Marriage With(out) Love

By thisissecretauthor

1.3M 37.9K 1.7K

Penting: Ada 18++ di beberapa part ya! "Menikah dengannya adalah sebuah malapetaka bagiku. Hal ini sama sekal... More

Author
Rasya Azzahra
Raditya Argadhika
Part 1-Wedding Party
Part 2-Bercerai?
Part 3-Malam Pertama
Part 4-Pagi Pertama
Part 5-Rival
Part 6-Dinner
Part 7-He touch me!
Part 8-Risa
Part 9-Heartbreak
Part 10-Cry and Hug
Part 11-Terimakasih Asma!
Part 12-Finally, First Kiss!
Part 14-Kecelakaan
Part 15-Is that Love?
Part 16-Malam Pertama yang Tertunda
Part 17-Surprise yang Gagal
Part 18-Forgive You
Part 19-Gombalan, Surprise, dan Kamu yang Seindah Jogja
Part 20-Fight
Part 21-Kabar Bahagia
Part 22-Bulan Pertama
Part 23-Radit's Birthday Party!
Part 24-LDR
Part 25-Berubah
Bab 26 - Sebuah Rahasia

Part 13-Thankyou, Sick!

45.2K 1.5K 25
By thisissecretauthor

Penting: Akhir part ini ada adegan 18+ ya mohon skip yang belum cukup umur #maksa

Rasya's POV

Kurasakan tidurku sungguh nyenyak malam ini, ditambah hari ini aku masuk shift siang, sungguh surga dunia rasanya. Aku berusaha membuka mata namun rasanya sungguh berat. Kuingat apa yang terjadi tadi malam, ah Rasya, kamu itu tadi malam berciuman dengan Radit, kataku dalam hati. Bodohnya, aku justru menikmati bibir Radit hingga lupa perihnya mataku. Harus kuakui itu sungguh terasa nikmat.

"Kalo pasang alarm jangan berlapis-lapis dong Sya. Mana kamunya nggak bangun lagi," aku mendengar suara Radit dengan jelas ketika mataku terbuka. Huh! Sebal.

"Iya iya, maaf," kataku singkat.

Aku melirik jam, sudah jam tujuh. Sebelum masuk kerja nanti aku harus mempersiapkan beberapa berkas untuk pengambilan spesialisku, seperti hasil tes TOEFL, ijazah dokter yang sudah dilegalisir, surat izin praktek, dan sebagainya.

"Mau lagi dong Sya yang kayak tadi malem," kata-kata Radit membuatku terkejut.

Aku tersenyum sebal melihat wajahnya yang menggodaku. Entah sejak kapan Radit sering berusaha melakukan hal seperti itu.

"Emang tadi malem ngapain?" balasku sambil memicingkan mata.

"Ah nggak seru banget sih. Yaudah, saya berangkat dulu ya," balas Radit, aku sedikit kecewa karena dia tak melanjutkan usahanya.

Hentikan Sya, rutukku dalam hati.

Aku mengangguk, kemudian mengikutinya berjalan keluar. Kurasakan mataku masih sedikit perih. Aku duduk di meja makan. Kulihat Ibu dan Mama sedang berbincang dengan ditemani jus alpukat.

"Kamu masuk jam berapa Sya?" tanya Ibu pelan.

"Jam satu Bu, tapi aku mau siapin berkas syarat program spesialis," jawabku sambil meminum air putih.

"Kamu mau ambil spesialis apa, Sayang?" tanya Ma.

"Bedah rencananya Ma," balasku singkat.

"Eh bentar-bentar, mata kamu kenapa itu?" tanya Mama tiba-tiba. Radit yang sedang menyantap sarapan ikut menoleh ke arahku.

"Oh ini tadi.." belum selesai aku menjawab, Mama langsung berkata, "Kamu apain Rasya Dit? Kamu nggak salahkan tadi malem?"

Aku langsung terkejut mendengar kata-kata Mama. Ibu di sampingku malah tertawa.

"Bukan kok Ma, ini aku kelilipan aja kok," kataku pelan.

"Ah kamu bohong pasti Sya. Eh tadi malem berhasilkan?" tanya Mama, aku kemudian melirik Radit. Dia kemudian angkat bicara.

"Berhasil Ma, berhasil banget!" katanya keras, sambil membuat penekanan pada dua kata terakhir.

