40 HARI TANPA KAMU [Dilanjutk...

By DekaLika

475 88 7

Wulan Ayu Kencana sempat berpikir, jika mungkin memang tak ada kebahagiaan lagi di dalam hidupnya. Setelah se... More

Patah Hati
[1] Dunia Itu Kejam
[2] Stalking Mantan: Membunuh Perasaan
[3] Teman Jadi Musuh Mematikan
[4] Sakit Hati
[5] Ujian Pertama
[6]Cara Allah Menguji Hambanya
[7] Bertemu Ayah
[8] Kejutan
[9] Kebetulan yang Menyenangkan
[10] Kebusukan Tisa
[11] Apa Harapan Itu Ada?
[13] Mimpi yang Nyata
[14] Pembicaraan Panjang
[15] Skandal
[16] Pembawa Acara
[17] Pembullyan Di Keramaian
[18] Semua yang Dia Tahu
[19] Dipanggil Ketua Jurusan
[20] Challenge 40 Hari
[21] Sebuah Catatan Tangan
[22] Hari-hari yang Berbeda
[23] Kak Raisa
[24] Pelajaran Pertama Untuk Berubah
[25] Ikhlas yang Sebenarnya
[26] Kekuatan Persahabatan

[12] Ujian atau Takdir Tuhan?

16 2 0
By DekaLika

"Kenapa cinta ibu pilih-pilih? Padahal aku melakukan lebih dari yang anak laki-lakinya lakukan. Tapi ibu sama sekali tak menghargai usahaku."

💌💌💌

Bunyi ketukan pintu mengambil alih kesadaranku. Suara Wina memanggil-manggil di luar memaksaku bergerak dari tempat tidur untuk membukakan pintu.

"Kok lo pulang aja sih, Lan?" tanya Wina, dia memberikan tas yang kuterima dengan diam. "Gue ke klinik. Lama banget nunggunya, soalnya pintu ketutup."

"Makasih, ya," kataku, "gue pengen cepet pulang aja. Sorry, udah bikin lo nunggu."

Kulihat Wina mengangguk, tapi aku sama sekali tak mempersilakan dirinya untuk masuk. Sebab aku sedang ingin sendirian.

"Lo nggak apa-apa?"

"Gue, oke. Lo nggak jadi pulang? Atau mau di sini dulu?" tawarku berbasa-basi.

"Maaf ya, Lan. Gue mau nemenin lo, tapi gue masih ada kerjaan di rumah. Chat gue aja nanti kalau ada apa-apa, yah."

Aku berusaha memahami kesibukan Wina yang dengan bekerja bersama abangnya, uang jajannya akan terbantu. Jadi aku lepas kepergian Wina dengan lambaian tangan. Setelah itu aku kembali masuk, mengambil ponsel dari dalam tas. Ternyata sudah banyak pesan masuk. Aku mendesah panjang. Akhir-akhir ini aku sangat jarang memegang ponsel, jadi aku putuskan mengirim pesan pada salah satu temanku untuk mengatakan jika aku akan off selama beberapa waktu ke depan. Aku belum bisa mengontrol waktu dan perasaan. Merenungi nasib membuat waktuku tak menentu. Sehingga tak jarang pesan menumpuk menuntutku untuk menyelesaikan beberapa tugas sebagai admin.

Mungkin sejenak aku harus mengistirahatkan otak agar tak berpikir lebih banyak. Cukuplah sikap Tisa saja yang membuat pusing kepalaku. Aku tatap cuaca cerah di luar jendela. Harusnya sekarang aku pulang ke rumah. Tapi aku masih menolak melakukannya. Padahal ayah tak akan ada di rumah sama sekali. Kubiarkan ibu sendirian bersama kesepian. Aku hanya berdua bersaudara, abangku sudah bekerja di Padang. Dan dia akan pulang sekali sebulan. Jadi dia tak tahu banyak soal cerita rumit kami selama ini. Hanya dengan berbicara panjang di telepon yang membuatnya pulang, berharap bisa menyelesaikan masalah ini. Namun hasilnya nihil, perpisahan tetaplah terjadi, dan ayah pergi bersama wanita yang menjadi selingkuhannya selama dua tahun terakhir.

