Baby Girl

Galing kay SitiUmrotun

1.4M 189K 59.1K

Type istri idaman Janu Praba Cakrawala itu gadis seperti Kanina; cerdas, dewasa, mandiri, serta selalu membua... Higit pa

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
extended chapter 43
Chapter 44
Chapter 45
Chapter 46
Extended Chapter 46
Chapter 47
Chapter 48
Chapter 49
Chapter 50
Chapter 51
extended chapter 51
Chapter 52
Chapter 53
naughty nanny

Chapter 8

23.2K 3.3K 602
Galing kay SitiUmrotun

PEMBUKA

Emot buat chapter ini 💚

***

Ketika mobil dalam keadaan hening, rasanya sedikit aneh; seperti ada yang hilang. Maksud Janu, sebelum ia membeli biskuit regal dan susu UHT untuk Jia, gadis itu tidak berhenti mengoceh tentang hal apa saja, bahkan pembahasannya tadi sudah sampai ke daratan China. Jujur saja, ia mulai sedikit menikmati ocehan random Jia yang katakanlah... unik?
Lalu ketika Jia diberi biskuit dan susu, suasana mendadak hening. Gadis itu makan dengan lahap, cepat, dan berantakan persis anak kecil lalu tertidur nyenyak tidak lama setelah menghabiskan semuanya. Karena itulah tidak ada lagi suara berisik gadis SMA yang tingkahnya seperti bocah SD.

Menanggalkan jas, Janu menjadikan itu sebagai selimut untuk bocah yang terlelap dengan bibir sedikit terbuka. Berusaha abai, namun apa yang baru saja dilihat cukup mengganggu. Dengan gerakan malas, ia meraih selembar tisu di dashboard lalu dilempar ke bibir Jia yang sedikit belepotan oleh remahan biskuit.

Sadar kalau lemparan tisunya tidak membantu apa-apa, Janu pun mengambil benda itu untuk disapukan ke sekitar permukaan bibir Jia dengan gerakan ogah-ogahan.

Ngomong-ngomong apa yang baru saja dilakukan murni karena 'jiwa sosialnya tinggi'. Jadi tidak boleh ada yang mengasumsikan kalau seorang Janu Praba Cakrawala mulai tertarik dengan bocah tidak jelas yang sangat jauh dari tipe idamannya untuk dijadikan sebagai istri. Janu jelas memiliki standar tinggi soal pasangan. Minimal cerdas, dewasa, mandiri, membuatnya nyaman, dan hanya Kanina yang masuk ke dalam kriteria tersebut.
Jia yang berisik, kekanakan, dan aneh jelas bukan seleranya. Ia masih ingin tetap waras dan langkah awal untuk menjaga kewarasan adalah dengan tidak berhubungan dengan makhluk merepotkan seperti Jiasya Ivana.

Sepanjang perjalanan, Janu ditemani dengkuran halus dan pergerakan Jia yang nampak kurang nyaman dengan posisi tidurnya. Sudah cukup kebaikannya hari ini, pria berkemeja putih itu tidak melakukan apa-apa lagi untuk membantu Jia. Biarkan saja bocah tengil itu mengeluh pegal-pegal saat bangun nanti, Janu tidak peduli. 

"Bangun, udah nyampe," kata Janu dengan suara pelan seraya melepas sabuk pengaman. Menoleh ke samping, pria itu tidak mendapati respons atau pergerakan apapun dari bocah yang duduk di sampingnya.

"Ji?" Janu memanggil.

Suara sudah ditinggikan, tapi si freak itu tetap tidak terusik. Ragu-ragu, botol mineral kosong miliknya dipukulkan ke lengan kecil Jia. Sampai pukulan ketiga, usaha Janu belum cukup untuk membuat Jia terjaga. Gadis itu hanya bergumam tidak jelas lalu menggaruk pipi berisinya, merasa terusik.

"Bangun," kata Janu sekali lagi.

