULUH
PENTING!
:: EMPAT PULUH SATU
:: EMPAT PULUH DUA
:: EMPAT PULUH TIGA
:: EMPAT PULUH EMPAT
:: EMPAT PULUH LIMA
:: EMPAT PULUH ENAM
:: EMPAT PULUH TUJUH
:: EMPAT PULUH DELAPAN
:: EMPAT PULUH SEMBILAN
:: LIMA PULUH
:: LIMA PULUH SATU
:: LIMA PULUH DUA
:: LIMA PULUH TIGA
:: LIMA PULUH EMPAT
:: LIMA PULUH LIMA
:: LIMA PULUH ENAM
:: LIMA PULUH TUJUH
:: LIMA PULUH DELAPAN
:: LIMA PULUH SEMBILAN
:: ENAM PULUH (Bukan Ending)
:: ENAM PULUH SATU (Ending?)
:: Everything
:: EKSTRA PART - 01

:: ENAM BELAS

8.1K 644 36
By LuvenaKei


Seorang cowok pemilik manik mata biru duduk pada kursi di balkon kamarnya.

Dia tidak memedulikan hembusan angin malam yang menembus di balik kaus abu-abu yang digunakannya.

Kepalanya menunduk menatap satu persatu jajaran foto di dalam album berwarna biru yang ada di tangannya.

Sesaat cowok itu tersenyum tipis sebelum tatapannya berubah sendu, memandang benda persegi di tangannya.

Ia masih ingat betul kapan foto itu diambil, dulu mereka begitu dekat. Sangat dekat, tetapi sekarang apa? Semua berbeda.

Kenapa memilih menjauh? Kalau ternyata masih bisa dekat.

Kenapa harus bersikap dingin? Kalau ternyata masih bisa bersikap hangat.

Raffa menghela napas pelan, meletakkan album foto itu di atas meja lantas berjalan maju beberapa langkah.

Tangannya digunakan untuk bertumpu pada pembatas balkon kamarnya. Raffa tahu orang yang ditungguinya belum juga pulang.

Entah kenapa Raffa selalu khawatir jika orang itu belum juga sampai rumah hingga selarut ini.

Tidak.

Raffa tidak khawatir jika saudaranya itu akan dimarahi Darren saat pulang nanti, pasalnya Darren pergi beberapa hari ke luar kota.

Itu artinya, Farel tidak akan dimarahi ataupun dipukul ayahnya saat pulang larut malam.

Yang dikhawatirkannya hanyalah keadaan saudaranya itu.

Raffa tahu Farel sudah besar dan bisa menjaga diri, tetapi dirinya selalu mengkhawatirkan cowok dingin itu.

Raffa beranjak dari tempatnya.

Ia menutup pintu dan meninggalkan kamarnya.

Cowok itu menghentikan langkahnya di depan pintu bercat hitam yang tampak mengkilap seperti baru saja dicat ulang, sedikit terbuka.

Raffa mengintip dari celah pintu, matanya menatap seorang wanita cantik yang masih terlihat anggun diumurnya.

Wanita yang sekarang sedang duduk di tepian ranjang.

Dengan kepala menunduk entah apa yang membuatnya menunduk dalam seperti itu.

Raffa. Ia ragu antara ingin menghampiri wanita itu atau mungkin kembali masuk ke dalam kamar dan memilih membaca buku barunya.

Cowok itu menghela napas dan melangkah pelan masuk ke dalam.

"Bunda?" lirih Raffa.

Wanita itu mengangkat kepalanya dan menghapus cepat jejak air mata di wajahnya. Entah kenapa ia menangis, setelah menghapus air matanya, wanita itu menatap seseorang di ambang pintu.

Wanita itu tersenyum lembut. Senyum yang membuat Raffa merasa tenang saat melihatnya.

Sama seperti saat melihat senyum Farel.

Cowok itu berjalan mendekati dan ikut duduk di samping Renata.

"Bunda, kenapa? Kok, nangis?" Raffa menatap wanita di sampingnya.

