PETERCAN

Galing kay Rislin_Ridwan

1.5K 1.2K 214

🌸PETERCAN 🌸 Apa jadinya ketika crush masa kecil yang selalu Citra halukan tiba-tiba datang ke rumah untuk m... Higit pa

PROLOG
1.NOT A DREAM
2. ON THE NIGHT
4. AKSELERASI
5. TAROT
6. KRYSTAL BALL
7. NEVERLAND
8. JEALOUS
9. PINJAM DULU SERATUS
10. TROUBLE SISTER
11. MAD
12.OH MY GIT
13.MATT DAN ZAR
14.TAMU ISTIMEWA
15.DINNER
16. SUREPRISE
17.TWO SIDE
18. ANGEL OR DEVIL
19. CLOUDY
20. ANGEL BABY
21.HELM IKAN FERMENTASI
22.GERD
23.BESIDE YOU
24.UTUH
25.TEMAN KECIL
26. POLAROID
27.PAPA DAN SAHABATNYA
28.MENJADI WANITA
29. ICE CREAM
30. I SCREAM
31. BENCANA
32. SEMBUH
33. LABRAK
34. BULLY
35. HE SAVE ME
36.CIGAR ATAU ROKOK
37.JEALOUS ME

3.LIKE A SUN

98 67 29
Galing kay Rislin_Ridwan


Brakkk!

Zara mendobrak pintu kamar Cit, sampai Cit terlonjak dari cermin oval besar setinggi badan di hadapannya. Ia membenahi handuk yang melilit tubuhnya yang masih basah sehabis mandi. Dada Cit berdetak kencang ketika Zara melirik ransel motif bunga ala Korea miliknya yang diberikan Mama, ketika Cit mengeluhkan resleting tasnya rusak dan minta dibelikan tas baru.

Cit menghentakkan kakinya kesal sambil mengusap dadanya.
"Kesambet apa si Ka?!"

Zara meraih ransel yang tergeletak di atas ranjang berseprai Bikini Bottom itu lalu mengeluarkan semua isi di dalamnya hingga berhamburan di lantai. Cit merebut tas itu lalu mendorong Zara ke ranjang.
"Eh eh eh apa-apaan ni, mamaaaaaaa Papaaaaaa, Kaka kumat!" Cit menjerit sampai burung-burung di atas jendela kamarnya tersentak dan terbang ketakutan, beberapa lampu tetangga yang semula masih padam pun mulai menyala satu persatu.

Jika tas itu bernyawa ia pasti sudah berteriak kesakitan di tangan Zara dan Citra yang terlibat adu kekuatan seperti tarik tambang tujuh belasan.
"Lepasin!" Zara mendorong kepala Citra.

"Enggak! Ini udah dikasih Mama kok!"

"Tapi ini tas kesayanganku!"

Cit melepas tas itu hingga Zara jatuh terhempas ke lantai.
"Ya udah ambil sana!"

Zara bangkit mengusap bokongnya yang sakit lalu membanting tas itu dengan kesal lalu menjambak kepala Citra.
"Dasar maling!"

Citra berusaha melepaskan cengkraman tangan Zara.
"Aku bukan maling!"

"Terus ini apa ha!"

Cit menggigit lengan Zara sampai Zara menjerit dan melepaskan jambakannya.
"Udah berapa tahun sejak lulus SMA tas itu kamu biarin gitu aja di atas lemari, kenapa baru sekarang kamu cari?!"

"Meskipun enggak aku pakai lagi, bukan berarti bisa kamu curi!"

Papa tiba di depan pintu kamar dengan wajah yang masih menahan kantuk luar biasa, akibat semalaman tak tidur memikirkan Zara dan beasiswa ke Belandanya.

"Citra, Zara kenapa si pagi-pagi udah bikin rusuh?!"

Cit mendengus sambil melipat kedua tangan di dada.
"Masa Kaka tuduh aku nyuri tasnya Pa?"