"Alhamdulillah, bagus deh," celetuk Mama, aku lalu memukul lengannya pelan.

Pagi itu dipenuhi oleh tawa kami berempat. Ayah dan Papa sudah berangkat ke kantor satu jam yang lalu. Setelah itu, Radit menyusul berangkat, ini pagi yang cukup indah untuk kukenang. Selain karena tadi malam yang nikmat, pagi ini Radit juga berpamitan padaku. Ah senangnya.

***

Aku melirik jam tanganku, sudah pukul tujuh malam, namun Lia yang kutunggu sedari tadi tak kunjung datang juga. Lima belas menit yang lalu aku sudah tiba di kafe dekat RS Permata Hati. Aku menunggunya sambil menggerutu sesekali. Jadwal shiftku hari ini berbeda dengan Lia, sehingga kami tak bertemu di rumah sakit.

Tak lama setelah itu, Lia datang sambil tersenyum ke arahku. Dia melepas jas putihnya.

"Kalo ini operasi, pasien lo dalam keadaan fatal tau nggak sih Li," kataku sebal.

"Iya, iya, maafin gue ya Syaaa! Kali ini gue ngaku salah deh," balasnya sambil menarik kursi dan membuka buku menu.

"Hmm sebel gue," kataku sambil cemberut.

"Maafin gue dong! Eh gimana kemarin lo sama Radit? Lo satu kamar beneran sama dia?" tanyanya dengan keras. Aku langsung memelototinya.

"Gue ciuman sama Radit Li! What amazing!" jawabku sambil membenahi posisi duduk.

"Oh yaampun gue bersyukur banget Sya, gue seneng banget tau nggak sih dengernya. Terus-terus, anything else? Atau cuma gitu doang?" tanyanya lagi yang langsung kusambut dengan kerutan dahi.

"Cuma itu," jawabku singkat.

"Lo harusnya pake lingerie atau semacamnya gitu dong Sya supaya Radit lebih terangsang," kata Lia lagi, membuatku kembali memelototkan mata.

"Gila aja! Malu bangetlah gue kalo ketahuan sengaja mincing-mancing. Lagian gue juga nggak mau, ngeri gue. Ntar kalo gue hamil, nggak jadi ambil spesialis dong," kataku sambil menyeruput ice latte yang kupesan.

"Ih dasar lo ya! Lo ngelakuin itu sekali belum tentu juga langsung hamil," timpal Lia membuatku terdiam.

Memang benar yang dia katakan, batinku dalam hati. Kenapa aku harus takut?

Satu setengah jam kemudian aku dan Lia sibuk mengobrol dan membicarakan tentang kasus-kasus yang kami temui di rumah sakit. Aku juga sibuk menanyakan tentang program spesialis yang telah lebih lama diambil Lia. Dokter itu belajar sepanjang hayat, jadilah aku dan Lia dimanapun berada tetap selalu belajar hehehe.

Ah ya aku lupa menceritakan tentang Lia.

Dia adalah temanku sejak SMA, awal mulanya kami kenal hanya karena berada dalam satu organisasi. Tapi sesudah itu, kami selalu bersama bahkan sampai bekerja di RS Permata Hati. Aku sungguh bersyukur mengenalnya.

***

Jam sembilan malam akhirnya aku memutuskan untuk pulang, selain karena sudah lelah, hujan di luar membuatku sedikit takut untuk berlama-lama di kafe ini. Kalau tambah deras, gimana? Duh.

Beberapa menit sesudah itu aku sudah berada di dalam mobil. Tapi, mengapa mobilku tak bisa hidup? Oh aku mulai panik. Aku pernah mengalami ini beberapa bulan yang lalu, saat dynamo starter mobilku rusak. Tenanglah Sya! Tarik nafas dan hembuskan! Sayangnya, mesin mobil ini tetap tidak bisa nyala. Aku segera menghubungi bengkel tempat biasa aku servis, beberapa saat kemudian datanglah dua orang montir.

"Maaf Bu, mobilnya harus dibawa ke bengkel. Kalau malam ini belum bisa selesai. Dinamo starternya agak parah," kata salah seorang montir, kulihat namanya Rahman. Tuhkan benar penyakitnya sama!

"Oh iya Mas, nggak papa. Tapi besok bisa benerkan?" balasku.

"Bisa Bu, nanti kami antar ke rumah nggak papa," jawab Rahman sambil tersenyum.

