Woman & Desire [1st Desire Se...

By LianGunawan

6.2M 57.9K 494

"Because woman and desire can't be separated." 🔞Mature content, harap bijak. Buku ini berisi banyak cerita... More

My Daddy's Friend (1)
My Daddy's Friend (2)
My Husband's Bodyguard (1)
My Husband's Bodyguard (2)
My Husband's Bodyguard (3)
Big Boy (2)
A Big Boy (3)
Pak Dosen (1)
Pak Dosen (2)
Pak Dosen (3)
Pak Dosen (4)
My Friend's Daddy (1)
My Friend's Daddy (2)
My Friend's Daddy (3)
Fat Girl (1)
Fat Girl (2)
Cowok Cupu (1)
Cowok Cupu (2)
Cowok Cupu (3)
Montir (1)
Montir (2)
Tetangga (1)
Tetangga (2)
Tetangga (3)
Step Father (1)
Step Father (2)
Cold Husband (1)
Cold Husband (2)
Hot Cousin (1)
Hot Cousin (2)
Hot Cousin (3)
My Secretary (1)
My Secretary (2)
My Secretary (3)
Maid (1)
Maid (2)
Maid (3)
My Hot Master (1)
My Hot Master (2)
My Hot Master (3)
My Enemy (1)
My Enemy (2)
My Enemy (3)
My Doctor (1)
My Doctor (2)
My Bodyguard (1)
My Bodyguard (2)
Man & Desire [2nd Desire Series]

A Big Boy (1)

199K 1.6K 7
By LianGunawan

Keadaan rumah sudah terang benderang saat aku pulang. Seperti hari-hari biasanya, di ruang tamu sudah ada dua laki-laki yang sibuk bermain PS.

"Baru balik, Kak?" tanya Pandu, adikku, tanpa melepaskan matanya dari layar TV.

Namun, berbeda dengan Pandu yang cuek, laki-laki di sebelahnya langsung bangkit dari duduk hingga membuat Pandu menggeram kesal karena tim mereka langsung game over.

"Anjing, Bri! Jangan dilepas joystciknya, tolol!" umpat Pandu, tetapi teman laki-laki di sampingnya itu sepertinya sama sekali tidak peduli. Matanya masih setia menatapku.

"Udah pulang, Bri, jangan nurutin kemauan Pandu melulu, yang ada kamu nggak dikasih izin buat tidur," kataku.

Brian, teman Pandu yang sudah kukenal sejak mereka masih SMA itu hanya diam. Sudah hampir tiga bulan ini Brian intens bermain di rumah. Lebih tepatnya sejak Mama dan Papa memutuskan tinggal di Bali untuk menghabiskan masa tua. Aku yakin Pandu yang mengajaknya bermain semalaman karena merasa merdeka setelah Mama Papa tidak ada di rumah.

"Kak Key." Sebelum aku melangkah, Brian memanggil namaku. "Aku boleh nginep di sini beberapa malam?"

"Nginep?" ulangku.

"Iya, Kak. Bokap nyokapnya lagi ke luar negeri. Daripada sendirian di rumah, mending gue ajak dia nginep di sini. Btw gue ngasih tau ya, bukan minta izin."

Aku memutar bola mataku malas mendengar kalimat terakhir Pandu. Melarang pun, sepertinya Pandu juga tidak peduli.

"Terserah kalian aja. Kakak ngantuk, mau tidur. Jangan begadang ya, besok kalian kuliah," ujarku final sebelum benar-benar melangkah menuju kamar.

***

Paginya, aku menjalani aktivitasku seperti biasa. Sebelum berangkat kerja, aku selalu menyiapkan sarapan untukku dan si malas Pandu. Tapi, karena hari ini ada Brian, jadi aku memanggang tiga roti untuk kami.

"Biar aku bantu."

Aku tersentak mendengar suara berat di belakang tubuhku. Begitu memutar badan, sosok Brian yang menjulang sudah ada tepat di belakang tubuhku.

"Kamu ngagetin aja, Bri!"

"Maaf."

Aku tahu Brian memang tinggi, tapi aku tidak menyangka kalau dia setinggi ini. Berada di posisiku sekarang membuatku seolah tenggelam. Dia terlalu mengintimidasi.

Aku lantas menggeser tubuhku, memberikan ruang pada Brian untuk memasak telur ceplok. Meski sudah lama kenal Brian, sekitar enam tahun, tapi aku masih merasa canggung dengannya.

Mungkin karena kami memang tidak intens bertemu? Saat dia SMA, aku sudah kuliah. Jadi, kami hampir tidak punya waktu yang pas untuk saling mengenal, meskipun Brian ini sahabat sematinya Pandu.

"Mau aku antar ke kantor?" tanya Brian setelah cukup lama kami terdiam.

"Nggak perlu, aku bisa naik ojol kok."