Sungguh, aku tak menyangka bila ayah bulat dengan keputusannya hari itu. Aku bahkan tidak mau hadir ke persidangan mereka. Bagiku, buat apa aku hadir jika tak mengubah apa pun. Setelahnya, aku tak mau tahu ada apa dengan kabar ayah. Meski dulu dia sering menyebut-nyebut banyak hutang dan wanita itu yang melunasinya, aku benar-benar tak peduli.

Kemudian aku teringat pada amplop yang ayah masukkan ke dalam saku gamisku kemarin. Kuambil benda cokelat itu dari atas lemari. Membuka isinya yang terdapat beberapa lembar uang ratusan ribu. Aku berdecih. Sebenarnya aku tidak sudi memakainya, tapi apa boleh buat, tanpa kertas-kertas ini aku tak bisa hidup selama beberapa waktu ke depan.

Sejak awal tahun ini, uang jajanku pun meningkat lima puluh persen dari sebelumnya. Biasanya aku sudah ngos-ngosan menyisakan uang jajan untuk ongkos pulang, tapi kini di akhir pekan pun aku bisa membeli beberapa camilan dan masih ada sisanya. Dulu aku selalu ngirit, saat jam istirahat mata kuliah, aku memilih pulang saja dan makan di kost. Menolak ajakan teman yang ingin makan di kantin. Apalagi di belakang gedung C, Fakultas Matematika, surganya jajanan yang bikin kenyang perut mahasiswa.

"Gue senang lihat lo menderita. Dengan itu sakit hati gue terbalaskan. Lo itu nggak pantas bahagia."

Kumasukkan kembali uang itu, dan menaruhnya asal. Aku menghambur ke kasur dan merebahkan badan. Rasanya hari-hariku semakin berat. Ayah sudah pergi, bahkan mengajakku tinggal dengannya, ibu yang kesepian dengan hati terluka, Tisa yang secara terang-terangan akan membuatku menderita. Aku mendesah, tanpa dia melakukan itu aku sudah menderita jauh sebelum mengenal dirinya.

Sewaktu kecil, aku sering mendengar ibu mengatakan cerai kepada ayah. Dulu ibu baik, dulu ayah juga sangat perhatian padaku. Di kelas dua SD, aku mulai sering mendengar ayah dan ibu bertengkar. Di depanku, di dapur, di kamar, aku selalu menjadi saksi bisu peraduan ego keduanya. Sementara abangku bersekolah ke luar kota. Aku sendirian mengurung diri di kamar, kadang aku menangis, kadang aku terdiam merekam semua pembicaraan mereka.

Ketika beranjak remaja, ibu berubah. Dia sering marah-marah. Menyuruhku memasak, membersihkan rumah, mencuci piring, menyapu, dan membebankan pekerjaan rumah kepadaku. Sementara ayah selalu menuntutku untuk belajar dan belajar.

Ibu selalu mengancam kalau dia akan melaporkan perangaiku yang mulai pandai melawan perkataannya pada ayah, bahkan dia mengadu nasibku dengan nasib sepupuku yang hidup dari hasil berladang tanaman tebu. Ibu bilang aku tidak tahu diuntung, sepupuku membantu ibunya bekerja mencari uang, tetapi dia tetap berprestasi di sekolah, mendapatkan nilai bagus. Sementara aku hanya membantu pekerja rumah saja masih sering malas-malasan, padahal sudah kukerjakan semuanya. Tetap saja kalau salah sedikit ibu malah membesar-besarkannya dengan menyebut hidupku ini hanya senang-senang saja. Padahal ibu tidak tahu kalau aku sering berhutang pada teman karena kurang uang jajan.

Dia juga pernah menjambak rambutku, sampai rasanya akan putus, melempariku dengan pisau yang untung saja hanya bagian pegangannya saja yang mendarat di lengan kiriku meski menimbulkan bengkak dan memar. Ibu bilang, anak tidak boleh melawan pada orang tuanya, tapi aku merasa ibu tak pernah memahami perasaanku. Dia hanya mengucapkan apa yang membuat kesal hatinya tanpa berpikir bila batinku juga terluka. Aku paling benci dibanding-bandingkan, apalagi yang hidupnya tak sama denganku. Yang orang tuanya pengertian, tak otoriter terhadap anaknya. Wajar bila anak mereka penurut dan bertingkah laku baik.

