He was my dad, with a rage that always filled his head. He was never afraid of losing his life on the battlefield, but he was nervous about getting his daughter engaged.
🖤
Mama memang lahir di desa dari keluarga sederhana yang hanya tahu tentang berladang dan berternak kambing. Tapi untuk segala urusan rumah tangga Mama tak kalah cerdasnya dengan ibu-ibu berpendidikan di luar sana, seperti ibunya artis Maudy Ayunda. Mama sangat telaten dalam mengurus acara, mulai dari pesta-pesta kecil hingga acara-acara besar keluarga dan yang berhubungan dengan kedinasan Papa.
Oleh karena itu meskipun Mama bukanlah orang yang senang tampil di depan khalayak ramai, diam-diam banyak ibu-ibu yang menggumi bahkan menyimpan iri padanya. Sayangnya Mama yang pemalu sering kali mudah menerima kritikan pedas para ibu-ibu iri hati itu, hingga terkadang ia lebih senang berada di rumah daripada menghadiri beberapa acara yang dihadiri oleh sekumpulan ibu-ibu, yang bahkan kini telah membuat semacam geng pembenci Mama.
Mama hanya datang ke suatu acara apabila ia ditunjuk sebagai panitia atau ada atensi khusus dari isteri komandan satuan agar semua isteri-isteri tentara hadir ke acara penting tersebut.
Meskipun terkadang ia lebih berpihak dan menyayangi Zara dibandingkan Citra, bagi Citra mama tetaplah wanita istimewa. Seperti malam ini, bermodalkan pinterest dan onlineshop, ia membeli lilin, taplak meja, gelas dan piring yang sesuai dengan template makan malam sekelas hotel bintang lima di dalam rumah Kapten Mochtar Kivlan Zein yang sederhana.
Citra menyalakan lilin lalu memfoto meja makan cantik itu beberapa kali untuk ia upload ke akun Instagram yang berisi berbagai macam gambar yang ia abadikan. Ada kucing hitam putih di depan pagar rumah yang ia beri nama petercat, ada deretan majalah di pasar loak, pedagang monyet di pasar hewan dan bahkan capung kawin di sebuah tangkai sungai.
Mama menggeser gelas lalu mengibaskan tangannya, hingga lilin-lilin putih itu lenyap meninggalkan asap yang berhembus ditiup angin dari pintu yang terbuka.
"Kok udah dinyalain lilinnya, entar meleleh jelek."
Cit memonyongkan bibirnya.
"Iya maaf Ma."
Papa meneropong jalanan, Cit menghampiri Papa yang tengah gugup menanti besan.
"Duarrr!" Cit menepuk punggung Papa hingga Papa terlonjak.
"Astaghfirullah! Ade kalo Papa jantungan gimana?!"
Cit dan Mama terkekeh geli melihat tingkah satu-satunya pria tampan gagah perkasa di rumah itu.
"Hahaha Papa."
"Lagian Papa kayak mau perang aja si Pa," Cit merebut teropong di tangan Papa dan mencobanya.
"Ini gugupnya lebih dari mau ketemu musuh tahu!"
"Kalo ketemu musuh pasti lebih ngeri lah Pa, orang nyawa Papa taruhannya," Zara duduk di salah satu bangku dan hendak mencomot makanan, untung Mama sigap menggeplak tangan manisnya yang nyaris menjalar ke atas meja yang sudah paripurna menyambut besan.
Papa menghampiri Zara lalu duduk di seberang Zara dengan tatapan penuh. "Kalau perang.. Papa hanya kehilangan nyawa, tapi ini Papa mau kehilangan puteri Papa," ujarnya dengan tulus membuat mata ketiga wanita itu berkaca-kaca.
"Kalau Papa enggak mau kehilangan Zara, ya jangan paksa Zara nikah cepat lah Pa," ucap Zara pelan dan hati-hati sambil berpura-pura merapikan piring di atas meja.
Cit memeluk Papa dari belakang dan bergelayut manja di pundaknya.
"Ih cepatlah sana kau nikah, udah terlalu lama kau ganggu ketenangan hidupku."
Zara menaikkan bibir atasnya sambil menyipitkan mata dan Cit pun menjulurkan lidah. Papa mencomot bibir Cit sambil memberikan tatapan tegas.
"Jangan kau, kau sama Kaka."
"Iya De kamu tu sekarang didiemin makin sering manggil nama manggil kau ke Kaka. Enggak sopan," Mama mengomel sambil mengaduk kopi Papa.
Cit merasa tak enak hati dimarahi begitu di depan Zara yang balas memeletkan lidahnya. Meskipun tatapan kedua saudari itu terlihat saling membenci satu sama lain, nol koma sekian persen Cit juga menyimpan sedikit rasa haru karena musuh bebuyutannya akan menikah, itu tandanya tidak ada lagi yang suka sembarangan masuk ke kamarnya dan mengajaknya bertengkar, meskipun persentase kelegaan dan ketenangannya lebih tinggi daripada rasa haru biru dan sedih.
Sementara pihak keluarga mempelai wanita tengah dag dig dug serr, keluarga Matt pun tak kalah riweh di dalam Alphard putih yang tengah terhenti di persimpangan lampu merah.