Sepertinya Pandu yang bilang ke Brian kalau mobilku sedang di bengkel. Karena merasa nggak enak, akhirnya Brian inisiatif mengantarku ke kantor.

"Nggak apa-apa, Kak. Selama mobilnya masih bengkel, biar aku antar jemput aja."

"Tapiㅡ"

"Anggap aja sebagai rasa terima kasihku karena Kakak udah izinin aku tinggal di sini beberapa hari," potong Brian, kali ini sambil menatapku lekat.

Aku terdiam, menimbang-nimbang kalimatnya. Setelah cukup lama berpikir, aku pun mengangguk pasrah.

"Oke kalau gitu. Mobilku udah hampir selesai kok, jadi kamu tenang aja."

Brian tersenyum tipis. Setelah menyelesaikan sarapan, Brian pun bergegas mengantarku menuju kantor.

Besok dan besoknya lagi, Brian tetap mengantar dan menjemputku. Perlahan, aku mulai sedikit mengenal dia karena kami sering ngobrol di mobil. Gara-gara dia juga, aku jadi tahu kalau Pandu punya pacar.

"Kakak sendiri? Punya pacar?" tanya Brian tanpa melepas pandangannya dari jalanan di depan kami.

"Baru putus. Nggak baru sih, dua bulan yang lalu," jawabku santai. "Dia selingkuh."

Aku tergelak kecil, sementara Brian masih datar. Namun, aku bisa melihat kilat marah dari matanya.

"Laki-laki berengsek mana yang tega selingkuhin Kakak?"

Aku terperenyak. Bahkan Pandu saja tidak semarah ini saat tahu mantanku selingkuh.

Demi mengusir perasaan aneh, aku pun kembali tertawa. "Udahlah, lupain. Udah berlalu juga. Kamu sendiri? Udah punya pacar?"

Brian langsung menggeleng mantap. "Nggak punya."

"Serius? Kata Pandu kamu terkenal di kampus. Mau fokus kuliah aja?" tanyaku.

Tepat saat traffic light berubah jadi merah, Brian memutar kepalanya ke kiri, menatapku.

"Aku mau fokus kejar perempuan yang aku suka."

"Oh, bagus dongㅡ"

"Dan perempuan itu Kakak."

Aku membeku. Kakak? Siapa yang dia maksud dengan kakak?

"Aku suka kamu, Key."

Lagi-lagi aku membeku. Suara klakson mobil di belakang mobil Brian-lah yang berhasil memutus kontak mata kami.

Jantungku berpacu cepat. Apa ... Brian baru saja menembakku?

***

Sepanjang hari aku tidak bisa mengalihkan pikiranku dari Brian. Aku bahkan berharap kalau bocah itu tidak menjemputku di kantor. Namun, harapanku pupus saat melihat mobilnya sudah berada di lobi kantorku, lengkap dengan si pemilik mobil yang berdiri di samping pintu penumpang.

Mata kami yang sudah lebih dulu bertemu membuatku tidak bisa kabur. Dengan senyum tipis dia membuka pintu penumpang, seolah memintaku untuk segera masuk ke dalam sana.

Aku memutuskan untuk segera masuk. Di sepanjang perjalanan, baik aku maupun Brian sama-sama diam. Bahkan sampai tiba di rumahku pun, aku hanya membisu.

"Key." Namun, saat kakiku hendak naik menuju lantai dua, Brian langsung menahan tanganku. "Soal tadi, aku nggak bercanda."

Aku hanya diam. Tinggiku yang hanya sebatas dada Brian membuatku harus menengadah tinggi-tinggi agar bisa menatapnya.

Astaga, sejak kapan Brian punya tatapan semengintimidasi ini? Sejak kapan tubuhnya menjadi setinggi ini?

"Aku tahu kamu nggak bercanda."

"Lalu?"

"Lalu?" ulangku. "Lalu, nggak ada. Anggap aja kamu nyaman karena aku kakak Pandu. Kamu anak tunggal, jadi wajar kamu nyaman sama kakak temanmu."

Entah kenapa bibirku tercekat saat mengatakannya. Rasanya seperti tak rela.

"Kita beda lima tahun, Bri."

"Lalu?" tanyanya, lagi.

"Aku serius."

"Aku juga serius. Memangnya kenapa kalau kita beda lima tahun? Toh kita sama-sama dewasa sekarang. Umurku sudah 21."

Dua satu. Masih sangat muda.

"Keyㅡ"

"Panggil aku kakak."

"Aku nggak mau lagi panggil perempuan yang aku suka dengan embel-embel kakak. Kamu bukan kakakku!" katanya tegas, sedikit menyentakku.

Aku menggigit bibir, merasa bingung sekaligus ... senang? Entahlah. Ada sedikit rasa senang saat melihat Brian begitu serius dengan perasaannya. Maksudku, mantan-mantanku belum pernah bersikap seperti ini sebelumnya.

"Aku perlu memikirkan semua ini, Bri. Kasih aku waktu."