Aku memutar posisi melihat langit-langit kamar. Sewaktu di rumah, aku selalu ingin cepat-cepat tamat sekolah. Aku ingin segera pergi dari rumah. Dan ternyata ketika kuliah, aku merasa sangat bahagia lepas dari semua tuntutan ibu. Aku sadar, ibu juga perhatian padaku. Selalu mengutamakan membeli makanan yang akan kubawa ke kost, dan tak mengapa jika uang belanja untuk di rumah bersisa setengah. Aku merasa bahagia.

Namun semakin dewasa usia, aku sadar bila ibu tak pernah benar-benar berubah baik. Dia masih seperti dulu, apalagi saat aku di rumah. Pasti ibu bilang kalau aku ini anak tidak tahu diri. Aku tak mengerti, sisi mana aku yang tidak tahu dirinya. Padahal ibu hanya tinggal duduk-duduk sambil menonton YouTube saja di sofa saat aku pontang-panting mengurus rumah. Ibu juga tak mengerti saat aku sakit, bahkan tak ada inisiatif untuk meringankan pekerjaanku. Di kala sakit mendera kepala, aku tertatih ke dapur untuk mengolah bahan yang ada. Karena aku takut saat ayah pulang tak ada yang akan beliau makan. Jika tak memasak, pasti ibu akan mengkambinghitamkan padaku.

"Bukannya masak, malah tidur-tiduran." Begitu kata ibu.

Namun bila abangku yang sakit, tak terhitung berapa kali dia menanyakan apa yang ingin abangku makan. Dia belikan berbagai jenis makanan agar perut anak kesayangannya terisi. Sementara aku membuat bubur sendiri dengan garam dan bawang goreng saja. Jika abang yang salah, ibu tak pernah benar-benar marah. Jika aku yang salah, ibu akan mendiamkanku sekian hari, bahkan hitungan bulan.

"Nggak pulang, Lan?" tanya Wina saat kami menyusuri jalan di kampus.

"Enggak."

"Nggak kangen sama ibu? Kan udah dua minggu nggak pulang."

Aku menggeleng. "Enggak."

Mungkin Wina memahami maksudku, tapi dia enggan bertanya lebih.

Kemudian aku bertanya-tanya pada diri sendiri, apa aku salah pergi saat ibu sedang terpuruk dalam elegi? Apa salah aku menghindar saat aku juga terluka dengan segala kenangan pahit yang dia berikan selama ini? Ibu bahkan menjadikanku layaknya pembantu yang pantas dihardik dan dihina-hina jika berbuat kesalahan. Aku paham dengan perasaan ibu yang terluka, tapi hati kecilku menolak untuk untuk peduli padanya.

Kenapa cinta ibu pilih-pilih? Padahal aku melakukan lebih dari yang anak laki-lakinya lakukan. Tapi ibu sama sekali tak menghargai usahaku. Bahkan saat akan Ujian Nasional pun ibu bukannya menyuruhku belajar, malah memintaku mencuci pakaian yang menggunung hingga sore, lalu disambut dengan rutinitas harianku yang bagai pembantu. Mana waktuku untuk belajar?

Sampai hari ini, ibu masih tak pernah memahamiku. Apalagi saat marah, ibu hanya melihatku sebagai anak dengan label 'tidak tahu diuntung'.

Saat melihat temanku berbahagia di rumahnya, aku sadar jika ternyata ada orang tua yang seperti itu. Aku tersenyum saja melihat wajah-wajah tanpa beban keluarga temanku yang tampak akrab. Aku percaya, bila memang takdirku tak seberuntung itu.

💌💌💌

Yaay, update, jempolku keriting dibuatnya 😂😂

Continue Reading

You'll Also Like

1.3M 112K 26
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
2.4M 446K 32
was #1 in paranormal [part 5-end privated] ❝school and nct all unit, how mark lee manages his time? gampang, kamu cuma belum tau rahasianya.❞▫not an...
1.8M 86.5K 52
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞
2.3M 252K 45
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...