Dia kemudian menderek mobilku. Ah, sudah hujan deras, mobil mogok, nggak ada taksi lewat, aku menggerutu dalam hati.

Akhirnya kuputuskan pulang naik Gojek malam itu, baju yang kugunakan dan jas putih yang kutenteng basah kuyup. Oh God, aku sungguh berharap ada Radit di sini dan membawaku pulang dengan selamat seperti waktu itu, batinku kesal. Entah kenapa aku justru mengingatnya.

Radit's POV

Aku baru saja selesai rapat di kantor pukul tujuh malam, kemudian bergegas pulang. Setibanya di rumah, aku tak mendapati mobil Rasya terparkir di garasi. Ke mana dia semalam ini? Sayangnya, aku tak memiliki nomor teleponnya. Hal ini sungguh menyulitkan aku.

Satu setengah jam sesudah itu Rasya tak kunjung pulang, aku sudah berdiri di dekat pintu menunggunya sejak tadi, kekhawatiran semakin memenuhi pikiranku. Aku tak tahu pasti sejak kapan selalu mengkhawatirkannya, yang aku tahu, aku selalu senang jika ada dia di dekatku.

"Iya Pak, mobil saya mogok di deket rumah sakit saya kerja. Nggak papalah ya naik ojek sekali-kali," kudengar suara Rasya dari luar rumah.

Aku segera keluar. Yaampun! Aku melihat Rasya basah kuyup.

"Syaa..ya ampun! Mana mobilmu?" tanyaku sambil menghampiri Rasya.

"Duh Dit panjang ceritanya. Dynamo starter mobil saya kambuh, terus nyari taksi nggak ada, yaudah saya pakai Gojek akhirnya," jawab Rasya sambil tersenyum.

"Kenapa kamu nggak telpon saya? Ayo cepet masuk," kataku sambil menarik tangan Rasya.

Aku merasakan tangan Rasya sungguh dingin. Kami berjalan masuk ke dalam kamar.

"Saya nggak punya nomormu," balas Rasya sambil melepas jilbabnya yang sudah basah kuyup. Ah, andai saja dia punya nomorku, sudah pasti dia akan menelponku, dan dapat kupastikan aku akan langsung menjemputnya. Tunggu, sejak kapan kamu begitu peduli pada Rasya, Dit?

Aku hanya diam memandangi Rasya yang bergegas masuk ke kamar mandi. Aku sungguh khawatir padanya, tapi kenapa tidak ada kata-kata indah keluar dari mulutku? Aku meurutuki diriku.

Beberapa saat kemudian Rasya keluar dari kamar mandi, kulihat wajahnya sedikit pucat. Dia sesekali memijit pelipisnya dengan pelan. Apa dia sakit?

"Kok pucet Sya?" tanyaku pelan. Rasya kemudian berjalan mendekat ke arah cermin, lalu menatap wajahnya.

"Ah enggak kok Dit, wajah saya emang gini," jawabnya membuatku berdecak kesal. Bagaimana bisa dia mengelak?

"Dokter emangnya nggak boleh sakit ya Sya?" tanyaku kemudian dibalas dengan tertawa oleh Rasya. Dia kemudian mengangguk.

"Nanti kalau saya sakit dan kamu kambuh, kasian Bi Inah," katanya sambil duduk di sofa, aku memandangnya dari tempat tidur.

"Jangan bahas-bahas saya kambuh dong Sya," balasku berpura-pura kesal, tapi sepertinya

Rasya menganggapnya serius. Dia kemudian berjalan mendekat ke arahku, percaya atau tidak, jantungku berdegup lebih kencang! Mati kau Radit!

"Maaf Dit, saya nggak bermaksud gitu. Saya nggak bermaksud bahas kamu kambuh, maksud saya itu.." belum selesai Rasya menyelesaikan kalimatnya, aku menghentikan ucapannya dengan jari telunjukku.

Ah, ini mungkin sama dengan kebanyakan adegan dalam ftv, namun aku sungguh melakukannya dengan susah payah.

Perempuan di depanku ini telah membuat jantungku bekerja tidak dengan ritme yang wajar akhir-akhir ini.

Tunggu, kenapa bibir Rasya terasa panas? Aku lalu memegang dahinya, kurasakan hal yang sama, panas. Rasya masih menatapku dalam diam.

