40 HARI TANPA KAMU [Dilanjutk...

By DekaLika

475 88 7

Wulan Ayu Kencana sempat berpikir, jika mungkin memang tak ada kebahagiaan lagi di dalam hidupnya. Setelah se... More

Patah Hati
[1] Dunia Itu Kejam
[2] Stalking Mantan: Membunuh Perasaan
[3] Teman Jadi Musuh Mematikan
[4] Sakit Hati
[5] Ujian Pertama
[6]Cara Allah Menguji Hambanya
[7] Bertemu Ayah
[8] Kejutan
[9] Kebetulan yang Menyenangkan
[10] Kebusukan Tisa
[11] Apa Harapan Itu Ada?
[12] Ujian atau Takdir Tuhan?
[13] Mimpi yang Nyata
[14] Pembicaraan Panjang
[15] Skandal
[16] Pembawa Acara
[17] Pembullyan Di Keramaian
[18] Semua yang Dia Tahu
[19] Dipanggil Ketua Jurusan
[20] Challenge 40 Hari
[22] Hari-hari yang Berbeda
[23] Kak Raisa
[24] Pelajaran Pertama Untuk Berubah
[25] Ikhlas yang Sebenarnya
[26] Kekuatan Persahabatan

[21] Sebuah Catatan Tangan

6 3 0
By DekaLika

"Iya, obat yang nggak perlu diminum."

💌💌💌

"Jangan keseringan diam. Ntar kesambet."

"Hah?" Aku terkejut saat Radit berdiri tiba-tiba.

"Ke sana, yuk. Aku udah bertahun-tahun nggak ke sini, terakhir itu pas kuliah, deh."

Dia mengayun-ayunkan tangan di kedua sisi tubuh, sambil menatap lurus ke arah Jam Gadang. Aku pun memutar tubuh, dan berdiri mengikutinya yang kini sudah berjalan lebih dulu. Kami naik turun tangga yang tak seberapa di taman tersebut sampai di gerbang dekat jalan. Berseberangan langsung dengan tempat yang akan kami tuju. Radit berjalan di sebelah kiriku, merentangkan tangan untuk menahan kendaraan yang lewat searah.

"Wow. Nggak nyangka udah sekeren ini. Dulu tempat duduknya masih yang biasa itu kan, biru warnanya. Cukup buat tiga orang aja," komentar Radit, melihat ke sekeliling taman yang dipenuhi banyak bunga. Tempat duduk melingkar dengan lampu shadow lighting di tengah-tengah bercorak batik. Di beberapa sisi pun dipasang lampu pier mount light setinggi 2,5 meter.

"Eh, kok air mancurnya nggak nyala?"

Kami sampai di pagar tempat air mancur yang tak menyala. Dengan beberapa lampu sorot di tepian kolam yang melingkar, menghadap langsung ke arah jalan. Jika lurus, maka bertemu dengan masjid Jami' tempatku dan Radit pernah salat beberapa waktu lalu
"Biasanya malam aja nyalanya," jawabku. Menatap hal yang sama dengan Radit.

"Oh, sayang banget aku nggak bisa lihat. Pasti keren."

"Hm," gumamku. Radit pun berbalik, aku mengikuti. Aku tak banyak berkata saat dia sibuk mengagumi keindahan taman yang kalau terik tak ada indah-indahnya di mataku. Sebab sinar matahari membakar kulit, panas, gerah, hanya itu yang terasa.

"Eh, itu bukannya pasar atas yang kebakaran dulu, ya? Wow, keren ya kayak mall. Boleh masuk sana nggak, sih?"

Pertanyaan Radit terdengar norak.

"Boleh," sahutku ringkas. Kemudian aku mengikuti Radit berjalan ke arah barat, di mana gedung pasar atas bertingkat tiga yang kini mengalahkan mewahnya Ramayana. Tapi terlalu banyak ruang kosong di tengah-tengah, layaknya museum. Bahkan jika mengadakan konser kecil-kecilan bisa sekali. Toko-toko kecil yang kupastikan lebih kecil dari kamarku itu mengisi setiap sisi mall.

"Ada bioskop, nggak? Gimana kalau kita nonton?" Jika didengar oleh penduduk sini bisa-bisa mereka tertawa karena ucapan Radit.

"Enggak ada. Cuma Timezone tuh, di atas." Aku menunjuk ke bagian atas searah dengan pintu masuk kami tadi.

"Yah, sayang banget. Masa isinya cuma orang jualan aja." Dia berdecak sambil menaikkan bahu.

"Ya emang dari dulu ini tempat orang jualan baju. Bukittinggi itu salah satu pusat perdagangan terbesar di Pulau Sumatera tahu, makanya rata-rata warganya berdagang."