Kali ini telapak tangannya bergerak menepuk pipi berisi milik Jia. Cara ini biasa ia lakukan pada Kanina. Kalau Kanina cukup dengan satu kali tepukan pelan saja sudah terjaga, sementara Jia sampai ditepuk berkali-kali pun tetap setia menutup kelopak mata. Bibir yang sedikit terbuka pun ditekan cukup kuat dengan botol lalu disentil hidungnya.

Melihat Jia masih tertidur pulas setelah apa yang ia lakukan, Janu membawa jari telunjuknya ke bawah lobang hidung gadis itu untuk memastikan; masih bernapas.
"Cil? Bangun..."

Alih-alih membuka kelopak mata, Jia hanya menggerakan bibir seperti pergerakan mulut ikan lalu bergerak untuk mencari posisi yang lebih nyaman.

Berhenti berusaha, Janu memutuskan untuk meninggalkan Jia di mobil. Kakinya terayun menaiki tangga menuju pintu utama di lantai dua.

"Lama banget, Nu? Hayoooo ngaku! Pasti habis ajak Jia kencan, kan? Kencan ke mana tuh? Ciyeee ciyeee Janu udah gede. Jadi pengin tau kamu sama Jia ngapain aja pas kencan." Suara berisik Tifanny menjadi sambutan untuk Janu yang baru memasuki ruang tamu. Janu menanggapi dengan senyum tipis.

Bangkit, Tifanny melangkah tergesa menghampiri putra semata wayangnya. Berdiri di hadapan sang anak, wanita itu mendongak lalu memulai sesi wawancara. "Gimana? Jia cantik aja atau cantik banget? Asyik, kan, orangnya? Tadi ngobrol apa aja selama kencan? Spill dong, penasaran banget nih. Oh iya, Mama udah bikin data semua temen Mama yang mau diundang ke pernikahanmu sama Jia nanti."

Sedikit rasa bersalah menyelimuti hati Janu ketika melihat bagaimana Tifanny terlihat berharap begitu banyak pada hubungannya dengan Jia. Sementara yang ia lakukan pada bocah itu sangat jauh dari ekspektasi Tifanny. Boro-boro mengajak Jia kencan, Janu saja membuatnya menunggu beberapa jam.

"Ngomong-ngomong mau indoor atau outdoor, Nu? Mama ada rekomendasi beberapa tanggal cantik loh. Dulu Mama juga make tanggal itu pas kamu sunat, kalau---"

"Ma," sela Janu tak ingin rasa bersalahnya bertambah banyak.

"Bentar, kok kayak ada yang kurang, ya?" Tifanny berusaha mengingat sesuatu. "Astaga! Mama baru inget. Jia mana?! Nggak kamu tinggal di rawa-rawa, kan, Nu?

"Ketiduran di mobil," jawab Janu enteng begitu duduk di sofa lantas melepaskan kancing tangan kemeja yang dikenakan. Kegiatan menggulung lengan kemejanya terhenti ketika bantal yang dilempar Tifanny menubruk lengan kirinya. "Mama kenapa lagi?"

"Jia kenapa ditinggal?!" Tifanny berkacak pinggang.

"Bocahnya tidur, Ma. Udah aku bangunin, tapi nggak bangun-bangun juga. Nanti kalo bangun juga bakal ke sini."

"Gendong, Nu... Jia-nya digendong! Masa gitu aja nggak ngerti! Mulai besok kamu harus drakoran sama Mama biar paham cara mainnya."

"Ma, Jia udah bisa jalan sendiri, nggak perlu digendong. Jia juga sehat, nggak lumpuh."

Tifanny menoleh ke arah suami yang sedari tadi memilih diam cari aman di pojokan.
"Mas," rengeknya.

Seorang Tifanny tidak perlu bicara panjang lebar ketika menginginkan sesuatu dari suaminya. Ia hanya perlu sedikit merengek dengan nada manja lalu memasang wajah penuh harap maka Doni akan mengerti.

Seperti sekarang ini. Meski tidak mengatakan apa-apa, tapi dengan cepat Doni mengambil tindakan. Pria itu menggeser posisi merapat ke Janu yang kurang peka pada situasi.

