Sasaeng Fans [EXO]

Galing kay ismi_h

507K 30.6K 1.6K

Ada dua sisi berbeda dari sang oppa. Sisi yang ada di depan layar kaca. Dan, Sisi yang ada di belakang layar... Higit pa

Teaser/Prolog
Serpihan 1
Serpihan 2
Serpihan 3
Serpihan 4
Serpihan 5
Serpihan 6
Serpihan 7
Serpihan 8
Serpihan 9
Serpihan 10
Serpihan 11
Serpihan 12
Serpihan 13
Serpihan 14
Serpihan 15
Serpihan 16
Serpihan 17
Serpihan 18
Serpihan 19
Serpihan 20
Serpihan 21
Serpihan 22
Serpihan 23
Serpihan 24
Serpihan 25 (a)
Serpihan 25 (b)
Serpihan 26 (a)
Serpihan 26 (b)
Serpihan 26 (c)
Serpihan 26 (d)
Serpihan 27 (a)
Serpihan 27 (b)
Serpihan 27 (c)
Serpihan 27 (d)
Epilog
Tao Story
Kris Story
Suho Story
Lay Story
Xiumin Story
D.O Story
Baekhyun Story
Chen Story
Luhan Story
Kai Story (bagian 1)
Kai Story (bagian 2)
Sehun Story (bagian 1)
Sehun Story (bagian 2)
Sehun Story (bagian 3)
Via Story
Sasaeng Fans [2]
pengumuman !
Gadis dalam Almari

Chanyeol Story

4.4K 289 20
Galing kay ismi_h

Chanyeol Story - Perbedaan

Bukan tentang si kaya yang tidak bisa bersama dengan si miskin. Hanya tentang ego dan perbedaan yang membuatnya tak bisa bersatu. Harga diri mengalahkan segalanya. -Park Chanyeol-

***

-Chanyeol POV-

2015

"Chanyeol-ssi, bisa kita mulai sekarang?"

"Tentu." Tangan kananku terangkat. Pertanda bahwa para make up artis yang tadi mengerubungiku untuk berhenti. Aku mulai menata raut wajahku. Menampilkan senyum tercerahku di hadapan kamera.

"1.2.3. Action !" Sang produser berteriak kencang.

"Annyeong haseyo, Park Chanyeol-ssi." Reporter wanita di depanku mulai menyapa dengan hangat saat kamera mulai merekam. Aku semakin melebarkan senyumku.

"Ne, annyeong haseyo."

"Wah, saya sangat tersanjung bisa mewawancarai anda sekarang. Melihat bagaimana makin melejitnya nama anda dibanding anggota EXO yang lainnya."

Aku melempar tawa kecil. "Ah tidak juga."

"Kau merendah. Melihat banyaknya film dan drama yang kau bintangi, pastilah anda sangat terkenal."

Kali ini aku hanya mengulum senyum tipis. Jika diriku menyangkalnya, wawancara ini tak akan berlanjut.

"Karena banyaknya lawan main anda yang begitu cantik dengan chemistry yang cocok, banyak sekali nitizen yang bertanya mengenai cinta pertama anda." Diriku mengulum senyum tipis. Tahu betul jika pertanyaan ini akan muncul.

"Adakah seseorang yang anda sukai?"

If you’re feeling lost
When you run across
Can’t you see I’m always there for you
Sincere and true

Diriku terdiam sejenak. Tahu jika pertanyaan ini akan muncul. Untungnya, aku sudah mempersiapkan jawaban itu dengan baik. Bukan lagi kamuflase yang ku tunjukkan di hadapan kamera. Kali ini, benar adanya.

"Ada." ucapku pelan.

***

2009

Aku berlari dengan satu kaki sembari memakai sepatu kets milikku. Berhasil memakai seluruhnya saat aku sampai di ruang tamu. Tanganku mencomot selembar roti dan memakannya cepat.

"Kau hanya makan itu?" Kakak peremuanku menegur diriku. Sembari memasukkan sesendok penuh nasi ke dalam mulutnya. Rambutnya terikat acak-acakan. Kacamata besar bertengger di atas hidungnya. Bisa ku lihat setitik nasi menempel di sudut bibirnya.