Zara mengamit tas yang sebenarnya sudah tidak berharga itu. Hanya saja ia sedang begitu kesal dan ingin marah-marah, ketika ia melihat barang-barangnya, ia pun menemukan alasan untuk meluapkan emosinya. Siapa lagi targetnya kalau bukan adiknya.

Zara mendorong kepala Citra hingga Citra terhuyung pasrah dan lemah.
"Ya emang kamu ambil barangku tanpa izin, apa dong namanya, kalau bukan maling?!"

"Bukan aku yang ambil ya!"

Mama menutup telinga sambil menghentakkan kaki.
"Cukupp! Cukup iya memang Mama yang ambil Ka!"

Citra menatap Mama dengan kesal yang tertahan.
"Aku kan minta dibeliin tas baru Ma, bukan tas bekas dia," Citra berkata lirih sambil menahan air mata yang terasa mendidih di pelupuk matanya. "Apa enggak bisa aku punya barang baru?"

Mama melirik takut pada Papa yang seolah kecewa pada Mama.
"Bukannya Papa udah kasih uang buat beliin Citra tas baru, Ma?"

Citra menarik nafas lalu menghembuskannya perlahan.
"Mama kok bilangnya enggak punya uang, Ma? Padahal Citra minta beli tas baru karna tas Citra rusak," Citra melirik Zara dengan tajam. "Bukan buat koleksi, kayak anak orang kaya."

Papa mengusap wajahnya.
"Terus uang buat tas Citra Mama pake buat apa?"

Mama mengusap bahu Papa.
"Waktu itu Zara minta dibeliin skincare jadi Mama kasih uangnya ke Zara," Mama melirik kesal pada Zara, padahal Mama sudah meminta tas ransel bekas itu untuk adiknya, ketika ia merengek minta dibelikan produk kecantikan terbaru.

Papa dan Citra menatap Zara yang mengibaskan rambutnya dan menunduk berpura-pura gila. Ia melempar tas ransel itu ke dada Citra.
"Ya udah ni ambil barang bekasku! Ambil aja semua!"

Citra menahan gelegak emosi di dadanya. Ia melempar ransel itu ke wajah Zara.
"Ambil aja, biar aku bawa barang-barangku sendiri."

"Eh eh jangan, udah pake aja," Zara memungut tas itu lalu menepuknya dan memberikannya pada Citra yang terlanjur kesal dan mulai menangis.

Citra merapikan buku-buku serta alat tulisnya yang berantakan di lantai.
"Aku bisa pake tas karton atau pakai kresek sekalian!"

Papa menatap lirih pada puterinya yang selalu saja mengalah pada Kakanya yang egois, serta Mama yang lebih mendahulukan segala permintaan sang Kaka dibandingkan dirinya. Sifat kekanak-kanakan Zara ini juga yang membuat Papa tidak bisa menaruh kepercayaan untuk melepasnya ke Belanda seorang diri.

Citra terisak dan berkata lirih.
"Mama enggak adil, apa aku ini anak pungut."

Papa menatap Zara seperti ingin menelannya lalu melangkah lebih dulu kembali ke kamarnya, disusul langkah sang isteri yang kini merasa bersalah.Zara menendang kotak pensil yang hendak dipegang Citra.
"Ups sorry anak pungut!”

Citra mengusap air matanya dan menunjuk pintu.
"Keluar sekarang!"

Zara pergi sambil memeluk ranselnya.
"Maling iyuhhh!"

Begitu pintu kamarnya tertutup, Cit merebahkan dirinya di atas ranjang, membiarkan bantalnya basah oleh titik air di ujung rambut dan air mata yang bergulir. Ponselnya berdering, hanya sebuah andorid jadul, bekas Zara yang sedikit bergaris layarnya. Namun berkat ponsel ini juga, ia bisa memiliki kesempatan bertemu dengan Can di dunia nyata.

"Git, aku-aku enggak punya tas," Cit tak kuasa menahan suaranya yang bergetar.