"Nu, demi kebaikan kita bersama terutama Papa, mending kamu bawa Jia ke sini, ya," pinta Doni.

Janu menatap ayahnya selama beberapa detik lalu menghela napas. Kalau sudah seperti ini, tidak ada pilihan lain. Menolak sama saja mengundang bencana hadir. "Oke, aku turutin kemauan Mama buat bawa Jia ke sini."

"Jia-nya jangan dibangunin, kamu langsung gendong aja. Percaya deh sama Papa, kalo kamu bangunin Jia bakalan ribet banget urusannya. Kesalahanmu dari kecil bakalan diungkit sama mama. Nasib Papa juga mungkin lebih buruk dan ujungnya Papa yang nggak ngapa-ngapain pasti disalahin. Kamu tau, kan, Mama gimana?"

Menghela napas, Janu pun mengikuti saran dari pria yang kehilangan wibawa ketika dihadapkan dengan si pemegang tahta tertinggi di keluarga ini. Terkadang Janu geli sendiri dengan perbedaan papanya di kantor VS papa di rumah; seperti dua orang yang berbeda. Papa di kantor mode rawwrr yang sepak terjangnya sangat disegani seluruh karyawan termasuk Janu sendiri. Sementara saat di rumah papanya berubah mode miaaww yang takut dan tunduk pada mama. Badan besar, lengan kekar, muka sangar, dan otot-otot yang menonjol tidak ada harga dirinya kalau dihadapkan dengan istri.

"Oke," pungkas Janu lantas meninggalkan ruang tamu menuju mobil.

Begitu pintu mobil berhasil dibuka, Janu menatap wajah damai bocah yang mendatangkan banyak bencana. Janu yakin apa yang terjadi hari ini baru permulaan. Kedepannya, jika ia tidak segera menyingkirkan Jia, hari-harinya pasti lebih buruk lagi.

Menjulurkan tangan, Janu menyingkirkan jas miliknya yang sudah merosot sampai perut dan dilempar ke kursi kemudi. Pria itu pikir tubuh kurus kering Jia yang hanya berisi di bagian pipi itu ringan. Nyatanya cukup berat. Janu sampai harus mengerahkan tenaga penuh untuk membawa gadis itu menaiki tangga sampai ruang tamu.

"Heh! Jia-nya jangan ditidurin di sofa!" protes Tifanny seraya memukul punggung anaknya.  "Kamu ini gimana, sih, Nu? Capek banget Mama sama kamu. Masa apa-apa harus dikasih tau. Kamu udah dewasa, harusnya udah berpengalaman soal kayak ginian."

Janu menghela napas lelah.
Ini salah lagi?
Mamanya capek?
Harusnya Janu yang mengeluh soal itu.

Tidak mau masalah merambat kemana-mana, pria itu lantas membungkuk dan kembali membopong Jia untuk dipindahkan.  Dibaringkannya tubuh Jia di lantai dengan hati-hati dan kali ini Janu dijewer. "Ma," protesnya dengan wajah memelas.

"Bawa Jia ke kamarmu, bukan ditidurin di lantai!" intruksi Tifanny yang benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran anaknya.

Ketika Janu hendak membawa Jia ke kamarnya, tiba-tiba saja bocah itu terjaga dan langsung terduduk di lantai dengan mata yang terus memindai sekitar. Merasa asing dengan sekitar, Jia menggaruk-garuk pipi.

"Om." Jia memanggil seraya menarik-narik celana bahan yang Janu kenakan. Tidak direspons, Jia mendongak lantas meraih tangan Janu untuk digoyangkan. "Kita udah sampai di rumah Om, ya? Daddy-nya Jia mana? Katanya di rumah Om."

Tifanny yang melihat tingkah Jia yang jauh lebih lucu dari perkiraannya, gemas sendiri. Hasrat menjadikan Jia sebagai menantu untuk disilangkan dengan Janu semakin menggebu. Belum apa-apa wanita itu sudah membayangkan calon cucu-cucunya yang lucu.
Menghampiri Jia, ia pun jongkok di hadapan gadis itu.
"Hai, Jia!" sapa Tifanny begitu ramah. "Ini Tante Tifanny, mamanya Janu."

