Senja Dan Jingga

By Mayalsa

481K 27.2K 771

Sequel of "FRIENDSHIP IS NEVER ENOUGH" Apa hanya sekedar ilusi, sayang? Jika berharap kau akan segera pulang... More

Harap Dibaca
Prolog
1. Hujan
2. Janji dan Sebuah Perasaan
3. Teman
4. Suatu Tempat
5. Kebetulan yang Menyakitkan
6. Sekolah dan Kamu [ Repost ]
7. Sekolah dan Kamu 2
8. Senandung Terindah
9. Peredam Nyeri
10. Minggu Sendu
11. Jadi Pacar Saya, mau?
12. Kita Pacaran, 'kan?
13. Untuk Apa Kembali?
14. Hancur Berkeping
15. Terlalu Rumit
16. Sama-sama Patah Hati
17. Belum Terlatih Patah Hati
18. Serba Salah
19. Itu Hanya Kamu
20. Hujan Yang Sama
21. Dandelion
Cuap-Cuap Dikit
22. Post It
23. Kembali
24. Bumi
25. Sekali Ini Saja
26. Takdir
27. Kemenangan Semu [Repost]
28. Senja Yang Memudar
Info Kelanjutan Senja Dan Jingga
My Coldest Ocean
Harus Banget Baca!!!
Kelanjutan...
Paper Hearts
My Beautiful Storm

29. Senja dan Cerita Yang Telah Usai

16K 862 89
By Mayalsa

Bagian paling sulit dari mencintai seseorang, tidak lain adalah mengikhlaskan kepergiannya. Mau tidak mau, suka tidak suka, kau harus menerimanya, karena ada kepergian abadi yang memang tidak bisa kembali.

Bohong kalau Jingga bilang ia baik-baik saja. Nyatanya, sesederhana apapun bentuk kehilangan itu, tetap saja menyakitkan. Tapi, kenangan punya cara sendiri untuk mengobati rasa kehilangan.

Tak terasa satu bulan sudah berlalu, namun bagi Jingga rasanya seperti bertahun-tahun. Hari-harinya hanya sebatas makan, mandi, tidur, main game, dan mengunjungi pusara Senja. Itupun kebanyakan ia habiskan menyendiri di dalam kamar dengan pintu terkunci. Menyakitkan ketika Jingga berharap bertemu Senja sekali saja dalam mimpinya, namun ketika bangun dari tidurnya, kenyataan seolah menampar Jingga berkali-kali. Bahwa Senja sudah tidak ada, bahwa ia memang tidak bisa menemui Senja.

Tak hanya keluarga Jingga dan teman-temannya, bahkan guru-guru pun sempat membujuknya untuk tetap semangat menjalani hidup, namun tak ada satupun ucapan yang digubrisnya. Sampai semua teman-teman Jingga, baik yang terdekat sampai yang kenal sekelebat saja, mereka mengirimkan pesan di sosial media milik Jingga dengan kata-kata penyemangat. Tetap saja bagi Jingga semua itu hanya buang-buang waktu, membaca satu persatu pesan mereka yang tidak memberi efek apapun pada hatinya.

Dan sekarang, Jingga sedang berada tepat di mana Senja dimakamkan. Dengan sepucuk mawar merah yang ia taruh di dekat batu nisan Senja, dan merapalkan segala macam doa dalam hati dengan mata tertutup. Setidaknya hanya itu yang bisa Jingga lakukan untuk mengobati kerinduannya.

"Amin." Ucapnya pelan ketika selesai memanjatkan doa-doanya.

Tangannya meraih batu nisan yang bertuliskan nama seorang gadis yang amat dikasihinya. "Saya cuma minta satu hal, Sen. Saya mau ketemu kamu. Banyak yang ingin saya bicarakan, bukan sekedar tentang kata klasik saya rindu kamu. Percaya, saya lebih dari rindu.

"Saya belum sempat lakukan apapun buat kamu. Saya belum sempat mengajak kamu jalan-jalan ke Dufan. Saya belum sempat menunjukkan piala yang sudah saya raih. Dan... saya belum sempat bilang, bahwa saya selalu mencintaimu, sekalipun kamu muncul sebagai hantu."

"Saya sayang luar biasa sama kamu, Sen."

Jingga mengatur napasnya yang sempat tersenggal akibat debaran kencang yang ia rasakan, dadanya sesak sekali karena terlalu banyak menahan sakit. "Kenapa harus kamu?" Jingga tau, pertanyaan itu bersifat retorik, tetapi hanya itu yang terlintas di kepalanya belakangan ini.