Renata kembali tersenyum sambil mengelus pucuk rambut putranya.

"Enggak, Bunda nggak nangis kok."

"Bohong."

Wanita paruh baya itu hanya tersenyum.

Raffa menaikkan sebelah alisnya, melirikkan matanya pada benda yang ada di tangan Renata.

"Itu apa, Bunda?" tunjuk Raffa.

Renata ikut menatap benda yang ada di tangannya.

"Oh, ini foto kamu sama adik, kamu waktu kecil."

Tangan wanita itu mengusap lembut foto dua anak kecil yang sedang tertawa masing-masing dari mereka memegang kembang api.

"Farel lucu, ya, Bunda?" Raffa terkekeh melihat foto itu.

Renata menganggukkan kepala dengan seulas senyum yang masih menghias di wajahnya.

"Kalian berdua lucu," ucap wanita itu.

"Rasanya baru kemarin Bunda lahirin kalian, nggak kerasa kalian udah besar sekarang." Lanjut Renata.

"Bunda," lirih Raffa membuat wanita itu menolehkan kepalanya.

"Bunda, kangen nggak, sih, sama Farel yang dulu? Atau mungkin sama Ayah yang dulu?"

Deg.

Seketika jantung Renata berhenti berdetak saat kalimat itu diucapkan oleh Raffa.

Jujur ia juga rindu dengan suasana yang dulu pernah ada di rumah ini sebelum semuanya tiba-tiba berubah begitu saja.

"Raffa suka kangen, deh sama Farel, padahal kita tiap hari ketemu tapi, Raffa kangen aja sama Farel, Bun."

"Dulu Farel hangat banget sama kita,  dia yang selalu buat rumah ini jadi, rame tapi, semuanya berubah dan tempat ini nggak sama kayak dulu lagi."

Mata Raffa sudah memanas sekarang. kepalanya menunduk dalam menatap keramik putih di dalam ruangan itu.

"Raffa juga kangen Ayah yang dulu. Dulu Ayah nggak pernah marah, dulu Ayah sayang sama Raffa sama Farel tapi, kenapa sekarang beda, Bun? Kenapa sekarang kita dibeda-bedain?"

"Apa gara-gara Kak Arga meninggal, Ayah ngebenci Farel? Kalo penyebab Kak Arga meninggal itu Raffa, apa Ayah juga bakal ngebenci Raffa kayak Ayah benci Farel, Bun?"

Cowok itu sudah benar-benar tidak bisa menahan air matanya yang mulai menetes.

Hati wanita itu kembali berdesir mendengar semua perkataan putranya yang kini terlihat sedang terisak.

Wanita itu tahu persis apa yang sedang dirasakan putranya, dia tahu jika Raffa sangat sayang pada saudaranya itu.

Renata juga tidak tahu apa yang membuat suaminya itu berubah sejak kepergian putra sulungnya. Arga.

Tangan wanita itu terulur mengelus lembut punggung putranya yang terlihat naik-turun karena isakkannya.

"Kamu nggak boleh ngomong kayak gitu, Sayang. Ayah suka marah karena dia sayang sama kamu apalagi sama Farel."

"Ayah, kamu suka marah, itu juga demi kebaikan kalian supaya kalian jadi, anak yang bener. Kamu dulu pernah liat Ayah jadi orang yang baik 'kan?" lanjutnya lembut.

Raffa mengangkat kepalanya dan menatap wanita yang ada di sampingnya.

"Tapi, kenapa? Kenapa Ayah suka marah bahkan sering pukul Farel, Bun? Kenapa Ayah nggak pernah kayak gitu ke Raffa?"

Raffa menghela napas, "Kita sama, Bunda kenapa harus diperlakukan beda?"

Wanita itu berusaha sekuat tenaga menahan air matanya agar tidak menetes.

"Sayang, Bunda kasih tahu, ya. Semua orang bakal berubah nggak bakal bisa jadi dia yang dulu. Entah itu berubah menjadi baik atau bahkan sebaliknya. Kita cuman tinggal tentuin, kita mau berubah jadi, lebih baik atau kebalikannya."