"Cit, sabar. Nanti aku jemput kamu, aku bawain ranselku ya. Oke, jangan nangis ya."

Yigit menjemput Citra yang menunggu di depan pagar sambil memeluk buku-buku serta alat tulisnya di dalam tas karton swalayan. Yigit menyodorkan ransel hitamnya lalu Cit merapikan semua barangnya tanpa suara. Cit naik ke boncengan motor Yigit, lalu mereka pun tiba di sekolah hingga berpisah di depan kelas.

Cit memutar tubuhnya berhadapan dengan Yigit, mengusap wajahnya yang sedikit sembab lalu membesarkan kedua bola matanya dengan senyum palsu yang susah payah ia pasang.
“Aku masih kelihatan cengeng enggak?”Menatap mata Yigit, Cit justru kembali berkaca-kaca. “Air matanya enggak bisa berhenti.”

Yigit mengusap air mata di pipi Cit lalu mencengkram kedua bahunya.
"Cit kalau kamu nangis terus nanti SMA Garuda kebanjiran gimana? Jangan ngerepotin BASARNAS ya Non."

Citra tergelak lalu mengelap air matanya di lengan kemeja Yigit, hingga Yigit menarik telinganya.
"Eh, eh korok banget Non. Tu ada ingusnya ngejiplak lagi."

Cit mengelap hidungnya.
"Apaan si orang enggak ada ingusnya."

Yigit terkekeh, menepuk pelan kepala Citra lalu memutar bahu Citra, Yigit menyingkirkan rambut Citra yang terurai ke belakang telinga dan berbisik.
"If the worst thing that you can't is holding your tears, you should to know that the hardest thing for me to see you get hurt."

Citra menoleh menatap manik mata Yigit kiri dan kanan, namun Yigit yang merasa lemah menatap kedua bola mata Citra segera mendorong bahunya.
"Cepetan masuk."

                     
                              ~~~
POV CITRA

Can menunjuk layar monitor dengan laser pointnya.
"Bumi menelan 8 miliar ton sampah, mesin-mesin canggih menggunduli hutan-hutan dan manusia-manusianya saling berperang, haus akan kemenangan berharap hidup adalah sebuah keabadian, mengkhawatirkan kepunahan tapi tak berhenti membuat kerusakan, padahal kematian adalah satu-satunya kepastian yang akan kita temukan."

Bu Ratna dan setiap siswa mengamati begitu serius, tak satu pun berani menyela maupun asyik sendiri. Meskipun mereka tak begitu mengerti dengan apa yang disampaikan oleh Can.
"Tubuh yang begitu merasa kuat ini sebenarnya begitu rapuh, kalau ada satu pasang gen saja yang berubah, kalau ada satu kuman saja yang bertahan, kalau ada satu organ vital saja yang gagal atau satu sistem saja yang rusak, Izrail pun akan datang menjemput."

Can berjalan mondar-mandir di depan kelas sambil melakukan kontak mata pada beberapa siswa yang matanya sedikit terlihat berair dan mengantuk. Tapi itu hanya berlaku pada siswa lelaki, sementara yang perempuan, begitu tekun memperhatikannya, lebih tepatnya wajahnya yang tampan, sorot matanya yang berani dan meyakinkan namun juga hangat dan penuh ketenangan, khas mata-mata seorang calon politikus.

"Mengapa manusia bisa begitu keras kepala, padahal otaknya disebut peneliti 10 kali lebih rapuh dari polisterin atau styrofoam yang masih ngotot kita gunakan sebagai wadah cemilan panas, meskipun bumi butuh waktu seribu tahun untuk menguraikannya. Kelenturan otak juga hanya setara dengan gelatin, yang ada pada permen jelly yang sering kita makan."

Seperti itulah kampanye Can, cowok kelas XII IPA I yang mampu membuat Bu Ratna yang semula mencak-mencak seperti reog, lantaran aku tak mampu mengerjakan soal fisika di depan, kini duduk dengan senyum semanis permen jelly yang dibagi-bagikan Can ke seluruh siswa, sehabis mengutip teori kelenturan otak setara gelatin.