Aigooo, apa benar dia itu kakakku si Park Yura?

"Aniya. ." jawabku dengan mulut penuh. "Aku hampir terlambat."

Dia hanya mengangkat bahu cuek. Kembali melanjutkan acara makan besarnya. "Noona.." panggilku setelah menelan semua makanan dalam mulutku. "Berhenti makan seperti itu"

"Wae?"

"Karena badanmu hampir sama seperti babi." Aku langsung berlari keluar setelah mengucapkannya. Diriku berteriak girang saat berhasil mengjindari lemparan sendok darinya.

"Chanyeol-ah, berhenti menggoda kakakmu." Suara ibu langsung terdengar dari arah dapur.

"Ne, eomma." Aku langsung merubah nada suaraku menjadi sopan. Kemudian beralih menatap kakaku dengan tatapan iba. "Aku seharusnya tak menggoda seorang gadis yang gagal masuk ujian lagi."

Dan kali ini, aku tidak hanya menghindar. Tetapi berlari keluar rumah. Menghindari amukan sang macan betina. Nyonya Park menggeleng melihat tingkah kami berdua yang bagai anak kecil.

If you feel the rain
All day long again
I will go and chase the sun for you
Chase the sun for you

Selang puluhan menit, aku sampai di sebuah rumah besar di bilangan perumahan gangnam. Seperti biasa, seorang bibi tua berusia 40-an menyambutku hangat. Kemudian menggiring diriku masuk. Menuju ke sebuah ruang yang diberi nama pemiliknya sebagai ruang belajar.

Besar ruang itu, hampir sama seperti kamarku di rumah. Atau bahkan lebih besar lagi. Di dalamnya, banyak sekali lemari yang berisi buku-buku lengkap seperti perpustakaan. Di pojok ruangan, sebuah grand piano warna putih tulang berdiri dengan gagahnya. Di sisi sebelahnya, ada sebuah studio kecil lengkap dengan berbagai alat rekam. Juga ada gitar, biola, dan juga saxophone.

Di tengah ruangan, ada sebuah meja besar dari krystal yang berkilau. Meja itu yang akan menjadi spot diriku selama dua jam ke depan. Ya, aku seorang guru les dari anak gadis direktur utama tempat ayah bekerja.

Mataku melirik jam yang melingkar di tanganku dengan malas. Sudah lebih lima menit dari jam janjian kita berdua. Itu berarti akan berlanjut untuk lima belas menit ke depan. Merasa bosan, aku meraih gitar yang tak jauh dariku. Dan mulai memetiknya.

"Kau sudah bisa memainkan sebuah lagi sekarang." Sebuah suara mengalihkan perhatianku. Seorang gadis yang ku tunggu kini tengah berdiri di depan pintu. Tangannya terlipat ke depan. Dengan gaya angkuhnya yang biasa.

Kali ini tubuhnya dibalut dress cantik warna hitam berenda. Aku tak tahu jika warna itu bisa membuat seorang gadis terlihat sexy dan imut di waktu bersamaan.

Dia berjalan santai menuju ke arahku. Lalu mengambil duduk tepat di hadapan diriku. Perlahan ku letakkan kembali gitar tersebut.

"Berarti-" Ia menopang kepalanya dengan kedua tangannya. Matanga terarah padaku. "-sekarang kau sudah bisa mengiringiku bernyanyi kan?" Ia mengakhiri ucapanna dengan dua kedipan.

If you’re feeling blue
There’s something I can do
Sending butterflies and rainbows
They come they go

Aku langsung berdehem keras. Menghindari tatapan membunuh itu. Mencoba mengalihkan perhatian, aku mulai membuka buku matematika, memulai sesi les privat hari ini.

"Hari ini kita melanjutkan materti kita yang kemarin yaitu mengenai aljabar. Untuk lebig lanjutnya bisa kita buka pelatihan 3 halaman—"

"—aku tidak suka baju yang kau pakai hari ini."

Aku mendongak. Mata kami kembali bertemu. Jantungku berdetak tak beraturan. Rautku berubah gugup. Namun, gadis itu terlihat datar saja.