"Kalau wisatanya?"

"Nah, kan udah terkenal sama sebagai kota wisata. Ada Jam Gadang tuh tadi, Ngarai Sianok, terus ada lobang Jepang, Kebun Binatang, Benteng Fort de Kock, yang dihubungkan sama Jembatan Limpapeh. Dulu masih jembatan kayu, kalau jalan suka bikin jantungan, sekarang udah canggih. Ada rumah kelahiran Bung Hatta, yang jadi wakil presiden pertama Indonesia. Bukittinggi itu luar biasa tahu. Walaupun kecil." Sepertinya aku cocok jadi tour guide karena fasih sekali menyebutkan beberapa tempat di kotaku.

"Banyak banget, dong."

"Banyaklah."

"Kapan kita ke sana bareng?"

"Hm?" Aku menatap Radit dengan alis berkerut. Merasa bila dia sedang mengajukan pertanyaan "kapan kita ke sana untuk kencan?"

"Hei, kapan?" Dia menggerak-gerakkan tangan di depan wajahku. Aku baru saja terhayut hayalan sendiri.

"Eh?" Langsung saja aku membuang muka, kami sampai di pintu belakang. Kemudian menuruni tangga hingga langsung disambut dengan pemandangan Banto Trand Center, mall yang terbengkalai. "Kapan? Ya mana aku tahu," elakku, merasa kepedean bila saja dia benar-benar ingin mengajakku berkencan. Tapi rasanya itu mustahil.

Kami berhenti pada pagar pembatas yang mengarah langsung ke tempat terkenal lainnya "Janjang Ampek Puluah". Sewaktu kecil aku sering menghitung tangga ini, ingin membuktikan apakah benar apabila tangganya ada empat puluh, tapi selalu berakhir lupa karena sudah duluan sesak napas sebab saking banyaknya. Kini aku sadar, tangga empat puluh hanyalah bagian atas saja.

"Ya udah, kapan-kapan kalau aku ke sini, kita kelilingi Bukittinggi yang kamu bilang kecil."

Aku melirik Radit tak berminat. Entah dia mengejekku atau memang aksen bicaranya begitu.

"Kini aku tahu sisi lain kamu."

Untuk kesekian kalinya, kata-kata Radit kembali menarik atensiku untuk menatapnya.

"Kalau kamu bisa cerewet juga." Lalu senyum lebar terpampang di wajahnya, yang entah sejak kapan aku mulai menyukainya.

Aku mendengus. Memilih untuk menatap hal lain. Jangan sampai, semakin lama melihat wajahnya, aku semakin ingin memilikinya. "Kamu baliknya kapan? Kan ke Padang jauh."

💌💌💌

"Makasih," kataku setelah melepas helm dan memberikan pada Radit.

"Sama-sama. Oh, ya, ini ada sesuatu buat kamu. Rencana aku mau titip ke temen kamu yang tadi, tapi nggak nyangka bisa ketemu kamu lagi." Dia meletakkan helm berwarna dongker ke spion, lalu mengambil tas tote berwarna putih dari gantungan motor.

"Makanan?" tebakku. Mengingat dia sering mengucapkan kata makan padaku.

Radit tertawa kecil. "Bukan. Itu terapi tanpa psikolog."

"Hah?" Aku ingin mengintip isinya, tapi Radit langsung menahannya.

"Bukanya nanti aja, ya. Dia bekerja sebelum kita tidur."

Aku mengerjap-ngerjap. "Obat?"

"Iya, obat yang nggak perlu diminum."

Setelah salat Isya, aku langsung memasang skincare rutin yang hanya sedikit berpengaruh pada wajahku. Padahal aku mati-matian menahan selera untuk bisa membeli ini. Selesai dengan ritual itu aku memakai jaket, beranjak ke kasur dan memakai selimut. Aku akan tidur cepat kali ini, tubuhku cukup lelah setelah pulang bersama Radit tadi. Padahal aku hanya berjalan-jalan saja. Ah, pasti rupaku sangat menyedihkan di matanya. Aku yakin Radit melekatkan stigma "lemah" tentang diriku.

Ketika asyik memandangi langit-langit kamar yang polos, aku teringat pada tas yang Radit berikan tadi. Katanya akan menitipkan pada Tata kalau tak bertemu denganku. Berarti dia mengenal Tata. Ah, aku harus mencari tahu. Kuambil tas yang tadi kugantung di pintu lemari.

Aku duduk di lantai dan membukanya. Buku?