Can menghampiri mejaku yang terletak paling sudut dengan bangku tanpa sandaran dan sapu serta pengki di sisiku, Can sedikit mengernyit.
"Kamu gak mau ganti tempat duduk?"

Aku menerima uluran permen dari tangannya tanpa menoleh. Meskipun semalam kami bisa tertawa dan bercengkrama begitu akrab seperti teman lama yang membuatku begitu semangat pergi ke sekolah, tiba-tiba aku tersadar, siapa aku dan siapa dia. Aku tak mau ikut menjadi sorotan karena dekat dengan cowo yang bersinar seterang Can.

Dia seperti matahari, jika terlalu dekat dengannya bisa membuatku meleleh, aku harus menjaga jarakku agar tetap dapat merasakan kehangatannya. Jantungku berdegup kencang karena bocah berwajah setampan Andrew Garfield itu masih memperhatikan sekeliling mejaku yang tampak kumuh.

Bu Ratna berkacak pinggang di depan papan tulis.
"Sudah selesai Can?"

"Iya Bu."

Can kembali menoleh padaku.
"De, nanti pas istirahat Kaka ambilin bangku baru dari gudang ya," Can membuat seketika kelas menjadi riuh oleh siulan dan ciye-ciye serta sorot tatapan iri para cewek yang seolah merasa tidak terima kalau akulah yang diperhatikan oleh Can. Aku berani bertaruh, saat itu pasti ada cewek yang rela bayarin jajanku sebulan demi bisa tukaran bangku denganku. Lebih tepatnya, demi dapat perhatian dari sang starboy Garuda.

Bu Ratna menghentikan keriuhan dengan menggebrak meja, membuat cewek-cewek begitu puas dengan seringai dan alis menukik yang seolah berkata, mampus kau.
"Duh Can, dia enggak perlu bangku bagus-bagus. Kalo bangkunya dikasih enak, nanti makin pulas tidurnya."

Seisi kelas tertawa, Can menggaruk-garuk kepalanya. Aku menelan ludah dan berusaha menyadarkan otak dan egoku. Kenapa si cowok ini bahkan lebih perhatian daripada kepala sekolah. Dia itu kan cuma ketua salah satu organisasi siswa, tapi lagaknya sudah seperti walikota yang sedang menyambangi warga, memangnya aku terlihat seperti gelandangan, memangnya sekumuh itu tempat dudukku? Eh iya sih.

Can akhirnya berjalan meninggalkanku, seketika aku menghembuskan nafas lega, seolah terlepas dari lilitan tali kapal seperti yang ada di iklan obat asma Neonapacot jaman baheula.
"Oke kalau begitu terimakasih banyak atas waktu yang telah ibu Ratna berikan, mohon maaf mengganggu waktu mengajarnya, dan makasih banyak buat adik-adik yang sudah bersedia mendengarkan, saya pamit."
Tedddd... Teddddd.. teddd!

Bell berbunyi membuat seisi kelas merasakan kelegaan karena telah melewati pelajaran bu Ratna yang menegangkan seluruh neuron dan saraf otak remaja kami yang seharusnya diisi dengan kebebasan berekspresi dan disirami dengan apresiasi. Bukan justru disudutkan, dimaki dan dihancurkan dengan kata-kata yang meremehkan kemampuan kami.

Aku menyimpan buku-bukuku ke laci meja, kulihat Yigit sahabatku sudah menunggu di depan pintu, sambil membawa kotak bekalnya. Yigit adalah malaikat yang diturunkan ke duniaku yang gelap sebagai seorang sahabat. Dia pintar, murah hati, berkacamata dan kutu buku. Tapi tidak seperti di novel-novel teenlit yang kubaca, meskipun sering dimanfaatkan banyak orang, Yigit tidak pernah merasakan sakitnya dibully, karena ia begitu disayangi semua orang, tapi anehnya ia masih saja mau berada di sisiku, yang jangankan mau memberi manfaat, berguna untuk diri sendiri saja tidak.