"Sudah ku bilang beberapa kali kan? Aku tidak suka dengan lelaki yang hanya memakai kaos seperti itu."

Aku mengumpat diriku dalam hati. Bodoh, gara-gara terburu-buru, aku memakai pakaian yang dibenci gadis itu. Kaos oblong tanpa kerah.

"Ini terlihat membosankan dan berantakan. Seharusnya kau bisa memakai pakaian yang lebih rapi. Seperti—"

"—kemeja atau sweater hangat. Bukannya kaus tanpa kerah atau hoddie kedodoran." Aku memotongnya cepat.

Gadis itu menganguk mengiyakan."Nah itu kau tau."

Aku menunduk. Dan berucap pelan. "Sunghwan—"

"—Wendy Son." Ralatnya cepat.

If there’s in the air
A song that we used to share
It will keep me smiling down the road
Down my fading road

Lagi-lagi aku melakukan kesalahan. Gadis di depanku ini tak suka saat aku memanggil nama koreanya. Katanya, nama itu terdengar seperti nama anak laki-laki. Dan sangat tidak cantik.

"Ah, maksudku Wendy..." Tundukanku semakin dalam. Bahkan nyali untuk berpandangan dengannya sudah tidak ada lagi. "Bisakah kau membiarkannya kali ini? Aku janji tak akan memakai kaus di hadapanmu lagi."

"Tidak. Aku ingin menghukummu." Dia menjawab dengan ketus. "Akhir minggu ini kau harus jalan denganku."

"Uh?" Aku refleks mendongak mendengarnya berkata demikian. Aku tak salah dengar kan?

"Itu hukumanmu."

Aku mengulum senyum. Ini dia gadisku. Tak akan ada yang bisa menduganya. Tak ada yang bisa melawannya. Dan tak ada yang bisa membencinya. Dia Wendy Son. Anak dari salah satu konglomerat Gangnam. Anak dari bos Ayahku. Wendy Son.

***

2015

"Bisa kau ceritakan seperti apa gadis itu?"

Wajahku tersipu sejenak. Aku mengatur nafasku sebelum mulai menceritakan tentangnya. Tentang gadis itu.

"Kau tahu tokoh Wendy yang disukai Peterpan?"

Reporter itu tersenyum menggoda saat aku mulai berkata. Dengan cepat ia menyahut. "Apa gadis itu seperti tokoh Wendy?"

"Ya, fisiknya seperti Wendy. Dia pintar, cantik, dan sempurna." kataku mantap. "Namun tidak dengan kepribadiannya."

Raut muka sang reporter berubah. Tanpa menghiraukannya, aku melanjutkan. "Dia gadis yang sangat tegas.” Ucapku mantap. “Atau lebih pantas dikatakan seorang yang suka mendominasi orang lain."

Sweet is my lullaby
Cold is the night
Wild is this crazy dream
Floating like a fallen, broken star

Reporter wanita di hadapanku mulai mengerutkan keningnya. "Maksud anda?" tanyanya kebingungan. Aku lantas mengulum senyum. Dan mulai membawa ingatanku ke memori masa lalu.

***

2009

"Stroberi?" Dia berseru lantang saat aku menyebutkan pesananku. Perhatian orang-orang sempat tertuju pada kami berdua.

"Lelaki mana yang suka susu rasa stroberi?" Tanpa peduli tatapan lain yang seakan menelanjangi kami berdua, dengan cueknya ia melanjutkan. Membuat diriku malu lantas menutup sebagian wajahku.

"Wendy, tolong rendahkan suaramu." bisikku pelan.

Dia langsung melempar tatapan tajam padaku. "Sepertinya kau lupa tentang hari apa ini, Park Chanyeol-ssi." Tangan kanannya meraih pundakku. Ia mendekatkan wajahnya dan berbisik. "Hari ini bukan hari kencan kita. Tetapi hari kau menjalani hukumanmu."

Tepat saat ia menjauhkan tubuhnya, pesananku jadi. Aku langsung menyeruputnya. Dan kami pun kembali melanjutkan acara jalan-jalan kami berdua.