"Mama udah cantik belum Pa?" wanita paruh baya yang awet muda berkat botox itu mengoles lipstiknya sekali lagi sambil bercermin di layar ponsel.
"Hmm," Papa hanya berdehem tanpa sekalipun mengalihkan pandangannya dari layar ponsel yang membuatnya kehilangan perhatian pada sekitar.
"Pa dengerin Mama enggak si!" sergah Mama kesal sampai dadanya kembang kempis menahan sesak.
Matt dan Can yang malam ini dipaksa kompak mengenakan kemeja biru laut yang senada saling menoleh melihat percikan api pertikaian tampak kembali menyala di bangku depan.
Mama melirik ke layar ponsel Papa, Papa secepat kilat menutup layar ponselnya, lalu lampu hijau menyala, mobil kembali melaju menuju ke rumah calon mempelai wanita yang telah menyiapkan segalanya.
"Papa sembunyiin apa si dari Mama."
Papa segera menyimpan ponselnya ke saku celana, hingga tak sempat Mama melihat sebaris pun kata yang begitu menyita perhatian suaminya. Melihat sorot mata Mama yang mulai curiga, Papa cepat-cepat mengelus pundak Mama dan menciumi kedua tangan Mama dengan sayang agar wanita itu luluh dan segera menghilangkan segala kecurigaannya yang mulai tak terbendung.
"Ma, kenapa si marah-marah terus? Kamu pasti gugup kan, karena kita mau melamar seorang gadis untuk jadi isteri putera sulung kita, hmm?"
Mama menghela nafas lalu melirik pada Matt dan Can yang sejak tadi sibuk dengan pikirannya masing-masing. Matt yang tengah berbunga-bunga hingga tak berhenti tersenyum, Can yang seolah-olah merasa tak asing dengan jalan yang mereka lalui.
"Mama jangan panik gitu dong saking gugupnya."
"Ya memangnya Papa enggak gugup?"
Papa tersenyum dan mencium kening Mama, membuat ia mencubit lengan suaminya dan kedua puteranya langsung berpura-pura tak melihat apapun meskipun mereka sangat bahagia melihat keromantisan kedua orang tuanya.
"Aww Mama ngapain cubit-cubit Papa," Papa mengelus lengannya. "Ma jelas Papa juga gugup, tapi kan rasa bahagia Papa lebih besar daripada hal-hal yang membuat Papa khawatir."
"Khawatir apa Pa?" Matt menyahut sambil mengernyitkan dahinya dan melipat kedua tangannya di dada.
Papa menoleh dan menatap Matt dengan penuh.
"Pernikahan itu bukan hanya tentang dapat isteri cantik, terus kamu bisa ajak dia bikin anak tiap hari."
Can pun tersenyum dengan tatapan nakal pada Matt yang membuat Matt menoyor kepalanya.
"Tutup kuping cepat!"
"Ah elah aku udah gede kali. Enggak apa-apa Pa lanjutin aja."
"Iya kan suatu hari nanti Can juga bakal menikah. Jadi ini Papa kasih tahu bukan cuma buat Mas Kelana, tapi juga buat Mas Radin." Papa melogat Jawa ketika menyebut nama tengah kedua puteranya.
"Dengar ya kalian berdua yang kelak akan menjadi kepala rumah tangga. Pernikahan bisa menjadi awal dari kebahagiaan, tapi juga bisa menjadi awal kesengsaraan kalau kalian salah pilih pasangan, apalagi kalau kalian enggak bisa membimbing isteri kalian. Ya hancur, tanggung jawab jadi suami itu besar sekali tahu!"
Matt mengangguk penuh keyakinan karena tekadnya menikah dengan Ancika Zara Gabriela sudah sebulat Yang Maha Kuasa menciptakan bumi.
"Sekarang kamu minta maaf!" sergah Papa secara tiba-tiba membuat Matt dan Can tersentak kaget.
"Kenapa Pa?"
"Minta maaf sekarang!" ulang Papa dengan tegas.
"Dad?"
Papa menarik kerah Matt membuat Mama dan Can mengernyitkan dahi keheranan.
"Say sorry now!"
"Daddy!"
"Oke, oke i'm teribbly sorry but i don't know why i should apoligise?"
Papa melepaskan kerah baju Matt, sebagai seorang saudara yang suportif, Can pun membantu Matt merapikan kemejanya yang sedikit kusut. Papa kembali duduk dengan tenang.
"Mulai sekarang belajarlah minta maaf meskipun Mas Kelana enggak salah."
"Why?"
"Because i was doing that too much after i married your mother!" sergah Papa membuat sang sopir terkaget dan seketika mendadak menginjak rem hingga badan mereka terhuyung ke depan.
"Arrggg Daddy!"
"Kita sudah sampai Bu." Yetno begitu tenang meskipun seisi penumpang menatapnya tajam, ya bagaimana, habisnya ia juga korban kaget karena bentakan Radindra, bapak dua anak yang telah berambut dua warna. Can melirik ke sebuah rumah bercat putih, pagar tralis hitam yang betonnya sudah berlumut, juga pohon bunga kamboja di halamannya yang tak begitu luas. Ternyata tebakannya benar.[]