Aku beranjak menuju kamar dan kali ini dia tidak mencegahku. Aku terjaga hampir sepanjang malam karena pengakuannya. Karena haus, kuputuskan untuk turun menuju dapur, mengambil sebotol air, lalu meneguknya.

Saat memutar tubuh, pandanganku jatuh pada pintu kamar tamu yang saat ini ditiduri Brian. Aku terdiam selama beberapa saat sebelum mendekati lalu mengetuk pintunya dua kali.

Mungkin dengan ngobrol dengannya bisa membuatku sedikit tenang. Sebagai orang dewasa, aku perlu meluruskan semua ini.

Aku hendak mengetuk lagi, tetapi pintu di depanku sudah lebih dulu terbuka. Sosok Brian yang tinggi besar langsung menyapaku. Aku sontak membelalak saat melihatnya hanya menggunakan boxer, memamerkan badan liat berototnya di depan mataku.

"Sorry, aku ganggu kamu," ujarku. Saat hampir pergi, Brian lebih dulu menahanku.

"Kamu nggak ganggu. Aku memang nungguin kamu."

"Apa?"

Brian bergerak maju hingga membuat tubuhku terimpit kitchen bar. Aku meneguk saliva, terlebih saat wajahnya kini berada tepat di depan wajahku.

"Aku nggak bisa nunggu lebih lama lagi. Kasih aku jawaban sekarang, tentang perasaanmu."

Aku menggigit bibir. Kesepuluh jemariku meremas kitchen bar yang ada di belakang tubuhku.

"I don't know," akuku. "Aku nggak tahu perasaanku, tapi ... aku ...."

Aku turn on. Melihatnya seseksi ini membuatku ingin merasakan kejantanannya.

"You want me?" tanya Brian. Dengan muka memanas, aku mengangguk kecil, membuat Brian langsung menyambar bibirku lalu memagutnya kasar.

"Bri ... Pandu ...."

"Dia nggak ada di rumah. Lagi sama pacarnya."

Diam-diam aku bersorak mendengar jawaban Brian. Pria itu kembali mencumbu bibirku rakus, menyusupkan lidahnya ke dalam celah bibirku.

Kakiku refleks melingkar di kedua pinggangnya saat Brian menggendongku menuju kamar tamu. Setelah menutup pintu menggunakan satu kaki, dia pun menidurkanku di atas ranjang.

Brian melepas paksa piyama yang kugunakan hingga kancingnya terlepas. Begitu kedua sisinya tersingkap, dada telanjangku langsung terekspos di depan matanya.

"No bra, hm?"

Aku mengangguk sambil menahan desah saat kedua tangannya menangkup payudaraku.

"Lebih sehat ... tidur nggak pakai bra," ujarku susah payah. Jarinya yang bergerak menggoda menyusuri pinggiran putingku membuatku tak tahan.

"Tapi aku lebih suka kamu nggak pakai bra."

"Itu sih mauㅡshit!"

Aku tersentak saat lidahnya menyapu salah satu putingku dengan lembut. Dia menjilat, mengemut, sesekali menggigit puncaknya, membuatku nyaris menggila tak bisa menahan nafsu.

Sialan! Apa dia benar-benar baru 21 tahun? Kenapa dia selihai ini?

"Kamu ... pernah tidur dengan berapa perempuan?" tanyaku sambil mendesah kasar, terlebih saat salah satu tangannya meremas dadaku kencang.

"Belum pernah. Kamu pertama."

"What?!" Aku refleks mendorong tubuh Brian hingga wajahnya menjauh dari dadaku. "You're virgin?!"

"Tidak untuk malam ini."

Brian kembali hampir melumat putingku, tapi aku buru-buru menahannya lagi.

"Nggak. Nggak bisa."

"Apa?"

Aku menggeleng sambil bangkit dari tidurku lalu menutup dadaku menggunakan piyama yang sudah tak terbentuk.

Tidak. Ini salah. Aku merasa seperti orang jahat yang mengambil keperawanan seorang pria.

"Keyㅡ"

"Lupakan soal malam ini," potongku sebelum melangkah pergi meninggalkan kamarnya.

Ada banyak pertanyaan bersarang di kepalaku. Dari mana dia belajar memuaskan perempuan, hanya dengan lidah, tanpa memiliki pengalaman apa pun?

Brian benar-benar gila!

Continue Reading

You'll Also Like

1.3M 126K 49
Kehidupan Dinar Tjakra Wirawan berubah, setelah Ayah dan kakak laki-lakinya meninggal. Impiannya yang ingin menjadi seorang News anchor harus kandas...
275K 13.6K 24
Mature Content ❗❗❗ Lima tahun seorang Kaia habiskan hidupnya sebagai pekerja malam di Las Vegas. Bukan tanpa alasan, ayahnya sendiri menjualnya kepad...
2.8M 196K 35
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
7.1M 347K 75
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...