"Karena Tuhan lebih sayang Senja dari pada kita semua."

Ah, tidak. Itu bukan suara Jingga. Suara itu...

"Gaea?"

Gaea duduk di samping Jingga, tidak peduli bajunya yang akan terkena noda. Ia mengambil sesuatu dari tasnya; sebuah buku. Dan diberinya buku itu pada Jingga. "Ini punya Senja. Gue rasa, lo orang yang tepat buat nyimpan buku ini."

Jingga menerima buku tersebut yang ia yakini adalah buku harian Senja. Diperhatikannya buku itu lekat-lekat, lalu ia peluk erat, sesekali diciumnya. Hingga ia merasa wangi Senja menempel dipermukaannya.

"Seumur hidup gue, gue iri sama hidup adik gue sendiri. Kenapa? Dia dilimpahi kasih sayang orang lain disekitarnya, banyak orang yang bisa langsung sayang Senja setelah liat dia, termasuk lo, termasuk juga Papa. Gue ngerasa kasih sayang Papa itu beda, Gue ngerasa Papa itu lebih perhatian sama Senja dibanding gue. Apa karena Senja sakit, jadi semua melimpahkan kasih sayang disisa-sisa hidupnya." Gaea berbicara tanpa menatap wajah Jingga, hanya mengelus batu nisan almarhumah Senja.

"Sakit?" Jingga memastikan apa yang dikatakan Gaea. Tapi selama ini Senja kelihatan baik-baik saja.

"Senja sakit parah, Ga. Dia punya kanker otak stadium lanjut."

"SHIT!" Satu hal yang ingin Jingga lakukan saat ini, melukai dirinya sendiri. "Gimana gue bisa nggak tau... dan kenapa Senja nggak pernah cerita apapun ke gue selama ini." Suaranya melemah.

"Senja itu hebat, Ga. Dia sembunyiin semua rasa sakit yang dia rasain. Lo sering nanya kabar Senja lewat gue yang seringkali gue nggak jawab, kan? Dia sering nggak masuk itu karena penyakitnya lagi kambuh." Gaea tersenyum pahit pada Jingga. "Dan lo tau siapa penyebab Senja menginggal? Itu gue, Ga. Kakaknya Sendiri."

Jingga bungkam seribu bahasa dengan ekspresi herannya. Bukannya ia enggan menjawab, hanya saja ia sedang menunggu kelanjutan cerita Gaea. Jingga tidak pecaya bahwa Gaea adalah penyebab kematian Senja.

"Sebelumnya gue mau cerita, Ga. Pertama kali gue ketemu lo, gue udah suka sama lo, ya meskipun masih suka ala-ala fangirl yang nggak mungkin kesampaian. Tapi setelah kejadian di perpustakaan waktu itu, gue makin jatuh, Ga. Jatuh cinta sama lo. Lo tau, jatuh cinta itu buat semua orang buta akan segalanya. Sampe waktu itu lo anterin gue ke rumah karena nggak ada yang jemput, disitu gue yakin, kalo lo juga suka sama gue. Soal insiden kakak kelas populer yang ada di kantin itu, dimana lo manggil gue, gue pikir lo emang tertarik sama gue."

"Tunggu, lo suka sama gue? Astaga, jangan kira gue baik itu karena punya alasan spesial. Kalo ada siapapun lagi ada diposisi lo waktu nggak ada yang jemput itu, gue pasti anterin. Gue paling nggak suka ngebiarin cewek sendirian dalam kondisi rawan kejahatan."

"Gue nggak tau, Ga. Perasaan gue ngalir gitu aja. Sampai suatu saat, gue liat lo jemput Senja, gue tau lo suka Senja. Saat itu juga... gue ngerasa mati, Ga. Gue marah, gue cemburu, gue benci sama adik gue sendiri. Lagi-lagi dia ngerebut orang yang gue sayang. Dan kalian jadian, nggak perlu gue jelasin gimana sakitnya.

"Malam itu, gue bentak Senja. Gue keluarin semua unek-unek yang mengganjal di hati gue. Dan ternyata itu berefek pada hubungan kalian, lo berdua putus. Itu karena gue, Ga. Gue bingung sampai sekarang, gue ini kakak macam apa?" Gaea memberi jeda, tak terasa air mata meluruh ke pipinya. Jika ada kata yang lebih dari menyesal, Gaea akan memilihnya.