"Sya, kok panas?" tanyaku sambil menaikkan alis dan tetap memegang dahinya.

Rasya ikut memegang dahinya, tak sengaja tangannya menyentuh tanganku.

"Nih tanganmu juga panas. Gimana sih kamu," kataku lagi sambil memegang tangan Rasya. Dia hanya diam menatapku. "Udah cepet tidur di sini."

"Kamu nggak papa Dit saya tidur di sini?" tanya Rasya, membuat jantungku mencelos, bagaimana bisa dia justru menanyakan itu di saat kondisinya seperti ini?

Ingin aku berteriak, aku sungguh senang jika dia ada di dekatku!

"Kamu yang nggak papa tidur sama saya? Kemarin akhirnya saya tidur di sofa benerankan," balasku.

Aku mengingat kejadian tempo hari yang harus diakhiri dengan aku yang tidur di sofa dan Rasya yang terlelap di tempat tidur.

Rasya mengangguk.

"Ya udah sekarang kamu tiduran dulu, saya ambil minum sama obat dulu ya di luar," kataku kemudian bergegas keluar.

Aku mengambil air putih dan kotak obat, kemudian kembali masuk kamar.

Kulihat Rasya sedang berbaring sambil mengerjapkan matanya. Rambutnya terurai indah, aroma wangi khas Rasya sungguh membuatku harus menahan gejolak yang ada. Aroma itu sungguh membuatku rindu setiap waktu.

"Nih Sya, obatnya ini bisakan?" tanyaku sambil duduk di tempat tidur dan menyodorkan obat.

"Iya bisa," jawabnya sambil menelan tablet yang kusodorkan tadi.

"Pusing juga Sya?" tanyaku pelan ketika melihat dia memijat pelipisnya lagi.

Rasya mengangguk, aku menggigit bibir menatapnya, apa yang harus kulakukan? Oh God, aku sungguh ingin membalas kebaikannya ketika merawatku dengan sempurna saat asmaku kambuh.

"Makanya besok lagi telepon saya kalau mobilnya mogok," justru itu kata-kata yang keluar dari mulutku.

"Sini hapemu," kataku sambil menengadahkan tangan, Rasya menatapku heran, kemudian menyerahkan ponselnya.

Aku mengetik nomor hape yang sudah kuhafal di luar kepala ini, kemudian menyimpannya sambil tersenyum.

"Udah saya simpen nomor saya Sya," tambahku kemudian sambil mengembalikan ponsel Rasya.

Rasya tersenyum ketika ponselnya kembali di tangannya. Aku menyimpan nomorku dengan nama "Orang Ganteng", ah sungguh norak, tapi tak apa, senyum Rasya yang mengembang setelah itu membuatku senang.

"Sekarang tidur ya Sya," kataku pelan, kemudian dibalas dengan anggukan kepala Rasya.

Beberapa saat kemudian Rasya sudah terlelap, di sampingnya, aku memandangi wajah Rasya. Kupegang dahinya beberapa kali untuk mengecek, namun sayang, panasnya belum juga turun. Hingga akhirnya akupun ikut terlelap.

***

Kulihat jam masih menunjukkan pukul dua malam saat aku terbangun karena suara Rasya yang memanggil namaku.

"Dit..." katanya pelan, namun aku dapat mendengarnya dengan jelas.

"Iya Sya ada apa? Masih sakit?" tanyaku pelan sambil menatap Rasya yang kemudian menggeleng.

"Dingin..." katanya sambil menggigit bibir.

Aku tersenyum mendengarnya. Semoga Rasya tidak sedang mengigau atau semacamnya. Kenapa dia tidak langsung meminta peluk atau sejenisnya saja? Aku tertawa dalam hati.

"Ya udah, saya peluk ya biar nggak dingin lagi," aku berkata sambil berbisik.

Tak kusangka, Rasya mengangguk pelan. Aku kembali tertawa senang dalam hati.

Beberapa menit sesudah itu, tanganku melingkar pada pinggang Rasya yang membelakangiku. Matanya sudah sempurna terpejam, entah tertidur atau hendak berusaha tidur. Kucium lehernya yang masih terasa panas, entah mengapa, aku sungguh menyukai leher jenjang Rasya. Tiba-tiba Rasya berbalik, aku sampai membuka mulutku saking terkejut.

"Maaf ya Dit sudah ganggu tidurmu," katanya pelan sambil menatapku. Aku menggeleng cepat. Tanganku masih melingkar di pinggangnya.