"Liburan nanti kau sudah ada agenda?" Wendy bertanya sembari menjilati ice cream coklatnya. Ada sebagian ice cream yang menempel di sudut bibirnya. Aku terkikih geli. Merasa adegan tak disengaja itu justru membuatnya terlihat imut.

"Mmmmm.." Aku terlihat berfikir sejenak untuk menjawab pertanyaannya. "Ah ada. Aku akan mengunjungi nenek bersama kakak dan ibuku. Minus ayah."

"Kenapa ayahmu tak ikut?" Ia bertanya kembali. Masih asyik dengan ice cream-nya.

Aku berhenti sejenak. Meraih sapu tangan dari kantongku. Kemudian mengusap bekas ice ceram yang tertinggal di sudut-sudut bibirnya. Ia hanya diam menurut. Tak gugup sedikit pun dengan adegan tersebut. Berbeda sekali dengan gadis-gadis dalam drama.

"Dia sedang di Bahama, perjalanan bisnis dengan ayahmu." Sembari menyimpan kembali sapu tanganku.

Langkah kakinya tiba-tiba terhenti. Aku yang tak sadar terus saja berjalan. Membuat dirinya yang jauh tertinggal di belakang. Aku baru menyadarinya saat diriku berada beberapa langkah di depannya. Aku menoleh dan menatap dirinya bingung.

"Kau menyindirku?"

Sing, sing along
Come closer to me
Now in your voice, I hear the sea

Aku terbelalak. Bagian mana dari kalimatku yang menyindirnya?

Perlahan aku berjalan mendekatinya. "Maksudn—"

"—Bahama.” Pertanyaanku berhenti. Begitu juga langkahku. “Kau menyindirku. Karena Ayahku memperkerjakan Ayahmu begitu keras sampai kau tak bisa menghabiskan liburanmu bersamanya."

Mataku berkedip berkali-kali. Mulutku setengah terbuka. Tak percaya pemikiran seperti itu melintas begitu saja di otak gadis itu. Aku tak ada maksud sama sekali untuk menyindir. Aku hanya menceritakan rencanaku. Menjawab pertanyaannya tadi.

I’m at your door
You are the one I adore
You know I wait at your door

Aku mengusap wajahku pelan. Jika sudah seperti ini, menyangkal malah menjadikan omongan ini menjadi tak jelas. Opsi menenangkannya adalah yang paling ampuh dan tepat.

Perlahan, aku kembali berjalan mendekat. Hingga berhenti tepat di depannya. "Bagaimana bisa itu menyindirmu?” Tanganku terangkat. Kuusap puncak kepalanya perlahan.

“Ayahku adalah sekretaris pribadi ayahmu. Jelaslah jika dia menghabiskan waktunya di Bahama bersama ayahmu. Aku tak sedih karenanya. Toh, liburan itu bisa berkali-kali kan?"

Dia perlahan mengubah raut wajahnya. Yang tadinya kecut, perlahan berubah datar kembali. Aku tersenyum melihatnya

"Kalau kau, kemana akan menghabiskan hari libur." Kedua tanganku beralih menangkup wajahnya.

"Mungkin ke Disneyland atau Lotteworld. Pokoknya liburan yang membosankan."

Aku mengernyit. Mulutku setengah terbuka. Tangkupan tanganku terlepas. Bagaimana bisa liburan seperti itu membosankan. Bukankah liburanku yang terasa akan sangat membosankan? Ah… andai kita bisa bertukar.

***

2015

“Bukan hanya itu saja. Dia juga gadis dengan mulut paling pedas sepanjang perjalanan hidupku. Mungkin karena semua yang dikatakannya terlalu jujur. Sehingga terdengar menyakitkan.”

Tanpa sadar, semua yang ku ceritakan semakin antusias dan tak terkontrol. Tanganku bergerak ke sana kemari saking antusiasnya.

“Aku seperti orang bodoh sewaktu bersamanya dulu. Karena aku mengikuti semua perintahnya. Tanpa menolak atau pun sakit hati dengan kata-katanya.”

Nada suaraku meninggi. Aku benar-benar menceritakan semuanya. Hingga mataku menangkap tatapan sang manajer, Lee Seunghwan yang mengisyaratkan untuk bisa mengontrol diri.