"Halo, Tante!"

Mendapat respons baik dari Jia, Tifanny pun menjelaskan dengan pelan-pelan kalau Arkan sedang ke luar untuk bertemu dengan seseorang dan menitipkan Jia padanya. Begitu penjelasannya dipahami, ia pun membimbing gadis itu untuk diajak duduk di sofa. "Jia inget Tante, nggak? Kita pernah ketemu loh sebelum ini."

"Oh iya? Tapi Jia-nya lupa kalo pernah ketemu sama Tante. Kita pernah ketemu di mana, Tante?"

"Di rumah ini. Coba deh diinget-inget lagi. Masa lupa, sih?"

Jia berusaha keras untuk mengingat, sayangnya tidak ada sedikitpun kilasan tentang pertemuaannya dengan Tifannya. "Jia tetep nggak inget."

"Yah sayang banget Jia nggak inget. Dulu pas Jia masih bayi, Jia main ke sini sama mama pas Janu disunat. Udah lama banget, wajar kalo Jia lupa. Lagian waktu itu Jia juga masih bayi. Hehehe."

"Iiiih Tante kok lucu banget, sih?" puji Jia dengan mata berbinar.

Pujian itulah yang membawa keduanya ke obrolan seru ala mereka. Dimulai dari pertanyaan Tifanny seputar Jia dan konten-kontennya, lalu diberi respons positif, tiba-tiba saja mereka terlihat akrab. Selanjutnya Jia juga aktif melempar pertanyaan dan mencari topik random untuk dikupas menjadi obrolan seru.

Sebelah alis Janu terangkat.
Semudah itu mereka dekat?
Padahal saat ia memperkenalkan Kanina, butuh waktu sedikit lama untuk membuat mereka akrab. Itupun dibantu juga olehnya.
Sedangkan dengan Jia... aneh sekali.
Bahkan papanya saja mulai ikut nimbrung ke obrolan tidak terarah itu.

Janu yang tidak tertarik pun bangkit lantas pergi meninggalkan ruang tamu menuju kamarnya. Menelepon Kanina mungkin jauh lebih bermanfaat daripada menyimak obrolan dengan topik nyleneh.

***

"Cobain punya gue deh, Yud. Asli, ini enak banget," tawar Kanina seraya mengarahkan garpu ke mulut Yuda yang mengatup rapat. "Aaaaaaaa."

Tetap tersenyum ketika apa yang dilakukan tidak mendapat respons,  Kanina pun membawa garpu ke mulutnya sendiri. Mengunyah dengan tatapan tidak lepas dari Yuda, Kanina memikirkan cara untuk menarik perhatian pria itu.

"Yuda," panggilnya menginterupsi Yuda yang terus saja sibuk dengan ponsel sampai tidak menyentuh makanan sejak tadi. Pria itu juga terus saja mengabaikannya. Sejak sampai di tempat ini Yuda langsung sibuk dengan ponsel. Kanina sudah berusaha asyik dengan terus membahas klub sepak bola kebanggaan Yuda. Demi bisa mengobrol banyak dan dinilai sehobi, Kanina rela menonton pertandingan sepak bola yang membosankan ketika tim kesebelasan favorit Yuda berlaga.

"Hmmm." Yuda berdehem lalu senyum-senyum tidak jelas.

"Cobain punya gue, deh."

"Buat lo aja." Itu jawaban singkat yang Yuda berikan seraya menepis pelan lengan Kanina agar menjauh.

"Punya lo nggak dimakan? Nggak suka, ya? Mau gue pesenin yang baru? Lo lagi pengin makan apa?"

"Nanti gue makan. Lo duluan aja."

"Lagi ngapain, sih? Nggak bisa banget ditinggal sebentar aja buat makan? Udah waktunya makan malem loh, Yud. Yuk makan dulu," bujuk Kanina dengan lembut. "Atau kalo nggak bisa ditinggal, gue suapin aja ya?"