"Filosofi Teras. Eh?" Bukankah ini buku yang tadi dia bicarakan? Buku berwarna kuning putih dengan tiga karakter orang yang tampak bahagia sedang berinteraksi itu membuat rasa penasaranku muncul. Dari sampulnya aku sama sekali tidak tertarik. Aku membuka lembar demi lembar, meletakkan telunjuk di atasnya, mengurutkan dari atas sampai ke bawah, mencari kata-kata yang Radit kutip dari dalamnya.

Jariku berhenti di halaman tiga puluh tiga. “Ada hal-hal di bawah kendali (tergantung pada) kita, ada hal-hal yang tidak di bawah kendali (tidak bergantung pada) kita.”

"Kita fokus saja pada apa-apa saja yang dapat kita kendalikan, maka kita akan merasa bahagia. Sedangkan ketakbahagiaan justru berasal dari hal-hal  yang kita rasa bisa, padahal bukan." Ucapannya kembali terulang di kepalaku.

"Apa berharap itu hal yang nggak bisa kita kendalikan?"

"Berharap membuat kita merasa memiliki sesuatu untuk dijadikan alasan bertahan dan bahagia. Tapi sebenarnya enggak. Ali bin Abi Thalib berkata, 'Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup. Dan yang paling pahit ialah berharap pada manusia'. Berharap sama manusia, manusia bisa mengecewakan. Berharap kepada Allah, maka semuanya akan terasa lapang."

"Kamu tahu nggak, titik paling lemah seorang hamba adalah yang mulanya berdoa, aku ingin ini, aku ingin begitu, dan diganti dengan aku pasrahkan semuanya kepada-Mu. Kalau kita terus meminta dan hal itu nggak dikabulkan, takutnya kita kecewa sama Allah. Dan itu enggak boleh. Tapi kalau kita pasrahkan semuanya atas apa yang akan Allah lakukan untuk kita, maka kita akan lebih mudah untuk ikhlas. Sebab semua yang udah terjadi telah kita pasrahkan, karena Allah tahu apa yang terbaik buat hambanya."

Aku mendesah perlahan, melamun menatap buku dengan jari telunjuk masih di sana. Mulai teringat tentang doa-doaku yang isinya tentang pembantahan terhadap semua yang terjadi sekarang. Aku selalu meminta untuk dikuatkan, cepat terselesaikan masalah ini, dan terus dengan egois meminta agar ayah kembali. Sepertinya cara berdoaku sudah salah selama ini.

Kemudian aku kembali melanjutkan pencarian ke halaman empat puluh enam. “Ada hal-hal di bawah kendali (tergantung pada) kita, ada hal-hal yang tidak di bawah kendali (tidak bergantung pada) kita.”

"Kebahagiaan itu bisa kita kendalikan, kok. Yaitu dengan memikirkan hal-hal yang membuat kita bahagia. Buang semua hal negatif, katakan pada diri sendiri, bila hal itu nggak bakal berpengaruh banyak sama diri kamu. Harus ada stok kata-kata positif untuk menangkal hal negatif yang datang. Salah satunya, 'Aku percaya bila ini yang terbaik dari Allah'. Lupain semuanya."

Memikirkan hal-hal bahagia? Apa aku harus mulai memikirkan Radit sepanjang waktu? Aku lantas menggeleng kuat. "Astaghfirullah!" Aku menepuk-nepuk kedua pipi. Menyadarkan kepalaku yang masih saja menginginkannya menjadi milikku dalam ikatan haram itu.

Aku kemudian mengambil dua buku lain dengan sampul berwarna putih bersih. "Baca Buku Ini Saat Engkau Lelah." Hm?

"Baca Buku Ini Saat Engkau Ingin Berubah."

Dua judul buku yang ini lebih menarik. Masih disampul, sepertinya baru dibeli. "Masih ada nggak, ya?" Aku mengintip isi tas yang ternyata ada sebuah kotak berukuran kecil dari buku. "Kaset?" Aku membolak-balik kotak kaset dengan sampul sebuah kertas berisi ketikan. Mataku membulat membaca judulnya.

"Challenge 40 Hari full." Cepat-cepat aku membukanya karena penasaran. Ternyata kertas itu dilipat dua. Kuambil dan kubaca isinya, berisi poin-poin yang harus kulakukan selama empat puluh hari ke depan.

Saat membuka bagian dalam kertas, ada tulisan tangan Radit yang berbaris rapi. Sudut bibirku tertarik ke atas. Lalu entah sejak kapan pipiku sudah basah ketika aku menutup kembali kertas itu.

Untuk Wulan....

💌💌💌

Kebuttt....😭
Otw part 22.

Continue Reading

You'll Also Like

908K 42.3K 66
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...
2.4M 446K 32
was #1 in paranormal [part 5-end privated] ❝school and nct all unit, how mark lee manages his time? gampang, kamu cuma belum tau rahasianya.❞▫not an...
4.7M 173K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...