Jingga tidak marah mengetahuinya, marah untuk apa? Semua sudah berlalu, bukan?

"Malam itu tiba, Ga. Saat lo ulang tahun dan kalian balikan. Satu-satunya orang yang ingin menangis waktu kalian bahagia itu gue, Ga. Gue merasa harus lari dari sana, dan ya... gue lari kemanapun yang bisa gue jangkau. Sampai gue ngerasa lutut gue nggak kuat lari lagi, dan hati gue bener-bener hancur nggak kebentuk. Saat itu juga, gue nggak sadar kalo gue ada ditengah jalan raya dan tepat ada mobil yang menghantam gue. Setelah itu gue nggak inget apa-apa lagi.

"Sampai gue bangun disuatu pagi, Papa kasih surat dari Senja, dan saat itu juga dunia gue bener-bener runtuh, Ga. Gue belum sempat jadi kakak yang baik buat Senja." Suara Gaea mengecil, dan saat itu juga ia menangis tersedu-sedu dengan wajah yang ditutupi telapak tangan.

"Senja donorin hatinya buat gue, Ga. Kenapa bukan gue aja yang mati? Kenapa bukan gue yang sakit? Kenapa, Ga?"

Jingga tidak menyangka rangkaian kejadiannya serumit itu, dimana ternyata dirinya lah yang berperan besar dalam rasa sakit Senja. Jingga mengusap wajahnya frustasi. "Seperti yang tadi lo bilang, orang mudah sayang sama Senja di awal pertemuan. Tuhan juga sama, dia sayang Senja, dan ternyata kasih sayang Tuhan lebih besar daripada kasih sayang gue."

"Gue iri sama pohon, Gaea. Kenapa? Meskipun berjuta daunnya jatuh dihempas angin, dia nggak pernah membenci daun maupun angin. Dia tetap berdiri tegak walau sendirian." Jingga menghela napas panjang yang lebih terdengar pasrah.

"Senja emang pergi, tapi setidaknya di puisi gue dia abadi." Jingga tersenyum pada Gaea, tangannya menggenggam kuat buku harian milik Senja.

***

Hari berganti hari, musim silih berganti, hingga sampailah pada hari pengumuman SBMPTN yang beberapa waktu lalu Jingga ikuti, ia memilih Universitas Gajah Mada, membuat rencana tentang kehidupan selanjutnya, sebut saja seperti memulai hidup baru dengan orang-orang baru. Bukan berarti Jingga ingin melupakan kota penuh kenangan beserta orang-orangnya, Jingga hanya perlu waktu untuk memperbaiki dirinya, menyusuh kepingan-kepingan hati yang sempat hancur lebur--tak terbentuk sama sekali.

Berhubungan pengumuman tersebut akan di umumkan lewat media online, Jingga sudah bersiap-siap di depan laptopnya dengan merapalkan segala doa, berharap ia akan diterima dan rencananya tersusun sempurna.

Jingga membuka situs web tentang pengumuman tersebut, butuh beberapa detik menunggu untuk melihat sebuah halaman dengan utuh, berhubung sinyal internetnya saat ini sedang mendukung jadi tidak terlalu lama menunggu.

Mulailah Jingga menyisir nama-nama yang lulus tes SBMPTN tersebut, berharap namanya tertera di sana. Hingga pada nama terakhir dan kalimat penutup, Jingga tak kunjung menemukan namanya. Atau memang namanya tidak tertulis di sana, itu berarti Jingga tidak lulus tes?

Jingga menghela napas kasar, ia memang merasa kalau dirinya kurang berusaha, Jingga tidak belajar dengan sungguh-sungguh, karena kecamuk di hatinya sungguh masih menguasai logikanya.

Apa itu artinya Tuhan punya rencana lain untuk Jingga?

Entahlah, saat ini ia hanya ingin menghubungi Didi. Jingga meraih ponselnya yang ia letakkan tidak jauh dari laptopnya, lalu segera menghubungi Didi.

"Halo, Ga? Ada apa?" Suara Didi terdengar di sebrang sana bersamaan kebisingan.

"Gue gagal masuk UGM."

"Udah sih, kita bareng-bareng lagi aja. Kuliah bareng, satu kampus meski befa fakultas. Nggak usah sok mau pergi jauh."