"Kanina." Yuda mulai tidak nyaman dengan suara berisik gadis yang berusaha menarik perhatiannya. Alih-alih tertarik, ia justru merasa terganggu.

Kalau Yuda sudah memanggilnya dengan nada seperti itu ditambah tatapan kurang bersahabat, artinya Kanina harus diam sebelum pria itu marah dan pergi meninggalkannya seperti sebelumnya.

"Yud, habis ini kita mau ke mana?" tanya Kanina ketika sudah menghabiskan makan malamnya. "Jalan, yuk! Baru jam delapan, nggak asyik kalo langsung pulang."

"Kemana?" tanya Yuda tanpa mengalihkan perhatian dari ponsel.

Kanina merengut sebal melihat tingkah Yuda sejak tadi. Ingin protes, tapi takut pria itu tidak suka dengan tindakannya.
Jujur saja ia penasaran dengan apa yang sedang Yuda lakukan sampai pria itu senyum-senyum sendiri. Bahkan pria itu sempat mengumpat sampai memukul meja ketika memuji seseorang yang Kanina tidak tahu siapa.

Baru hendak bersuara, ponselnya tiba-tiba berdering. Sebuah panggilan video masuk dari Janu. "Janu VC, Yud. Angkat atau nggak?" tanyanya meminta pendapat.

"Angkat."

Memanfaatkan kesempatan, Kanina merapatkan tubuhnya ke tubuh Yuda hingga tidak ada jarak tersisa.

Ketika wajah Janu muncul di layar ponsel, Kanina menyapa begitu ramah. Hal sama dilakukan oleh Yuda yang pada akhirnya meletakkan ponsel di meja untuk bergabung ke obrolan bersama Janu.

Kanina berceloteh banyak, pamer tentang kegiatan serunya bersama Yuda. Hanya Kanina yang menganggap kegiatan itu seru. Yuda sendiri tidak merasa seperti itu. Justru ia cenderung merasa bosan ketika menonton sekalipun itu adalah film yang ditunggu sejak lama. Lalu rasa bosan itu semakin menjadi ketika Kanina menolak pulang dan mengajaknya makan malam. Untung saja banyak stok konten dek crush yang belum ditonton, Yuda terselamatkan dari hal-hal membosankan.

"Gimana tadi, Nu?" tanya Yuda dengan nada jenaka.
Soal Janu dan perjodohan memang bukan rahasia lagi di antara mereka bertiga. "Lo masih perjaka, kan? Gue khawatir banget lo diperkosa."

"Brengsek lo, Bagaspati!" maki Janu teringat dengan momen dirinya yang hampir diperkosa oleh anak teman mamanya. "Mending lo diem."

Melihat ekspresi kesal Janu di layar ponsel, kontan Yuda dan Kanina tertawa puas sekali.

"Gue nanya karena peduli, tapi ya emang pengin ngeledek juga biar lo nggak lupa kejadian itu. Asli gue ngakak banget keinget muka depresi lo. Bayangin kalo gue datengnya telat lima menit deh." Yuda tidak berhenti meledek.

"Ayo, Nu, cerita! Gue sama Yuda udah siap ngetawain lo lagi. Kita penasaran, nih, sama cewek yang Tante Tifanny kenalin ke lo," pinta Kanina. "Aneh-aneh nggak?"

"Kayak biasa. Cewek pilihan nyokap nggak ada yang bener. Sekarang malah lebih parah, paling parah."

"Emang paling bener lo sama Kanina," cetus Yuda.

Tiba-tiba hening.

Kalau Janu setuju dengan pernyataan Yuda, lain dengan Kanina yang terlihat ingin protes namun ditahan. Gadis itu hanya menunjukkan senyum paksa.

Menyadari ada kecanggungan, Yuda berdehem keras. "Lo diapain sama yang sekarang, Nu?"

Yuda dan Kanina mengernyit ketika Janu mengarahkan kamera ke kepala. Keduanya sama-sama tidak menangkap maksud pria itu.

"Keliatan nggak benjolannya? Habis ditimpuk pake batu sama cewek paling berisik yang pernah gue kenal. Lebih berisik dari lo, Nin. Terus masih bocah banget. Pusing kepala gue ngladenin tuh cewek," keluh Janu.