"Saya belum tidur kok," balasku mengikuti kata-kata yang diucapkan Rasya pada saat aku meminta maaf padanya waktu itu. Rasya mengerucutkan bibirnya.

"Makasih ya Dit," katanya nyaris seperti berbisik.

"Iya, sekarang tidur lagi ya biar cepet sembuh. Atau kamu mau apalagi? Mau minum dulu?" tanyaku pelan. Rasya mengerjapkan matanya.

"Mmm..mau dicium Dit," jawabnya nyaris tak terdengar telingaku.

Aku membulatkan mataku terkejut. Hah? Apa yang barusan Rasya ucapkan? Aku berusaha mengendalikan diriku dengan cepat.

"Hah? Cium mana? Bibir atau mana?" pertanyaanku membuat wajah Rasya memerah dengan sempurna.

Aku tertawa terbahak-bahak setelah itu. Rasya memukul lenganku sungguhan, sakit rasanya.

"Anggep aja saya nggak pernah ngomong gitu ya Dit! Huh sebel!" katanya kemudian berusaha berbalik, namun sayang, lenganku terlalu kuat untuk dia lawan.

Aku sedikit mengangkat kepalaku, kemudian mencondongkan tubuhku ke arah Rasya. Kulumat bibirnya yang masih terasa panas, Rasya tampak terkejut. Kali ini dia yang meminta, kenapa masih saja terkejut? Aku tertawa dalam hati. Menit sesudah itu kami hanyut dalam beberapa kali isapan, lidah Rasya terasa lembut memasuki ruang mulutku. Aku tak pernah merasakan yang lebih nikmat selain ini.

Entah sudah yang keberapa kali aku melumat bibirnya saat Rasya melepaskan tangannya pada pinggangku. Aku mengerang kesal karena dia mengakhiri dengan paksa, tidak bisakah dengan yang lebih indah? Dia kemudian menatapku diam.

"Saya takut kamu pergi dari hidup saya Dit," katanya berbisik.

"Saya nggak akan melakukan itu Sya," balasku kemudian melumat bibirnya sekali lagi dan kuhadiahi ciuman di keningnya. Ah, berciuman dengan Rasya saja membuat nafasku memburu tak terkendali, bagaimana dengan melakukan yang lainnya? Aku menggerutu sebal.

"Sekarang tidur lagi ya Sayang, jangan pikirkan yang lain," pintaku lirih. Rasya kemudian mengangguk, berbalik, dan memejamkan matanya.

Aku kembali mencium lehernya, namun Rasya tak lagi berbalik ke arahku, dia sudah sempurna masuk dalam mimpi yang semoga indah. Aku melingkarkan tanganku pada pinggangnya.

Kupegang dahinya, panas Rasya sudah tidak separah tadi. Apa ciuman yang kami lakukan mampu menurunkan suhu tubuh rasya sedemikian hebat? Aku tertawa kecil dalam hati, kemudian ikut terlelap setelah itu. Berciuman dengan Rasya selalu membuat malamku menjadi sangat nikmat dan indah.

Part 13 done, banyak banget kata-katanya hampir 2000 lebih hehe

Maaf yaa kalau kurang memuaskan, makanya komen dong biar saya tahu mana yang kurang bagus hehehehe

Oiya, jangan lupa bonusin votee yaa:p

Terimakasih dan happy reading xoxo

Continue Reading

You'll Also Like

2.4M 74K 44
JUST FICTION! 17+ "DILARANG PLAGIAT! NYARI IDE ITU SUSAH" "ANTI PELAKOR-PELAKOR CLUB" __________ Violyn Georgia Clarence gadis yang duduk di bangku...
1.3M 173K 36
Aryan Virendra Atharrazka, seorang pengacara berusia 26 tahun, anak kedua dari pasangan Abyan dan Zara. Tak pernah menjalin asmara dengan perempuan m...
1M 58.4K 75
Perjodohan antar dua keluarga rasanya bukan hal yang tabu. Karena nyatanya berbagai kisah klasik sebuah perjodohan itu sudah ada banyak kisahnya. Lan...
324K 27.1K 43
Kalandra Wiryasatya, pria yang selalu hidup sendirian walaupun mempunyai keluarga yang lengkap, ia sering merasa jika hidup sendirian itu sangat mene...