Aku langsung tersenyum malu. Mengangkat jempolku perlahan tanpa ketahuan kamera. Tanpa ingin menimbulkan curiga, perlahan aku menurunkan nada suaraku. Kembali melanjutkan cerita tadi.

“Dan juga… gadis itu penuh kejutan.”

***

2009

"Nonna, cepatlah. Kita sudah kesiangan. Nanti kita ketinggalan kereta." Aku berteriak malas memanggil kakak perempuanku satu-satunya. Hari ini agenda kita sekeluarga berkunjung ke rumah nenek. Dan kakakku masih saja tersangkut di kamarnya, merias wajahnya itu.

"Iya. Iya. Ini aku keluar." teriaknya sembari berjalan keluar. Menggeret dua koper besar sekaligus. Aku menggeleng lelah melihatnya. Dasar berlebihan.

Mengingat waktu yang hampir mepet, Bunda Park tak ingin berdebat lagi. Dan menyuruh kita berdua untuk segera bergegas. Nyonya Park dan kakakku berjalan mendahului. Sedangkan aku dibelakang mereka, tengah kesusahan membawa koper paling besar dan berat.

Mereka berdua mematung di depan rumah. Aku hendak bertanya ada apa. Namun, kenampakan seseorang malah membuat diriku juga ikut mematung.

Sweet is my lullaby
Cold is the night
Wild is this crazy dream
Floating like a fallen, broken star

Wendy. Gadis itu ada di sana. Dengan sebuah koper besar warna biru tua. Dan juga dalam balutan kostum musim panasnya.

“Wendy-ah… Sedang apa k—“

“—Anneyong haseyo, Eomonim.” Seperti biasa, ia memotong perkataanku. Gadis itu menunduk hormat di hadapan Ibuku. Nyonya Park dengan canggung membalasnya.

Eomonim?” celetuk Kakak tertuaku.

Wendy tersenyum tipis. Senyum yang jarang diperlihatkannya di depanku. Bahkan perlakuan manis tadi. Huh, dasar gadis bermuka dua.

“Kenapa kakak ipar? Ada yang salah dengan panggilan itu?” Dengan santainya ia berucap. Meninggalkan ekspresi kaget di wajah kakakku. Aku yang tak lagi bisa menahan malu atas semua perbuatannya, langsung buru-buru menariknya menjauh.

Namun, dia dengan cepat pula menangkis tanganku. “Waeyo? Kau bilang akan menkahiku di masa depan nanti kan? Kenapa? Kau mau mengubah keputusanmu?”

Daebak !” Park Yura menepuk kedua tangannya. Dan menggeleng tak percaya. Aku mengusap wajahku frustasi. “Ige mwoyaaa? Kalian berdua pacaran?”

Wendy meraih lenganku dan menggandengnya. “Tentu saja, eonni. Kami berdua bahkan sudah merancang masa depan.”

Kakakku tertawa pelan. Tawa campuran antara takjub dan geli. “Wendy-ah, semoga matamu cepat sembuh ya. Supaya kau cepat sadar jika Chanyeol bukanlah lelaki yang pas untuk gadis sempurna bagimu.”

Nyonya Park terkikik geli mendengar sindiran kakak. Begitu juga Wendy. Sepertinya liburan kali ini akan menjadi liburan panjang dan melelahkan bagiku.

***

2015

"Jadi gadis itu cinta pertama anda? Wah.. Sepertinya kisah yang manis."

Lagi-lagi aku mengulum senyum tipis. Pipiku merona mengingat kejadian masa lalu itu. Saat bagaimana polosnya dirinya telah diatur oleh seorang gadis.

"Bukan juga." Sahutku tiba-tiba. "Bukan kisah yang begitu manis."

Reporter itu mengerutkan keningnya. "Kenapa? Kulihat tadi wajah anda berseri saat menceritakan semua itu.”

Aku menghela nafas panjang. Akhirnya ceritaku ini mulai memasuki kisah yang berat. Saat mataku tengah berkeliling melihat keadaan sekitar, mataku menangkap sosok dirinya. Gadis itu, tengah berdiri tegak di belakang Seunghwan hyung. Lengkap dengan kostum yang ia pakai tadi pagi saat ia pamit padaku sebelum manggung di Musik Bank.