"Males banget satu kampus sama lo. Paling gue bakal pura-pura nggak kenal. Lo lagi dimana, Di?"

"Lah tai. Gue lagi di billiard, sini nyusul. Ada Karel."

"Jemput gue, mager berangkat sendiri."

"Lah lah lah... Berasa pangeran William lo?"

"Iyalah, lo kan pengawalnya."

"Nggak usah manja bisa? Udah sini cepet, dirumah mulu lo udah kaya kulkas."

"Ya ya ya... Gue nyusul. Jangan kemana-mana."

"Udah ah udah, suara lo nggak enak." Didi langsung mematikan sambungan teleponnya.

Jingga menatap layar ponselnya sambil berdecak. "Ganteng banget telepon gue main dimatiin aja."

Tanpa basa-basi, Jingga langsung mengganti pakaiannya dan bergegas pergi menyusul Didi.

Setidaknya, Jingga tau bahwa hidup harus terus berjalan. Daripada ia bergelut dengan takdir, lebih baik ia berusaha sekeras mungkin agar Senja tetap bangga dengannya. Karena semuanya sudah berubah, mereka berada dalam dimensi yang berbeda, dipisahkan oleh jarak semu yang tak pernah nampak nominalnya.

Pada Senja di ufuk barat yang sinarnya tiada dua...

Hai, apa kabar?

Saya harap kau selalu diliputi rasa bahagia. Kau tidak ingin bertanya bagaimana kabar saya? Apa saya sedih? Atau bisakah saya tidur?

Jangankan untuk bertanya, kau saja tak pernah muncul barang sedetik. Sampai saya pias dihujan rintik, kau tak peduli meski setitik.

Ajarkan saya, cara berteriak tanpa bersuara. Agar yang lain tak curiga, bahwa batin saya sedang meronta.

Ajarkan saya, berenang dalam kenangan tanpa takut tenggelam. Agar saya bisa bertahan pada rindu yang menikam.

Bisakah saya bertahan, sayang?

Intuisi hati ini selalu menyebut namamu, karena kau adalah obat dari segala pilu di saban waktu. Kaulah tempat persembunyian saya dari segala rasa pedih, jika kamu memilih pergi, kemana lagi saya harus bersembunyi?

Setidaknya jenguk saya sebentar, agar kau tau saya selalu menunggu kabar, dengan hati yang berdebar.

Apa hanya sekedar ilusi, sayang? Jika berharap kau akan segera pulang. Menuntun jiwa yang tersesat menunggu terang.

Desahan ilalang memaksa lupakanmu, apa artinya rindu tanpa bertemu? Deburan ombak membisik jenaka, bunuh saja puing-puing rindu tak berguna.

Tenang, sayang. Sebab saya memilih bertahan, meski sakit yang saya rasakan. Saya dibuai harapan, menelusup masuk ke angan, sampai lupa pahitnya kenyataan.

Ajarkan saya menerima kenyataan, agar membencimu tidak saya jadikan sebagai pilihan.

Saya, yang kau buat mati di hati.

Tertanda,
Intuisi Jingga.


************************************

GILAK GILAK AKHIRNYA ENDING JUGAAAA WKWK

Butuh waktu satu tahun buat nyelesein cerita lebay kek gini doang njirrr wkwk btw untuk epilog menyusul. Dan kalo penasaran sama selanjutnya cerita Jingga, bisa baca Paper Heart alias ceritanya si Didi sableng wkwk

Tengkyuuuuuu untuk nungguin apdetan yang super ngaret. Luvluv💕💕💕

Continue Reading

You'll Also Like

80.8K 4.5K 31
Selamat membaca cerita FRIENDZONE= Raidel Anselma dan Maisy Nesvira Cerita ini adalah cerita pertama aku semoga kalian suka ya! Raidel Anselma atau b...
9.4K 434 10
Cinta itu menyakitkan. Itulah yang dipercayai seorang gadis most wanted yang bernama Syafa. Di sinilah dia, memulai kisah cinta di SMA kelas 11 ipa...
3.1K 326 31
"Karena kita seperti belalang, tahu bahwa mencintai seseorang itu butuh keberanian." When Aksa si bad good boy bertemu Aleta si manusia penuh kejutan...
913K 19.5K 54
Diharap baca!!! Ini cuma sebatas quotes Film mariposa,Novel mariposa, Mariposa1,Dan Mariposa2 di Wattpad dari Luluk HF.