Yuda tertawa puas sekali.
"Tapi, Nu. Gue sekarang aja sukanya sama dedek-dedek gemes yang polos, apalagi kalo agak lemot. Lucu banget, Anjing. Kayak bikin gregetan, pengin langsung cium aja biar cepet.
Gue jadi pengin minta nyokap lo buat cariin gue jodoh. Mana tau nyokap lo ada stok cewek spek gemoy, lemot, suka ngerengek, berisik. Tanyain dong, Nu. Gue nyari bocah SMA, mau gue jajanin."

Ketika Yuda begitu bersemangat mengatakan itu, lain dengan Kanina yang berubah murung.

"Sinting! Ngomong-ngomong kalian di mana?" tanya Janu di seberang sana. "Gue mau nyusul. Males banget di rumah ada cewek nggak jelas itu."

Bukannya tidak suka kalau Janu ikut bergabung. Hanya saja, Kanina ingin berdua bersama Yuda lebih lama lagi. Momen seperti ini sangat jarang terjadi karena Yuda selalu mempunyai seribu alasan untuk menolak ajakannya. Kalaupun mengiyakan ajakannya, ada saja hal-hal yang membuatnya ditinggalkan begitu saja oleh pria itu. "Lo istirahat aja di rumah, Nu. Gue lihat kayaknya lo lagi capek dan benjolan di kepala pasti sakit banget. Lagian gue sama Yuda udah mau balik. Lain kali kita keluar bertiga. Segera gue atur waktunya biar nggak bentrok sama jadwal lo ataupun Yuda. Oke?"

"Oke," jawab Janu pelan.
Sebenarnya yang pria itu inginkan hanya pergi berdua; ia dan Kanina, tanpa Yuda.

"Nanti gue kirim obat buat pereda nyeri.

"Makasih, ya, Nin."

"Sama-sa---"
Tiba-tiba panggilan video terputus.

"Janu, kan, lagi di rumah. Paling Tante Tifanny bikin ulah," kata Yuda yang paham dengan Janu dan keluarganya.

"Hmm kayaknya emang gitu deh. Oh, iya, gue baru inget sesuatu. Lusa gue diajak rayain ultah temen. Lo bisa temenin gue beli kado nggak? Sekalian beli dress juga, sih," ajak Kanina terpaksa berbohong. Hanya dengan cara ini ia bisa menahan Yuda lebih lama lagi.

Malam ini tidak ada acara, jadi tidak ada salahnya menerima ajakan Kanina. "Oke."

"Selesai makan kita pergi, ya."

Yuda mengangguk. Baru hendak meraih gelas minumannya, ponsel miliknya berbunyi. Notifikasi dari Instagram masuk memberitahukan kalau selebgram yang ia incar baru saja mengunggah foto baru setelah 5 jam tidak mengunggah apapun. Pria itu segera meninggalkan jejak berupa like dan komentar. Ia terus mengamati foto lucu dek crush yang ingin segera dimiliki.

Sepertinya ia butuh bantuan bunda untuk bisa berkenalan dengan si lucu ini. Rencananya Yuda akan meminta bunda agar menjadikan si gemes sebagai model untuk brand pakaiannya.

***

"Jadi, kapan videonya diupload ke YouTube?" tanya Tifanny begitu antusias. Ia dan Jia baru saja berkolaborasi membuat cookies. "Tante udah nggak sabar liatnya."

"Jia edit-edit dulu, ya, Tante. Nanti kalo udah diupload, Jia kasih tau Tante," jawab Jia.

Cookies yang harusnya dimasukkan ke dalam toples, malah masuk ke mulut. Hal itu terus terjadi berulang-ulang tanpa disadari olehnya. Dibandingkan yang masuk ke toples, cookies yang langsung Jia makan justru lebih banyak dengan perbandingan 3:1. Gadis itu memang paling tidak bisa menahan diri jika berurusan dengan yang manis-manis. Apalagi gratis.