Come, come along
I will dry your tears
Now in your eyes, there’s a hope for me

“Karena aku menghianati gadis tersebut.” Suaraku terdengar lirih. Bagai tercekat. “Ego dan harga diriku yang tinggi, telah menyakitinya waktu itu.”

Gadis itu mengulum senyum tipis sembari memandangiku. Tatapanku tak lepas darinya. Ku abaikan reporter wanita yang ada di depan.

“Aku merusak rencana masa depannya. Dan juga tak ada di sampingnya saat ia tengah berada di masa krisis.”

“Untuk mengikuti audisi SM waktu itu, aku meninggalkannya.”

***

2009

“Buat tanganmu rileks terlebih dahulu sebelum menunjukkan sebuah lagu pada kami.” Salah seorang penguji di depanku lagi-lagi menegur diriku. Sudah kedua kalinya aku salah memetik gitarku.

Diriku semakin gugup. Keringat dingin mengucur di dahiku. “Cobalah ambil nafas dalam sebelum melanjutkan nyanyianmu.” Penguji tersebut kembali memberiku arahan.

Aku melakukan semua perintahnya. Kemudian mulai memetik gitar kembali. Dan menyanyikan lagu yang telah ku persiapkan. Sambil bernyanyi, aku mengingat semua tentang Wendy.

Awalnya rasa bahagia karena diriku telah beruntung memilikinya. Lalu lama kelamaan berubah menjadi rasa bersalah yang besar.

Sebulan yang lalu, gadis itu menawariku untuk melanjutkan studi ke luar negeri. Dia sudah menyiapkan semuanya begitu rinci. Seperti katanya waktu liburan dulu. Gadis itu benar-benar sudah merancang masa depanku.

Masa depan yang sangat cerah. Terlalu cerah malah. Sampai-sampai membuat diriku sempat terdiam lama di suatu malam. Aku tahu niat gadis itu baik. Ia ingin yang terbaik bagiku. Namun, aku merasa hanya sebagai parasit yang menerima semua sodorannya.

Tak ada dari diriku yang bisa aku banggakan di depan ayah dan keluarganya nanti. Aku hanya bagai seonggok daging yang nantinya akan menjadi bagian dari keluarga Son tanpa bermodalkan apapun. Dan hal tersebut seakan menyakiti harga diriku.

Dan karena itulah, hari ini, yang seharusnya menjadi hari keberangkatanku ke luar negeri, berubah menjadi hari dimana aku mengikuti audisi dari salah satu agensi besar. Aku berniat untuk menjadikan diriku pantas di depan Wendy.

Itu awalnya rencanaku. Aku kira itu akan berjalan lancar. Aku kira gadis itu mau menungguku kembali dan menyapanya dengan bangga saat diriku sudah menjadi pantas. Nyatanya…

‘Aku benar-benar membencimu, Park Chanyeol. Siapa kau berani-beraninya memperlakukanku seperti ini? Siapa kau?’ Aku mendengarkan pesan suara kiriman gadis itu dengan seksama.

Kau kira aku bakal senang melihatmu seperti itu? Ya, lelaki bodoh. Jangan pernah menemuiku. Jangan pernah menampakkan wajahmu setelah kau berhasil mendapatkan harga diri bodoh itu. Aku tak peduli.’

Ku simpan kembali ponsel itu ke dalam saku celanaku. Tangan kananku memegang dadaku yang terasa kosong. Ada yang menyakitkan di dalam sana setelah mendengar dirinya yang menangis begitu kencang melalui pesan suara tersebut. Sebuah pesan suara yang gadis itu kirim setahun setelah kepergiannya ke luar negeri.

Saat itu… aku tak tahu jika gadis itu dalam masa yang berat. Aku tak tahu jika perusahaan keluarganya bangkrut. Ayahku seolah bungkam perihal dirinya yang dipecat tiba-tiba. Semuanya tutup mulut dan membuat diriku seakan bagai lelaki jahat bagi gadis itu.