Renata mengelus lembut pucuk rambut putranya, "Dan, mereka berubah itu pasti ada alasannya, Sayang. Mereka punya alasan sendiri kenapa mereka berubah"

"Kayak Ayah kamu yang sering marah buat nunjukin rasa sayangnya ke kalian begitu juga sama Farel yang sekarang jadi, dingin dan cuek pasti ada alasan di balik itu." Tutur wanita itu sambil tersenyum.

"Tapi, Raffa pengen semua berubah kayak dulu lagi, Bunda. Kita saudaraan, kita punya ikatan batin yang kuat."

"Raffa bisa rasain apa yang Farel rasain, begitu juga sebaliknya tapi, kenapa kita harus saling ngejauh seakan kita nggak ada ikatan apa-apa?"

Wanita itu masih tersenyum namun, dari matanya terlihat jelas menyorotkan kesenduan.

"Raffa, mungkin Farel butuh waktu buat ngejelasin ke kita alasan dia berubah tapi, Bunda yakin Farel tetap jadi, Farel yang dulu meskipun, dia nggak nunjukin dirinya yang dulu ke kita.

"Dan, Bunda yakin suatu hari nanti Farel bakal jadi, Farel yang ceria dan hangat kayak dulu lagi. Bunda, juga tahu dia anak yang baik, dia kadang nakal cuman supaya kita merhatiin dia."

Wanita itu menghela napas, "Bunda,  tahu anak itu nggak benar-benar nakal kayak sekarang."

Renata- air mata wanita itu menetes juga setelah sedari tadi ia tahan mati-matian.

Tangan Raffa terulur mengusap setetes air mata yang mengalir di pipi wanita yang kini sudah mulai terlihat guratan-guratan usia di wajahnya.

Tanpa keduanya sadari, entah sejak kapan seorang cowok berambut cokelat berdiri di balik pintu.

Memperhatikan dua orang yang benar-benar menyayanginya dengan tulus dari celah pintu yang terbuka.

Tangan cowok bermata biru itu menggepal kuat. Entah apa yang dirasakannya sekarang, antara senang, sedih, kecewa, dan marah semuanya bercampur menjadi satu.

Farel tidak tahu harus merasa senang atau marah pada dirinya sendiri sekarang.

Ingin rasanya cowok itu berlari menghampiri dua orang yang ada di dalam dan memeluk keduanya sama seperti yang ia lakukan dulu sewaktu kecil.

Pelukan yang dulu sering ia rasakan kini sudah sangat lama tidak cowok itu rasakan lagi bahkan, ia lupa rasanya memiliki keluarga seperti yang dulu pernah ia miliki.







Hai, aku update nih buat kalian yang nungguin cerita ini. Buat yang nungguin ya, YANG NUNGGUIN😂

Buat yang gak nungguin baca juga yaa tinggalin jejak, hihi

Semoga kalian suka:"

next chapter, mau siapa? :v

Continue Reading

You'll Also Like

2.4M 129K 53
[PART MASIH LENGKAP] "Lihat saudaramu yang lain! Mereka berprestasi! Tidak buat onar! Membanggakan orang tua!" Baginya yang terbiasa dibandingkan den...
811K 70.6K 44
Setelah kematian ibunya Rayanza yang tadinya remaja manja dan polos. Berubah menjadi sosok remaja mandiri yang mampu membiayayi setiap kebutuhan hidu...
492K 18.9K 50
"Gue tertarik sama cewe yang bikin tattoo lo" Kata gue rugi sih kalau enggak baca! FOLLOW DULU SEBELUM BACA, BEBERAPA PART SERU HANYA AKU TULIS UNTUK...
4.8M 258K 58
Dia, gadis culun yang dibully oleh salah satu teman seangkatannya sampai hamil karena sebuah taruhan. Keluarganya yang tahu pun langsung mengusirnya...