"Cit mamaku buat nasi gorengnya lebih banyak, katanya buat sharing sama kamu," Yigit menyodorkan sekotak bekal yang persis seperti miliknya. "Kita ke taman belakang aja yuk, males di kantin pasti lagi rame."

Nah ini dia salah satu keunggulan Yigit, dia sangat senang dengan keheningan tapi juga tetap percaya diri bersosialisasi dengan siapapun. Bicaranya pun bahkan lebih lancar daripada ketika aku mengobrol biasa dengan beberapa orang yang memiliki energi kesombongan, karena tidak semua orang memposisikan lawan bicaranya setara, kadang nada bicara, tatapan mata serta bahasa tubuhnya seolah menempatkan kita berada jauh di bawah mereka.

Hal ini kadang membuat suaraku mengecil dan kata yang kuucapkan sering belibet, seolah aku ingin bersuara, tapi juga malu jika orang lain mendengarnya. Apalagi jika berhadapan dengan orang asing kritis yang sangat suka mengoreksi setiap detail perkataanku, kecuali Zara ya, hanya ketika bertengkar dengannya aku bisa tiba-tiba menjadi rapper sekelas Eminem.

Meskipun otakku secara otomatis akan mencerna dan meneliti jika pendapatku saat itu benar, aku tetap tidak memiliki keberanian untuk membela diri sendiri jika orang lain menyalahkanku. Misalnya Bu Ratna.

Kami berjalan ke taman belakang sekolah yang berbukit dengan rumput hijau dan pohon-pohon besar yang meneduhkan, taman yang terlalu cantik untuk bangunan sekolah tiga tingkat yang mulai usang dimakan usia berdampingan dengan beberapa bangunan modern yang baru didirikan. Konon bangunan ini dulunya rumah sakit, sehingga banyak arwah-arwah yang masih sering berkeliaran dan menjahili beberapa siswa yang mengaku-ngaku indihome.

Yigit menenggak minuman di tumblernya lalu mengepalkan tangan dan berdoa sebelum makan dengan lahap. Telur dadar yang begitu sempurna dengan irisan sosis dan suwiran ayam serta taburan bawang goreng, membuat perutku seketika keroncongan.
"Huwaa yang aku telurnya setengah matang Git. Mamamu kok tahu aku suka telur setengah matang?"

"Ya taulah, kan waktu itu kamu masak mie telor setengah matang di rumahku."

"Kan waktu itu mamamu enggak ada di rumah?"

Yigit menurunkan sendoknya.
"Mama lihat piring kotor kamu, ada bekas kuning telur setengah matangnya."

Aku mengerjapkan mata berkali-kali untuk meraih kesadaran sambil mengingat terakhir kali aku main ke rumah Yigit.
"Kok,"aku menatap Yigit penasaran.

"Lagian Mamamu kan enggak cuci piring Git? Pembantumu aja tiga, enggak kayak rumahku. Selain Mama, akulah yang jadi pencuci piring."

Yigit menaikkan bahunya antara malas memperpanjang hal yang menurutnya tidak penting, tapi bagiku penting sekali, juga diburu rasa lapar yang balapan dengan jam istirahat. []

Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

356K 43.7K 33
Cashel, pemuda manis yang tengah duduk di bangku kelas tiga SMA itu seringkali di sebut sebagai jenius gila. dengan ingatan fotografis dan IQ di atas...
479K 5.4K 6
JANGAN DISIMPAN, BACA AJA LANGSUNG. KARENA TAKUT NGILANG🤭 Transmigrasi ke buku ber-genre Thriller-harem. Lantas bagaimana cara Alin menghadapi kegi...
5.6M 375K 68
#FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA⚠️ Kisah Arthur Renaldi Agatha sang malaikat berkedok iblis, Raja legendaris dalam mitologi Britania Raya. Berawal dari t...
6.1M 262K 58
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...