***

Sing, sing along
Come closer to me
Now in your voice, I hear the sea

2015

“Apa kau menyesal telah melakukannya?”

Aku menggeleng cepat. Reporter itu kembali takjub dengan jawaban tak terdugaku yang entah sudah ke berapa kali.

Waeyo?”

“Karena sekarang aku bisa dengan bangga menemuinya. Sebagai Park Chanyeol yang baru.”

“Cut.” Teriakan dari sang produser menandakan bahwa wawancara pada sore hari ini akhirnya selesai. Aku bangkit dari dudukku. Menyalami semua kru sebelum akhirnya berjalan mendekatinya. Mendekati gadis yang sejak tadi tak melepaskan tatapannya dariku.

Tanpa sepengetahuan siapapun, aku membawa gadis itu menjauh dari kerumunan. Membawanya menuju ke tempat lain yang lebih sepi. Di sudut gedung SM Entertainment.

“Kau sudah makan?” Tanyaku pelan. Sembari merangkulnya.

Dia menggeleng. “Kau sendiri?”

Aku memandangnya lama. Sebelum menjawab pertanyaannya dengan gelengan. “Mau makan bersama?”

Dia mengangguk dengan antusias. “Aku ingin makan pizza.” Ucapnya antusias.

Geurae. Kalau begitu aku akan pesan pizza keju kesukaanmu.” Aku melepas rangkulanku darinya. Hendak meraih ponsel untuk memesan makanan yang diinginkannya. Namun, dia menghentikan gerakanku. Dengan kembali membawa dirinya ke dalam pelukanku.

“Ada apa?”

“Besok hari jadi kita yang ke 7 bulan.” Bisiknya pelan. “Apa kau mau berlibur denganku?”

Aku melepas pelukannya. Membawa dirinya untuk menatapku. “Kemana kau akan mengajakku pergi berlibur?”

Dia memutar bola matanya. Tengah berfikir keras. Bahkan saat berfikir pun dia terlihat manis. “Hanya… Hanya jalan-jalan ke tempat yang privat, lalu menyewa sebuah villa dan menginap semalam. Lalu pulang pagi harinya.”

“Apa yang barusan kau katakan?” Aku berseru kaget. “Menginap?”

Dan segala pikiran kotor ala lelaki langsung menghampiri otakku. Huh, salahkan Kai yang telah mengajakku menonton video –itulah namanya- kemarin malam.

“Apa yang kau pikirkan?” Teriakan darinya membuatku kembali ke kesadaran. “Kita perginya dengan Yura eonni dan eomonim.”

Aku tergeragap. “Me-me-memangnya aku berfikir apa? Aku hanya… aku hanya—“

“—sudahlah.” Ucapnya ketus. Lalu pergi meninggalkan diriku sendirian.

Sial. Ini semua gara-gara Kai dan videonya.

I’m at your door
You are the one I adore
You know I wait at your door

♫ Elsa Kopf – Song For You ♫

***

Boring ya yang ini? Aku udah gonta-ganti cerita dan jujur tetep nggak dapet feel di chanyeol story. Feel nya nggak sekena dulu waktu aku lagi semangat bikin couple khayalan chanyeol-wendy. Mungkin karena nggak terlalu bias chanyeol jadinya gini :(

Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

1.8M 271K 26
[SUDAH TERBIT] Cuman cerita tentang seorang Irene Kartika Damayanti dan ketiga anak laki-lakinya.
3.8K 617 37
⚠ SERIOUS WARNING : KEPADA PARA PLAGIATHOR, PENGANUT BIM, ORANG KUKER YANG BISANYA NGEJULID DOANG, DAN OKNUM 'BOCIL' YANG NGGAK BISA BEDAIN MANA FIK...
146K 4.4K 33
Nesya sebelumnya mengira bahwa perasannya itu akan sembuh dalam waktu yang lama, namun ternyata tidak semenyakitkan itu. Luka yang ia dapatkan tak se...
183K 2.9K 19
Terpisahnya jarak mereka membuat halang rintang pada hubungannya semakin banyak lika-liku tajam. Namun kedua kakaknya yang selalu bersama membuat ia...