"Gimana, udah selesai masukin semua cookies-nya?" tanya Tifannya menghampiri Jia. Wanita itu menatap bingung ke arah toples-toples yang masih kosong. Harusnya cookies yang tadi dibuat bisa mengisi penuh lima toples. Tapi sekarang kok tiga toples saja, itupun yang satu hanya terisi setengah. Kemana larinya cookies buatannya? "Ini cuma segini? Kayaknya tadi kita buat banyak, ya, Ji. Kok jadi sedikit?"

Jia nyengir lebar lalu menyatukan dua telapak tangan sebagai permintaan maaf. "Jia minta maaf, Tante. Jia nyicipnya kebanyakan."

"Jadi cookies nya udah dimakan sama Jia? Sebanyak itu yang Jia makan?"

Kepala Jia mengangguk lucu. "Tante mau marahin Jia, ya?"

"Nggak, Jia. Tante nggak mungkin marahin kamu. Justru Tante seneng. Biasanya Tante udah capek-capek bikin nggak ada yang mau makan. Ujungnya Tante makan sendiri. Janu sama Om Doni nggak suka buatin Tante, katanya nggak enak. Lebih enak beli. Kalau Jia suka sama cookies-nya?"

"Suka. Enak. Manis. Jia suka yang manis-manis."

Tifanny tersenyum hangat lalu menutup toples dan memasukkan ke dalam paper bag. "Ini buat Jia semua."

"Waaah! Terima kasih, Tante."

"Sama-sama. Besok main ke sini lagi, ya?"

"Iya, besok Jia ke sini lagi. Sekarang Jia mau pulang dulu."

"Tunggu sebentar, ya. Biar Janu yang anterin Jia."

"Januuuuu! Lama banget, sih. Ini Jia udah mau pulang. Cepet, Nu! Anterin Jia atau kamu ribut aja sama Mama!" Tifanny meneriaki Janu yang tidak muncul juga padahal sudah dari tadi ia menyuruh pria itu untuk mengantar Jia pulang.

"Ma," protes Janu dengan wajah lesu. "Apa gunanya sopir, sih? Kan bisa minta ke Pak Iwan buat nganterin Jia pulang. Nggak harus aku, kan?"

Tifanny menghampiri Janu dengan tergesa-gesa lalu mencubit lengan anaknya. "Kamu ini gimana, sih? Mama tuh lagi bantuin kamu pedekate sama Jia. Ya harus kamu yang nganterin. Udah sana buruan anterin. Mampir ke rawa dulu nggak papa, barangkali pengin healing."

Janu tidak menanggapi, ia langsung melangkah pergi begitu saja. "Buruan," katanya pada Jia yang memeluk paper bag erat-erat.

Takut dengan ekspresi Janu, Jia buru-buru berpamitan pada Tifanny.

"Hati-hati di jalan, ya. Oh iya, Jia harus bisa bikin Janu suka sama Jia. Karena Janu orangnya kaku dan amatir, Jia langsung gas poll aja. Kalo nunggu Janu yang mulai itu lama. Kalo ada kesempatan, langsung patuk aja pipinya. Terus biar nggak dimarahin, sosor bibirnya. Ugal-ugalan aja nyosornya. Jia binal dikit nggak masalah. Paham nggak?"

Sejujurnya Jia tidak mengerti, tapi ia pura-pura mengerti. "Iya. Jia pulang dulu, ya. Dadah Tante Tif!"

"Dadah Jia. Janu-nya jangan dianggurin. Pepet terus jangan kasih kendor!" seru Tifanny ketika Jia berlari seperti anak kecil.

"Lama banget," omel Janu begitu Jia masuk ke mobil.

Jia yang terus kepikiran kalimat Tifanny, tidak merespons. Gadis itu masih berusaha keras untuk memahami tapi otaknya tetap tidak sampai.

*

**
TBC

Dek crushnya Yuda itu Jia? 🤔

Fast update yeay or nay?

PENUTUP

Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

2.9M 23.3K 45
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
7M 345K 75
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
1.5M 21.5K 24
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
2.7M 291K 49
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...